Saturday, April 28, 2012

Sholawat Jauharatul Kamal

Artinya
Ya Allah, Limpahilah Rahmat dan Kesejahteraan ke atas Hakikat Rahmat Ketuhanan, mutiara yang terang benderang memancar dengan rahsia pengertian dan pernyataan, cahaya segala sesuatu yang menjadikan manusia wadah Kebenaran Ketuhanan, yang bagaikan kilat memancar dengan melimpahkan curahan rahmat kepada setiap orang yang menghadap-Nya daripada segenap lingkungan dan masa, dan cahayaMU yang bergemerlapan memenuhi dengannya wadah ciptaanMU dengan ketinggian pangkat. Ya Allah, Limpahilah Rahmat dan Kesejahteraan ke atas Hakikat Kebenaran yang mempernyatakan daripadanya naungan seluruh rahsia-rahsia hakikat yang memiliki kearifan tertinggi, yang sentiasa merintis jalanMU yang sempurna. Ya Allah, Limpahilah Rahmat dan Kesejahteraan ke atas Penyeru Kebenaran dengan Kebenaran yang menjadi Gedung Teragung, Sumber bagi segala limpahanMu yang daripadaMU kepadaMU meliputi cahaya yang terpilih. Rahmat Allah ke atasnya juga kepada keluarganya dengan rahmat membukakan kami dengannya haqiqat.

Bacaan Jauharatul Kamal ini memiliki keutamaan yang sangat banyak. Silahkan mencari ijazah dari guru yang memiliki ijazah untuk mengamalkanya. 

Rumi : Mereka yang Telah Mati

Para pecinta,
yang dengan ikhlas
mati dari diri mereka sendiri:
mereka bagaikan gula,
di hadapan Sang Kekasih.


Pada Hari Perjanjian, [1]
mereka minum Air Kehidupan,
sehingga matinya jiwa mereka
tak seperti kematian orang lain.

Karena mereka telah dibangkitkan dalam Cinta,
kematian mereka tak seperti
orang kebanyakan.

Dengan kelembutan-Nya
mereka telah melampaui tingkat para malaikat;
sama sekali tak bisa kematian mereka
dibandingkan dengan orang kebanyakan.

Apakah kau sangka Singa mati bagai anjing,
jauh dari hadirat-Nya? [2]

Ketika para pecinta mati di tengah Jalan,
Sang Raja Ruhaniah berlari menyambut. [3]

Ketika mereka mati di kaki Sang Rembulan, [4]
mereka menyala bagaikan Matahari. [5]

Jiwa para pecinta sejati itu bersatu
mereka mati dalam saling mencintai. [6]

Derai embun Cinta membasuh jantung mereka,
mereka sampai pada kematian
dengan hati berdarah-darah.

Setiap mereka,
mutiara yatim tiada tara,
tidaklah mereka mati di sisi ayah-ibunya.

Para pecinta terbang menembus lelangit,
para pembangkang terpanggang dalam Api.

Para pecinta terpana menatap yang tak-terlihat,
selain mereka, semua mati dalam buta-tuli.

Sepanjang hidupnya, para pecinta ketakutan,
karenanya mereka berjaga menghidupkan malam; [7]
kini mereka mati tanpa takut atau bahaya.

Mereka yang disini memuja dunia,
hidup bagaikan ternak, [8]
dan akan mati seperti keledai.

Mereka yang hari ini mendamba wajah-Nya,
akan mati berbahagia,
gembira dengan apa yang mereka lihat.

Sang Raja menempatkan mereka
di sisi Rahmat-Nya;
mereka tak mati dengan hina.

Mereka yang meneladan kebajikan Muhammad,
akan mati bagai Abu Bakar atau Umar.

Jiwa-jiwa mereka sama sekali tak tersentuh
kematian ataupun kehancuran. [9]

Bahkan kudendangkan ode ini
kepada mereka yang menyangka
jiwa-jiwa mereka telah mati.


Catatan:

[1] QS [7]: 172.

[2] Mengingatkan kepada sayidina Hamzah bin Abdul Muthalib yang bergelar “Singa Allah.”
[3] Sambutan Sang Pemimpin tertinggi para pecinta Tuhan, Rasulullah SAW, yang mengingatkan kita pada sebuah Hadits Qudsi, “... dan jika dia kembali kepada-Ku berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari” (HQR Syaikhani dan Turmudzi dari Abu Hurairah r.a).
[4] Kematian diri sang pencari dalam cahaya sunnah Al-Mustapha.
[5] Terbitnya Matahari dalam diri.
[6] “Berhak akan Cinta-Ku, mereka yang saling cinta dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang menghubungkan silatur-rahim dalam-Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menasehati dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling menziarahi dalam Kami. Berhak akan Cinta-Ku orang-orang yang saling memberi dalam Kami. Mereka yang saling cinta didalam Kami dan atas Kami akan disuruh berdiri di atas mimbar cahaya yang diinginkan pada nabi, shiddiqin dan syuhada.” (HQR Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Qudla'i yang bersumber dari 'Ubadah bin Shamit r.a)
[7] “... mereka yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS [3]: 17)
[8] “... bagaikan binatang ternak ...” (QS [7]: 179)
[9] “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS [3]: 169)


Sumber: Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, Ghazal no 972
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh William C. Chittick dalam The Sufi Path of Love, SUNY Press, Albany, 1983.

Shidq

Berikut penjelasan dari kitab "Idharu Asrari Ulumil Muqarrabin" oleh Habib Muhammad bin Abdullah Al Aidarus"

Wahai Saudaraku, jadikanlah shidq sebagai pusat dan awal semua urusanmu. Dikatakan bahwa shidq adalah pedang Allah di bumi. Apa pun yang disentuhnya pasti terpotong. Ketahuilah, shidq memiliki dua arti: shidqul lisan dan shidaul qolb. Shidqul qolb adalah sumber shidqul lisan, dan selalu menjadi pegangan dan tujuan kaum sholihin. Shidqul lisan adalah perbuatan yang baik, tapi shidqul qolb merupakan sumber dan asal dari shidqul lisan. Shidqul lisan dikatakan baik karena ia menunjukkan kemakmuran batin ('imaratul bathin) dan kesucian jiwa. Kebohongan lisan sangat jelek dan buruk, tapi kebohongan hati lebih buruk dan berbahaya karena menunjukkan kerusakan batin dan kehinaan jiwa. Kebohongan hati dapat melahirkan berbagai perbuatan yang lebih buruk daripada kebohongan lisan. Orang yang mudah berbohong dan tidak mempedulikan kehinaan dan kekurangan jiwanya, adalah orang yang rendah. Keadaan ini akan membuatnya jauh dari Allah SWT. Seorang manusia yang sempurna tidak rela melihat dirinya penuh kekurangan, meski tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Orang yang suka berbohong akan meremehkan aib dan kekurangannya sendiri, meskipun ia mengetahui aib dan kekurangan tersebut. Sebagaimana dikatakan bahwa seorang pendusta tidaklah berdusta kecuali karena ia memandang remeh dirinya.

Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa shidqul bathin tidak akan membelokkan hati dari jalan kebenaran, bahkan kejujuran akan menjadi syiarnya. Jika seseorang telah membiasakan batinnya dengan kebenaran dan shidq, maka lisannya akan sulit untuk diajak berdusta, karena: Lisan adalah penerjemah hati.

Lisan hanya akan mengutarakan apa yang terdapat dalam hati. Jika hati shidq, mustahil lisan akan berdusta. Kini jelaslah bagimu, bahwa jika batin telah dibiasakan dengan kebenaran, maka kebenaran akan menjadi sifat dan karakteristik batin. Sehingga andaikan ia ingin berbohong, ia tidak mampu melakukannya, sebab yang demikian itu bukan sifat batinnya. Semua ucapan dan perbuatan buruk seseorang ditimbulkan oleh keburukan batin. Hal ini terjadi karena akal yang lemah, atau hawa yang menguasai dirinya dan menodai nuraninya (sir). Orang yang dikuasai oleh hawa, setelah sadar akan menyesali semua kelalaiannya. Sedangkan orang yang berakal lemah, tidak akan pernah sadar, tidak akan pernah mengetahui cacat batinnya, dan tidak akan pernah bisa diharapkan kesembuhan batinnya. Pahamilah hal ini dan berusahalah (untuk bersikap shidq), semoga dengan pertolongan dan kehendak Allah kamu akan memperoleh kebenaran.

Sumber: "Rahasia Ilmu Para Wali"
Penerjemah : Ustadz NAuval bin Muhammad Al Aidarus

Risalah Al Qusyairi : 4. Takut Kepada Tuhan (Takwa)

Abd al-Karim ibn Hawazinal-Qusyairi

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri, bahawa seseorang menghadap Nabi saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, bimbinglah saya.” Beliau menjawab, “Semoga anda mempunyai ketakwaan kepada Allah, karena ketakwaan adalah kumpulan seluruh hal yang baik. Semoga anda dapat melaksanakan jihad, kerana jihad adalah kerahiban kaum muslimin. Dan mudah-mudahan anda sibuk mengingat Allah, karena zikir adalah cahaya bagi anda.”

Al-Kattani mengatakan, “Dunia dibagi secara adil sesuai dengan penderitaan yang dideritai dan kehidupan akhirat dibagi secara adil sesuai dengan takwa.” Al-Jurairi mengatakan, “Orang yang belum menjadikan takwa dan kesedaran sebagai hakim, antara dirinya dan Tuhan tidak akan memperoleh makrifat dan kemanisannya.”

Al-Nasrabadzi menjelaskan, “Takwa adalah bahwa si hamba waspada terhadap segala sesuatu selain Allah SWT.” Sahl mengatakan, “Siapa pun menginginkan takwa yang sempurna, hendaklah menghindari setiap dosa.” Seseorang menegaskan, “Tuhan menjadikan berpaling dari dunia mudah bagi orang yang benar-benar bertakwa. “ Abu Abdullah Al-Rudzbari mengatakan, “Takwa adalah menghindarkan diri dari segala sesuatu yang menjadikan anda jauh dari Tuhan.” Abul Hasan Al-Farisi menyatakan, “Takwa mempunyai aspek luar dan aspek dalam. Aspek luarnya adalah perlaksanaan syariat dan aspek dalamnya adalah niat dan mujahadah.” Dikatakan, “Takwa itu ditandai oleh tiga sikap yang baik: tawakkal terhadap apa yang belum dianugerahkan, berpuas hati dengan apa yang telah dianugerahkan, dan bersabar dalam menghadapi milik yang hilang.”

Talq Ibn Habib menjelaskan, “Takwa adalah bertindak sesuai dengan ketundukan kepada Tuhan melalui petunjuk-Nya, dan pada saat yang sama takut kepada hukuman-Nya.” Pada suatu hari, Abu Yazid Al-Bustami membeli kunyit jingga di Hamadhan. Dia menjumpai hanya sedikit kunyit jingga, dan ketika dia kembali ke Bistham, dia menemukan dua ekor semut pada kunyit itu. Maka, dia kembali ke Hamadhan dan melepaskan kedua semut itu. Abu Hanifah tidak pernah mau berteduh di bawah kerindangan pohon milik orang yang berhutang kepadanya. Dia menjelaskan, “Sebuah hadith menyatakan, ‘Setiap hutang yang pengembaliannya disertai kelebihan adalah riba’. Abu Yazid sedang mencuci jubahnya di luar kota bersama seorang sahabatnya, ketika sahabatnya berkata, “Jemurlah jubah anda dipagar dinding kebun buah itu”. Abu Yazid menjawab, “Jangan menancapkan paku di dinding orang.” Sahabatnya menyarankan, “Jemurlah di atas pohon.” Abu Yazid menjawab, “Saya khawatir ia akan menyebabkan cabang-cabangnya patah.” Dia berkata, “Bentangkanlah ia di atas rerumput.” Abu Yazid menjawab, “Rerumput itu makanan haiwan ternak. Jangan kita menutupnya dengan jubah ini.” Selanjutnya, dia menghadapkan punggungnya sehingga satu sisi jubahnya yang menghadap matahari menjadi kering, lalu dia menghadapkan sisi yang lain ke matahari sehingga kering.

Pada suatu hari Abu Yazid memasuki masjid dan manancapkan tongkatnya ke tanah. Tongkat itu jatuh dan menimpa tongkat seseorang yang berusia lanjut, yang juga menacapkannya di tanah, dan menyebabkan tongkat orang tua tersebut jatuh. Orang tua itu membongkok, lalu mengambil tongkatnya. Abu Yazid pergi ke rumah orang tua tersebut dan meminta maaf kepadanya, dengan mengatakan, “Anda tentu merasa terganggu disebabkan kelalaian saya, ketika anda terpaksa membongkok.”

Utbah Al-Ghulam tampak bercucuran keringat di musim dingin. Ketika orang-orang di sekitarnya menanyakan hal itu kepadanya, dia memberikan penjelasan, “Ini adalah tempat di mana saya telah memberontak kepada Tuhan saya.” Ketika diminta memberikan penjelasan lebih lanjut, dia mengatakan, “Saya mengambil sebongkah tanah dari dinding ini, supaya tamu saya dapat membersihkan tangan dengannya,tetapi saya tidak meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik dinding ini.” Dikatakan bahwa takwa mempunyai bermacam-macam aspek; takwa bagi kaum awam adalah menghindari syirik, bagi kaum terpilih menghindari dosa, bagi ahli sufi menghindari pergantungan kepada amal, dan bagi para nabi menghindari menisbatkan amal kepada selain Tuhan, demi Dia. Amir Al-Mukminin Ali ra menyatakan, “Kaum yang paling mulia di antara seluruh ummat manusia di dunia adalah kaum dermawan, dan yang paling mulia di akhirat adalah kaum yang bertakwa.”

Diriwayatkan oleh Abu Umamah, bahawa Nabi saw menegaskan, “Apabila seseorang melihat kecantikan seorang wanita dan kemudian menundukkan matanya setelah tatapan pertama, maka Tuhan menjadikan tindakannya itu suatu ibadah yang rasa manisnya dirasakan oleh hati orang yang melakukannya.”

Al-Junaid sedang duduk-duduk bersama Ruwaym, Al-Jurairi dan Ibn Atha’. Al-Junaid mengatakan: “Seseorang hanya boleh selamat apabila berlindung secara ikhlas kepada Allah.

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍ۬ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَـٰكُمۡ شُعُوبً۬ا وَقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوٓاْ‌ۚ إِنَّ أَڪۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَٮٰكُمۡ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ۬ 
Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih takwanya di antara kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam PengetahuanNya (akan keadaan dan amalan kamu). (Al-Hujraat: 13)

 وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَعِبٌ۬ وَلَهۡوٌ۬‌ۖ وَلَلدَّارُ ٱلۡأَخِرَةُ خَيۡرٌ۬ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ‌ۗ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ 
Dan tidak (dinamakan) kehidupan dunia melainkan permainan yang sia-sia dan hiburan yang melalaikan dan demi sesungguhnya negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Oleh itu, tidakkah kamu mahu berfikir? (Al-An'am: 32)

 وَيُنَجِّى ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ بِمَفَازَتِهِمۡ لَا يَمَسُّهُمُ ٱلسُّوٓءُ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ
Dan (sebaliknya) Allah akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa (yang menjauhkan diri dari perbuatan syirik dan maksiat) dengan mereka mendapat kemenangan besar (keredaan Allah) mereka tidak akan disentuh sesuatu yang buruk dan tidak akan berdukacita. (Az-Zumar: 61)

Saturday, April 21, 2012

Tanda Matinya Hati

Oleh Ustaz Muhammmad Arifin Ilham

Hati adalah tempat mangkalnya berbagai perasaan, tumbuh kembang antara kebaikan dan keburukan. Hati juga menjadi sumber ilham dan permasalahan, tempat lahirnya cinta dan kebencian, serta muara bagi keimanan dan kekufuran.

Hati juga sumber kebahagiaan jika sang pemiliknya mampu membersihkan berbagai kotorannya yang berserakan, namun sebaliknya ia merupakan sumber bencana jika sang
empunya gemar mengotorinya.

Hati yang kotor hanya akan menyebabkan kapasitas ruangnya menjadi pengap, sumpek, gelap, dan bahkan mati. Jika sudah mati seluruh komponen juga akan turut mati. Dalam makna yang sama, Abu Hurairah RA berkata, “Hati ibarat panglima, sedangkan anggota badan adalah tentara. Jika panglima itu baik maka akan baik pulalah tentaranya. Jika raja itu buruk maka akan buruk pula tentaranya.”

Pada akhirnya kita bisa mengenali dalam keadaan apa hati seseorang itu mati. Di antaranya adalah pertama, taarikush shalah, meninggalkan shalat dengan tanpa uzur atau tidak dengan alasan yang dibenarkan oleh syar’i. (QS Maryam [19]: 59).

Imbas dari seringnya meninggalkan shalat adalah kebiasaan memperturutkan hawa nafsu. Dan, kalau sudah demikian, dia akan menabung banyak kemaksiatan dan dosa. Ibnu Mas’ud menafsirkan kata ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut dengan sebuah aliran sungai di Jahanam (neraka) yang makanannya sangat menjijikkan. Bahkan, tempatnya sangat dalam dan diperuntukkan bagi mereka yang membiarkan dirinya larut dalam kemaksiatan.

Kedua, adz-dzanbu bil farhi, melakukan kemaksiatan dan dosa dengan bangga. Alih-alih merasa berdosa dan menyesal, justru si pemilik hati yang mati, ia teramat menikmati kemaksiatan dan dosanya. (QS al-A’raf [7]: 3).

Ketiga, karhul Qur'an, benci pada Alquran. Seorang Muslim, jelas memiliki pedoman yang menyelamatkan, yaitu Alquran. Tapi, justru ia enggan berpedoman dan mencari selamat dengan kitab yang menjadi mukjizat penuntun sepanjang zaman ini. Bahkan, ia membencinya dan tidak senang terhadap orang atau sekelompok orang yang berkhidmat dan bercita-cita luhur dengan Alquran.

Keempat, hubbul ma'asyi, gemar bermaksiat dan mencintai kemaksiatan. Nafsu yang diperturutkan akan mengantarkan mata hatinya tertutup, sehingga susah mengakses cahaya Ilahi. Sehingga, ia lebih senang maksiat daripada ibadah.

Kelima, asikhru, sibuk hanya mempergunjing dan buruk sangka serta merasa dirinya selalu lebih suci. Keenam, ghodbul ulamai, sangat benci dengan nasihat baik dan fatwa-fatwa ulama. Berikutnya, qolbul hajari, tidak ada rasa takut akan peringatan kematian, alam kubur, dan akhirat.

Selanjutnya, himmatuhul bathni, gila dunia bahkan tidak peduli halal haram yang penting kaya. Anaaniyyun, masa bodoh terhadap keadaan dan urusan orang lain. Keluarganya menderita, dia tetap saja cuek. Al-intiqoom, pendendam hebat, al-bukhlu, sangat pelit, ghodhbaanun, cepat marah, angkuh, dan pendengki. Na’udzubillah. Semoga kita semua dijaga dari hati yang mati

Sumber : Republika

Friday, April 20, 2012

Tasawuf, Dunia yang Terbuka

baitulamin.org

Pada acara Silaturahmi Da’i yang diselenggarakan Surau Baitul Amin Sawangan, 14-15 Pebruari 2009 lalu, hadir seorang narasumber dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau adalah Dr. Asep Usman Ismail, M.A., dosen tetap Fakultas Dakwah dan Komunikasi (UIN) Syarif Hidayatullah. Seusai menyampaikan materi berjudul "Memahami Dakwah Sufistik" pria kelahiran Sukabumi, 20 Juli 1960 ini menerima permintaan Mozaik Surau untuk wawancara. Berikut petikan wawancara dengan pengamal Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) di Suryalaya, Jawa Barat ini

Bagaimana menjelaskan posisi tasawuf dalam Islam?

Tasawuf menurut hemat kami, esensi ajaran Islam. Karena tasawuf berbicara tentang bagaimana seorang muslim bisa mensucikan jiwanya. Kesucian jiwa itu sangat mendasar, karena setelah jiwanya suci seorang muslim bisa meninggalkan perbuatan dosa, meninggalkan yang diharamkan, dan meninggalkan yang dimakruhkan. Semua itu kalau hanya didekati secara rasio tidak bakal terjadi, karena yang mampu menggerakkan jiwa hanyalah jiwa yaitu jiwa yang bersih.

Sebagai contoh perintah Al-Qur’an untuk makan dan minum yang halal dan baik, tidak mungkin bisa dilaksanakan kalau kecenderungan orang itu tidak suka kepada kesucian. "Hallalan Thoyibah" itu artinya suci dan bersih. Tidak mungkin orang bisa melepaskan kebiasan minum-minuman keras, kebiasaan untuk makan yang diharamkan, kebiasaan melakukan tindakan kedzoliman, kalau : Satu, kalbunya tidak bersih. Yang kedua, mungkinkah orang bisa shalat khusuk sementara dia hidup dengan makanan-minuman yang diperoleh dengan haram serta diharamkan oleh Allah?

Oleh sebab itu Al-Qur’an mengingatkan dalam surat Al Baqarah ayat 74. Kalbu kalian bisa jadi keras setelah kalian berbuat maksiat. Kalbu itu seperti batu bahkan lebih keras dari batu. Mengapa? Karena satu suap makanan yang diperoleh dengan haram sama dengan menggoreskan titik hitam ke dalam kaca yang bersih dan jernih.

Sekali minum-minuman keras menimbulkan satu goresan. Belum lagi dari mata, dari tangan, lewat ucapan/lidah, kalau tidak dibersihkan lewat tazhiyatun nafsih maka akan terjadi penumpukan beberapa titik, gumpalan-gumpalan dan membeku.

Pembekuan kalbu itulah yang secara rohani ibarat seperti batu. Apa akibatnya? Akibatnya adalah ; berilmu tapi tidak diamalkan, peringatan ditolak, nasehat tidak didengar, suara hati menjadi pelan. Orang menjadi tidak punya nurani, tidak mendengarkan nurani, tidak mempertimbangkan masukan dari luar, dia menjadi egoistik dengan kepentingan dirinya. Oleh sebab itu tasawuf sangat diperlukan sebagai esensi Islam.

Yang kedua, saya ingin memberikan data kualitatif kalau ayat suci Al-Qur’an itu sekitar 6.300-an. Ayat Al-Qur’an yang menyangkut fiqih sekitar 550 ayat, yang berkenaan dengan keimanan itu sekitar 950 ayat. Itu kalau dijumlahkan baru 1.500, sisanya 4.500 atau mungkin lebih itu berbicara tentang bagaimana orang bisa bertaubat, bersyukur, ikhlas, khusuk, tawakal. Itu semua ada dalam tasawuf.

Memang, nama tasawuf belum dikenal pada zaman Nabi. Namun substansi tasawuf itu taubat, sabar, tawakal, bersyukur, ikhlas, khusuk, kerjasama, ukhwah. Itu semua adalah ajaran tasawuf dan ajaran akhlakul. Begitu kira-kira gambarannya.

Kalau begitu belajar tasawuf kemudian mengamalkannya itu wajib bagi muslim?

Persoalannya begini, mungkinkah orang bisa mencapai kesucian hati kalau tidak ada metodeloginya? Lalu ada orang berpandangan "OK, bisa!" Baik silakan. Tetapi kalau ada orang yang berpandangan "Wah saya tidak bisa kecuali harus pakai metodelogi". Maka metodelogi ini sesuai dengan kaidah unsur fiqih. "Al amru bil amri bi saih al amri bi wa sahili", Memerintahkan sesuatu berarti perintah untuk mewujudkan media. Orang kalau dengan tarekat ini bisa menjadi lebih baik, lebih bersih, lebih jernih, lebih bening --dan itu unsur pokok dalam agama -- maka tasawuf atau tarekat menjadi wajib.
Tentang pandangan negatif atau penilaian bid’ah segala macam terhadap tasawuf, sumbernya dari mana?

Tasawuf ini dunia yang terbuka. Karena tasawuf intinya adalah dunia spiritual dan spiritualitas itu adalah universal, maka konsep universal kerohanian itu ada di mana-mana. Hindu punya konsep tentang kerohanian. Budha punya konsep kerohanian. Kristiani, Yahudi, Genostik, bahkan pengamal kearifan dan filosof, punya konsep kerohanian. Semua ini seperti samudra yang luas. Lalu orang memandang itu pengaruh eksternal dalam tasawuf (Islam), karena itu tasawuf dikatakan unsur baru di dalam islam. Bid’ah itu unsur baru di dalam islam yang tidak ada konteksnya dengan sumber Al-Qur’an dan Sunnah.

Namun cara pandang seperti ini sesungguhnya tidak lengkap. Yang lengkap adalah, unsur baru memang ada, namun unsur yang asli dari Al-Qur’an juga ada. Tapi apabila nyata-nyata tasawuf itu mengikuti unsur luar dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an, maka tasawuf itu adalah tasawuf negatif.

Mestinya yang diambil adalah yang sesuai dengan asli dari Al-Qur’an, tetapi kita bisa menerima apapun juga dari dunia luar asal sejalan dengan pakem atau konsep dasar dalam Al-Quran. Konsep dasar dari Al-Qur’an adalah Allah itu bisa didekati.

Bagaimana cara mendekatinya adalah dengan shalat, dzikir, dengan do’a. Sementara dalam Hindu dan Budha adalah dengan cara meninggalkan kehidupan duniawi, cara seperti itu bertentangan dengan prinsip dasar dalam Al-Qur’an. Di sinilah titik temu dari pertanyaan tadi, bahwa ada yang menilai bid’ah atau apriori terhadap tasawuf karena keterbatasan ilmu dan wawasan.

Kita sepakat, kalau hanya mengambil unsur luar Islam yang tidak memakai kerangka Al-Qur’an itu bid’ah dan memang harus kita tolak. Sebaliknya, bila tasawuf ini muncul sebagai mutiara-mutiara dari Al-Qur’an yang kemudian dilengkapi dengan unsur luar yang positif dan sesuai dengan jiwa Al-Qur’an, mengapa tidak dikembangkan? Saya kira begitu.

Benih-benih tasawuf telah tersebar dan bersemayam di dada para Sahabat di saat masih ada Rasulullah. Bisa dijelaskan lebih rinci?

Pada Masyarakat Madinah ada yang disebut ahlu sufa, yakni para sahabat yang tinggal di masjid, beri’tikaf, kalau shalat berjamaah di masjid selalu di awal waktu, karena sudah tua dan hambatan fisik mereka menetap di masjid. Kelompok ini dinilai pengamat sebagai cikal bakal kehidupan tasawuf.

Tetapi jangan lupa mereka ini adalah para pejuang. Mereka ini betul hidup secara kerohanian dan dijamin kehidupan sosialnya oleh Nabi yang diambilkan dari baitul maal. Tapi mereka masih peduli dan tanggung jawab terhadap urusan umat dengan cara pertama, menjadi konsultan.

Contohnya ketika Rasulullah mengangkat Usamah menjadi panglima, Beliau menganjurkan untuk bertanya ke pada ahlu sufa bagaimana penguasaan terhadap medan, tentang strategi perang, dan lain-lain sebelum berangkat.

Yang kedua, mereka menjadi pembuka langit. Ketika Rasulullah mengirim pasukan untuk berperang mereka diminta untuk membantu doa (doa dalam Al-Qur’an adalah bagian daripada peduli dan tanggung jawab). Dan yang ketiga, mereka menjadi kekuatan inti untuk sebagai simbol kekuatan Islam sehingga dalam ayat Al-Qur’an

"Orang-orang awam menyangka mereka itu orang kaya. Karena mereka itu sangat memelihara dirinya, mereka tidak mau meminta, merengek-rengek. Apalagi meminta secara paksa."

Nah kehidupan ini ada di zaman Nabi bahkan Beliau memberikan dukungan. Singkatnya secara historis substansi tasawuf ada pada perilaku Nabi dan sahabatnya. Nama atau istilah ‘tasawuf’ sendiri memang munculnya tahun 101 Hijriyah -- Nabi wafat tahun 11 Hijrah.

Jadi, poinnya, di zaman Rasulullah belum dikenal istilah tasawuf namun nabi dan sahabatnya telah mempraktekkan perilaku tasawuf. Di zaman kita banyak orang yang mengaku sufi namun kadang-kadang mereka tidak mencerminkan jiwa Al-Qur’an atau akhlak Nabi. Itulah yang menyebabkan orang-orang berkesimpulan bahwa tasawuf itu negatif.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa cikal-bakal tasawuf muncul sebagai sebuah gerakan kritik dan perlawanan terhadap penguasa/ke-khalifahan waktu itu yang bergaya hidup bermewah-mewahan...

Saya kira itu benar, karena Khulafaur Rasyidin yang berkuasa selama 30 tahun sejak Abu Bakar menjadi khalifah dan Ali bin Abi Thalib mengakhiri jabatan pada tahun 662 mereka menciptakan Khilafah Rashidah, yaitu kepemimpinan yang Bani Abbas (750), saat itu terjadi pergeseran mentalitas. Salah satunya Mu’awiyah sendiri berkantor di bangunan mewah bekas peninggalan Gubernur Jenderal Romawi di Damaskus. Para khalifah menguasai lahan dan tanah yang luas. Hal ini membuat mereka bergeser dari akhlak Islam yang sederhana, karimah, dan penuh keteladanan kepada perilaku sebaliknya.

Kondisi ini mengundang keprihatinan sahabat dan tabi’in. Salah satu tabi’in yang vokal adalah Hasan Al Basri lahir di Madinah sepuluh tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Beliau mengajak umat untuk kembali kepada akhlak Nabi, menulis surat kepada penguasa untuk mewujudkan hidup yang sederhana yaitu dengan memakai jubah yang terbuat dari bulu domba (wol) kasar sebagai simbol kesederhanaan. Maksudnya, menyadarkan pejabat dan rakyat bahwa kita perlu mewujudkan kembali kesederhanaan yang diperlihatkan para Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat utama. Maka tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang dihubungkan dengan wol kasar yang terbuat dari bulu domba, padahal ini sebagi simbol dan media kesederhanaan.

Begitu ini berhasil ada yang tetap mempertahankan pakaian yang sederhana ini sebagai simbol ketasawufan dan ada yang berpikir bahwa ini adalah sebagai media saja untuk menyadarkan pejabat yang jauh dari kesederhaaan. Intinya tasawuf adalah gerakan moral untuk mengembalikan tatanan negara dan umat pada akhlak yang mulia. Maka para pengamat menyimpulkan tasawuf adalah zuhud.

Kritik bukan dari kaum sufi saja, ada dua kritik lain tapi gagal. Misalnya dari Ali Hanafiah dari sisi Akidahnya. Karena Mu’awiyah punya pandangan bahwa Tuhan yang menakdirkan saya menjadi khalifah. Dengan alasan yang sama Mu’awiyah ‘membela’ anaknya Zahid yang berperilaku tidak baik, suka minum-minum, main wanita tapi ‘ditakdirkan’ Tuhan jadi khalifah. "Kalian tidak bisa mengkritik karena ini kehendak mutlak Tuhan". Hal ini melahirkan pandangan Urji’ah atau Jabariah bahwa Tuhan lah yang mutlak sepenuhnya yang berkuasa (Jabariah), Urji’ah (tidak bisa dinilai sekarang nanti saja di akhirat).

Lalu Ali Hanafiah putra Sayyidina Ali mengatakan ‘tidak’, di sini pun harus diwujudkan kebenaran itu dan manusia pun bertanggung jawab. Pemikiran ini melahirkan paham Qodariyah. Kritik ini hanya menjadi wacana ilmu tidak berhasil menyadarkan Bani Umayyah. Ini kritik intelektual.

Kritik berikutnya datang dari Abdullah bin Jubair yang berpendapat Bani Ummayyah tidak bisa ditundukkan dengan cara intelektual, beliau mengusulkan boikot dengan gerakan oposisi. Maka beliau memproklamirkan diri sebagai khalifah dengan daerah kekuasaan di Mekkah.

Hampir separuh Bani Umayyah itu berada di tangan Abdullah bin Jubair. Salah satu pukulan paling besar bagi Bani Umayyah adalah mereka tidak bisa pergi haji karena Mekkah dikuasai oleh golongan oposisi. Dan hal ini berlangsung selama 18 tahun.

Lalu kemudian Bani Umayyah membangun Ka’bah alternatif di Jerusalem yang jadi kubah tersohor kubah batu emas itu di atas batu tempat Nabi mi’raj. Tetapi tidak ada orang yang menerima karena semua sepakat tempat melaksanakan ibadah haji itu adalah di Baitullah. Akhirnya Bani Umayyah menyelesaikan oposisi ini dengan tindakan militer dengan membunuh Abdullah bin Jubair. Setelah terbunuh kepala Abdullah bin Jubair digantung di Ka’bah selama 7 hari 7 malam. Jadi dengan gerakan intelektual gagal, dengan gerakan boikot gagal, yang berhasil menyadarkan dengan gerakan tasawuf.

Maka ketika kita mengalami krisis di zaman modern coba pengalaman sukses Hasan Al Basri bisa diulang kembali menyadarkan pejabat, menyadarkan koruptor, menyadarkan siapa saja kepada kesucian. Dengan konsep dakwah yang diperluas. Jangan kepada orang pintar saja, jangan kepada orang awam saja, tetapi kepada siapa saja seluruh umat manusia.

Sumber: Surau Baitul Amin

Wednesday, April 18, 2012

Mestikah Manusia Bertasawuf?

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat (Imam Malik)

Fenomena kajian dan pengamalan tasawuf semakin menjadi tren di sejumlah kota besar. Hal ini juga bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena global. Tak heran jiwa ilmuwan dan praktisi tasawuf semakin mobile. Jaringan berbagai tarekat semakin mengglobal.

Pertanyaannya adalah mestikah manusia bertasawuf? Kalau itu mesti, mengapa kehidupan tasawuf dalam era permulaan Islam tidak begitu populer? Mengapa kajian tasawuf menjadi fenomena kelas menengah? Apakah fenomena ini hanya tren sesaat?
Apa itu tasawuf?
Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Al-Junaidi mengartikannya berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela. Zakaria Al-Anshari berpendapat, tasawuf merupakan ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi.

Jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan syar’i, dan menampakkan hikmah dari setiap hukum, maka tasawuf bertujuan memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah SWT. Orang yang ahli fikih disebut faqih, jamaknya fiqha'. Sedangkan ahli atau praktisi tasawuf biasa diartikan dengan sufi.

Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf lebih merupakan ilmu personal. Dalam arti, tasawuf sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya.

Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam?
Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Ahmad Al-Wasy. Menurut dia, tak populernya tasawuf pada masa awal Islam yakni di masa sahabat dan tabi'in karena pada kurun waktu itu hampir semua umat Islam ahli takwa, wara, dan ahli ibadah. Jaraknya dengan Rasulullah yang menjalani kehidupan asketis dan sufistik masih relatif dekat.

Sehingga, tidak diperlukan pembahasan secara khusus. Tidak perlu diragukan juga nilai-nilai asketisme di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat sampai tabi'in. Banyak ilmu keislaman dikembangkan justru ketika sudah jauh dari masa kehidupan Rasulullah. Tradisi penulisan Alquran, misalnya, populer setelah Rasulullah wafat.

Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, saat Islam mengalami globalisasi dan perluasan wilayah serta mengalami puncak kejayaan, termasuk puncak kekuasaan politik dan kebebasan ekspresi intelektual, tasawuf menjadi alternatif dalam kehidupan kosmologi Islam.

Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai akibat penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami perkembangan pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf.

Sebut saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn Al-Hawari Al-Damisqi (w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H), Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334 H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H). Pada abad kelima dan keenam, tasawuf kian berkembang.

Pada periode ini, lahir Imam Gazali (w. 505 H/1111 M) yang ajarannya paling banyak berpengaruh di India dan termasuk di kepulauan nusantara. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kaitan antara kemerosotan peradaban dan intelektualitas dunia Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih perlu kajian mendalam.

Hal yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini mungkin ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi. Seperti masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya.

Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah?
Fenomena kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan dunia LSM.

Secara ekonomi mereka sudah berada pada post basic-needs. Mereka sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan berdiam di kota-kota besar. Karena, mereka kebanyakan dari latar belakang santri, maka mereka tahu peta jalan keagamaan.

Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk kebahagiaan melalui jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama lebih dari sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama.

Di antara sisi yang mengasyikkan itu adalah kajian spiritual atau tasawuf. Kajian tasawuf menjadi sesuatu yang dibutuhkan mereka yang setiap hari bergelimang dunia materi yang lebih dari cukup. Mereka sangat percaya dunia eskatologis, kehidupan setelah mati.

Namun, mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan menyentuh aspek paling dalam di dalam batin mereka.

Ternyata, kajian yang seperti ini mereka temukan dalam kajian tasawuf. Maka itu, wajar kalau kajian-kajian spiritual-tasawuf semakin ramai dikunjungi orang. Lihatlah, misalnya, lembaga ESQ yang mempunyai members jutaan orang dari kelas menengah. Lihat pula pengajian rutin tasawuf setiap Senin dan Rabu di Masjid Agung Sunda Kelapa yang menyedot jamaah kelas menengah.

Fenomena yang sama juga terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Kajian tasawuf menarik karena dalam substansi dan ajaran tasawuf mereka menemukan sesuatu yang klop dengan kegelisahan dan kegersangan hati mereka.

Mereka juga merasakan rasionalitas dunia tasawuf, yang menekankan aspek humanity seperti mengedepankan persamaan, bukannya perbedaan. Selain itu, tasawuf mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, serta mengedepankan kelembutan dan femininity bukannya kekerasan dan masculinity.

Melalui tasawuf, mereka mendapatkan penjelasan bahwa Tuhan itu imanen bukannya transenden seperti banyak dikesankan dunia fikih.

Haruskan bertasawuf?
Tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti karena hal itu merupakan substansi ajaran Islam. Dunia fikih dan tasawuf tidak mesti dipetentangkan.

Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.

Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf , kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.

Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam Alquran dan hadits.

Sumber: Republika

Pemburu Belajar Belas Kasih dari Anak Rusa

Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen

SALAM sayangku padamu, cucu-cucuku, anak-anakku, saudara-saudaraku. Sudah pernahkah engkau melihat seekor anak rusa? Perkenankan aku bercerita tentang seekor anak rusa dan induknya. Dengarkanlah dengan seksama!

Cerita ini akan memberitahukanmu mengenai perbedaan antara kesadaran manusia dan kesadaran binatang.

Pada zaman dahulu, ada seorang laki-laki yang suka berburu. Dia akan masuk hutan dengan membawa sebuah senapan atau busur dan anak panah, dan dia akan menembak kijang, rusa besar, dan binatang-binatang lainnya. Seperti sebagian besar pemburu, dia suka makan daging binatang yang dibunuhnya, tapi dia mendapati daging rusalah yang paling lezat.

Sekarang, laki-laki itu sedang berburu, membunuh, dan makan seperti ini hampir sepanjang hidupnya. Kemudian, pada suatu hari, dia menemukan seekor rusa yang sedang menyusui anaknya. Ini membuatnya gembira, karena dia lelah dan tahu bahwa rusa tersebut tidak bisa kabur pada saat menyusui bayinya, jadi dia menembaknya. Tapi sebelum mati, rusa betina itu berteriak, “Duhai manusia, engkau telah menembakku, jadi cepat makanlah aku, tapi jangan ganggu anakku. Biarkan ia hidup dan bebas!”

“Aku mengerti apa yang sedang engkau minta,” jawab pemburu tadi, “tapi aku berencana untuk membawa anakmu pulang, membesarkannya, dan membuatnya sehat dan gemuk. Kelak anakmu juga akan menjadi daging untuk aku makan.”

Anak rusa yang masih kecil itu mendengarnya dan berkata, “Duhai manusia, apakah pikiran seperti itu bisa diterima oleh Allah?”

Pemburu itu tertawa, “Allah menciptakan binatang untuk dibunuh dan dimakan manusia.”

“Duhai manusia, engkau benar. Allah memang menciptakan beberapa makhluk sehingga makhluk-makhluk lain bisa memakannya. Tapi bagaimana tentang dirimu. Jika ada hukum seperti itu untuk kami, maka mungkin juga ada hukum seperti itu untukmu. Pikirkanlah! Hanya ada satu orang yang siap untuk memakanku, tetapi ada banyak orang yang menunggu dengan semangat untuk memakanmu. Tidak tahukah engkau akan hal itu? Kelak, di hadapan Allah Yang Maha Esa, tempayak, cacing, serangga kecil di neraka, dan bahkan bumi itu sendiri akan sangat senang untuk melahapmu. Engkau yang adalah umat manusia harus berpikir tentang hal ini. Ketika kami para rusa ini terbunuh, kami dimakan segera, tetapi ketika engkau meninggal, engkau akan dimakan di neraka dengan cara yang begitu pelan, dalam periode waktu yang panjang. Engkau akan takluk pada neraka selama banyak generasi baru.

Duhai manusia, Allah menciptakan aku dan dirimu. Engkau adalah manusia. Allah menciptakanmu dari tanah, api, air, udara dan eter. Aku adalah seekor binatang, tetapi Allah menciptakan aku dari unsur-unsur yang sama ini. Engkau berjalan dengan dua kaki, sedangkan aku berjalan dengan empat kaki. Meskipun warna dan kulit kita berbeda, namun daging kita sama. Berpikirlah tentang banyak cara dimana kita serupa!

Jika seseorang membunuh ibumu pada saat engkau sedang menyusu, bagaimana perasaanmu? Sebagian besar orang akan merasa kasihan jika mereka membunuh seekor rusa dengan anaknya. Mereka akan berteriak, ‘Oh, aku tidak tahu!’ Tapi engkau tampaknya tidak mempunyai belas kasihan sama sekali.

Engkau seorang pembunuh. Engkau telah membunuh begitu banyak nyawa tapi tidak pernah berhenti, untuk berpikir betapa sedih engkau nantinya jika seseorang membunuh ibumu. Malah engkau senang untuk membunuh tidak hanya ibuku, tetapi juga ingin membunuhku dan menyantapku. Karena engkau manusia, maka seharusnya berpikir tentang hal ini! Bahkan binatang yang paling kejam dan buas pun, mau berhenti untuk berpikir tentang apa yang telah aku katakan.

Tidak dapatkah engkau memahami kesedihan seorang anak yang ibunya baru saja dibunuh? Apa yang engkau katakan kepada ibuku dan padaku, sangat menakutkan dan telah membuatku sangat menderita. Duhai manusia, engkau tidak mempunyai belas kasih Allah. Engkau bahkan tidak mempunyai hati nurani manusiawi. Engkau minum darah dan makan daging binatang-binatang sepanjang hidupmu tanpa menyadari apa yang telah engkau perbuat. Engkau menyukai daging dan suka membunuh. Jika engkau mempunyai hati nurani atau rasa keadilan, jika engkau dilahirkan sebagai umat manusia sejati, maka engkau akan berpikir tentang hal ini. Allah sedang melihatku dan kau. Kelak hari nanti, keadilan dan kebenaran-Nya akan menyelidiki hal ini. Engkau harus menyadarinya!

Meskipun engkau seorang manusia, pikiranmu jauh lebih buruk daripada binatang berkaki empat. Jangan anggap dirimu adalah umat manusia. Kami jelas tidak menganggap demikian. Engkau mempunyai wajah manusia tapi bagi kami, kau lebih buruk daripada seekor binatang yang paling berbahaya dan bengis di hutan. Ketika kami melihatmu, kami takut. Tapi ketika kami melihat manusia sejati, kami tidak takut. Kami mungkin bahkan berjalan mendekatinya, karena kami seperti anak-anak kecil yang memeluk siapa saja seperti mereka memeluk ibunya.

Duhai manusia! Aku hanyalah seekor anak binatang. Jika aku berbaring dengan tidak sengaja di atas seekor ular berbisa, maka ular berbisa ini tidak akan melukaiku. Atau jika aku tidak sengaja menginjak seekor ular, ular itu pun tidak akan melukaiku karena ia sadar bahwa aku masih muda. Bahkan serangga pun mengetahui bahwa aku masih kecil dan tidak akan menyengatku.

Jadi bagaimana kau bisa melakukan hal seperti ini, duhai manusia? Engkau yang telah dilahirkan sebagai manusia harus memikirkan perbuatanmu! Sangatlah kejam untuk memeliharaku sebagai binatang piaraan hanya untuk memangsaku di hari kemudian. Setiap hari ketika kau memberiku makan, aku akan berpikir, ‘Aku mungkin dimakan esok hari.’ Hal ini akan menyiksaku terus-menerus. Hari demi hari, badanku, kegembiraanku, dan kehidupanku akan menurun. Pada akhirnya, semua yang akan tersisa dariku adalah kulit dan tulang. Aku akan kurus dan jatuh terkulai. Aku akan tidak berguna sama sekali bagimu. Aku akan terlalu sedih untuk hidup, jadi bunuh saja aku dan makanlah aku sekarang juga!

Sebaiknya makan aku pada saat yang sama kau makan ibuku. Jika kau membunuhku sekarang sebelum mengalami penderitaan itu, setidaknya kau bisa menikmati daging muda tanpa dosa yang telah minum air susu ibunya. Nanti, aku tidak akan punya daging. Jangan membuatku menderita lebih lama lagi. Bunuhlah aku sekarang juga, agar aku menderita satu hari saja! Aku terlalu sedih untuk membicarakan lagi tentang hal ini.”

“Wahai anak rusa, segala yang telah kau katakan adalah benar,” kata pemburu tadi. Kemudian dia dengan pelan-pelan mengangkat tubuh induk rusa dan membiarkan anak rusa tersebut kembali ke tempatnya.

Malam itu, pemburu tadi menceritakan kepada para pemburu lainnya mengenai apa yang telah diajarkan anak rusa tersebut padanya. Semua yang mendengar cerita ini menangis. “Sudah begitu sering kita makan daging rusa, tapi sekarang kau ceritakan hal ini pada kita, jadi kita melihat karma yang menimpa kita melalui makanan yang telah kita makan. Tubuh kita dalam keadaan kacau. Sekarang kita menyadari bahwa kita tidak mempunyai belas kasih atau kearifan.” Dan mereka semua memutuskan untuk berhenti makan makanan seperti itu.

“Biarkan anak rusa tersebut pergi,” seorang laki-laki berkata.

“Tidak, berikan aku rusa itu!” kata laki-laki lainnya. “Aku akan membesarkannya sampai dewasa dan kemudian melepaskannya.”

Tapi pemburu tersebut memutuskan untuk membesarkan sendiri anak rusa tadi. Dan selama bertahun-tahun, rusa itu menunjukkan pada pemburu tersebut kasih sayang lebih daripada yang ditunjukkan anak-anaknya sendiri. “Makhluk yang lemah-lembut ini mampu memberikan kasih sayang dan rasa terima kasih yang lebih banyak daripada umat manusia,” pikir laki-laki tersebut. “Rusa ini mencium dan menjilatiku serta mengeluarkan suara yang menyenangkan ketika aku menyuapinya. Dan bahkan rusa ini tidur di kakiku.”

Sehingga tahun-tahun berlalu sampai rusa ini sepenuhnya dewasa. Kemudian pada suatu hari, laki-laki tersebut membawanya ke dalam hutan dan membebaskannya.

Anak-anakku, kita masing-masing harus sadar tentang segala sesuatu yang kita lakukan. Semua binatang yang masih muda memiliki cinta dan belas kasih. Dan jika kita ingat bahwa setiap ciptaan pernah muda, maka kita tidak pernah membunuh nyawa lain. Kita tidak akan membahayakan atau menyerang makhluk hidup lain.

Anak-anak dan cucu-cucuku, pikirkanlah tentang hal ini. Jika kita berpikir dan bertindak dengan kearifan ini, maka ini akan sangat bagus bagi kehidupan kita. Salam sayangku padamu

Sumber: Sufinews.com

Muroqobah Fokus pada Allah

Sufinews.com

Wahai penempuh jalan Allah, hendaknya Anda menetapi jalan akhirat melalui ajaran yang telah diperintahkan kepadamu dalam aktivitas lahiriahmu. Bila Anda telah melakukannya, maka duduklahdalam hamparan Muraqabah. Raihlah dengan penjernihan batinmu, hingga tak tersisa sedikitpun yang menghalangimu. Berikanlah hak keseriusan dan ketekunanmu, lalu minimkanlah pandanganmu untuk melihat lahiriahmu. Apabila Anda ingin dibukakan rahasia batinmu, untuk mengetahui rahasia alam malakut Tuhanmu berupa intuisi ruhani yang datang kepadamu yang kemudian dihalangi oleh bisikan-bisikan yang manjauhkan dari keinginanmu, maka ketahuilah pertama-pertama, bahwa kedekatanTuhanmu pada dirimu merupakan ilmu yang langsung berkaitan dengan hatimu, melalui pengulangan terus menerus pandangan dalam menarik kemanfaatanmu dan menolak bahayamu. Lihatlah firman Allah Swt.: “Adakah sang Khalik selain Allah, yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi”

Sesungguhnya yang dari bumi adalah nafsumu, dan yang dari langit adalah hatimu. Apabila ada sesuatu yang turun dari langit ke bumi, lalu siapakah yang memalingkan dari dirimu pada selain Allah: “Allah mengetahui apa yang ada di dalam bumi dan apa yang keluar darinya, serta apa yang turun dari langit dan apa yang naik di dalamnya. Dan Allah menyertaimu dimanapun kamu berada.” (Qur’an)

Berikanlah hak kesertaanNya dengan konsistensi ubudiyah kepada-Nya dalam aturan-aturan-Nya. Tinggalkan kontra terhadap Sifat Rububiyah dalam Af’al-Nya. Siapa yang kontra kepada-Nya akan kalah: “Dan Dia adalah Maha Perkasa di atas hamba-Nya, dan Dia Maha Bijaksana dan Maha Meneliti.”

Apa yang saya katakan kepadamu ini sungguh benar: “Tiada yang muncul dari nafas-nafasmu, kecuali Allahlah yang mengaturnya, apakah Anda pasrah atau menolak. Karena Anda ingin pasrah pada suatu waktu, dan Anda mengabaikan, di waktu yang lain. Atau Anda ingin kontra pada suatu saat, lalu Anda mengabaikan, kecuali yang ada hanya pasrah. Semua itu menunjukkan Rububiyah-Nya dalam seluruh tindakan-Nya apalagi pada sisi orang yang sibuk dengan menjaga hatinya untuk meraih hakikat-hakikat-Nya.

Apabila permasalahannya sedmikian rupa, maka berikanlah haknya adab berkaitan dengan apa yang datang kepadamu, dengan Anda bersaksi terhadap sesuatu dari dirimu bahwa tiada awal kecuali dengan Awal-Nya, dan tiada yang akhir kecuali dengan Pengakhiran-Nya, tiada dzahir kecuali dengan Dzahir-Nya, tiada batin kecuali dengan Batin-Nya. Apabila Anda telah sampai pada awalnya awal, Anda akan melihat, terhadap apa yang dilimpahi-Nya.

Apabila muncul suatu bisikan dari Sang kekasih yang sesuai atau tidak dengan dirimu, yang tidak diharamkan syariat, maka lihatlah mengapa Allah ciptakan di dalam dirimu melalui pengaruh intuitif dalam kondisimu. Bila Anda menemukan bnentuk peringatan yang menyadarkan Anda pada Allah Swt, Anda harus membenarkannya. Itulah adab waktu bagi Anda. Anda jangan kembali pada selain itu. Apabila Anda tidak menemukan jalan pembenaran, maka tanjakkan diri ke hadapanNya, maka itulah adab waktu pada dirimu. Namun bila Anda kembali kepada selain jalan itu, berarti Anda telah salah jalan.

Apabila hal itu tidak muncul dari dirimu, Anda harus bertawakal, ridha dan pasrah. Bila masih belum menemukan jalan menempuhnya Anda harus berdoa agar bisa menarik menfaat dan menolak bencana dengan disertai taslim dan pasrah total. Saya peringatkan agar anda tidak berupaya demi sebuah pilihanmu, karena ikhtiyar demikian merupakan keburukan di mata orang yang memiliki mata batin.

Dengan demikian ada empat adab:
Adab Tahqiq
Adab Keluhuran
Adab Tawakal
Adab Doa.

Siapa yang mendapatkan hakikat bersama-Nya akan terjaga oleh-Nya.
Siapa yang diluhurkan oleh Allah, cukuplah bersama Allah, tanpa lainNya.
Siapa yang tawakal kepadaNya, ia melepaskan ikhtiar/pilihan dirinya, menyandarkan pada pilihan-Nya.
Siapa yang mendoa pada-Nya dengan syarat menghadap dan mahabbah pada-Nya, Insya Allah akan diijabahi menurut kelayakan dari-Nya. Atau doanya tidak diijabahi —jika Dia menghendaki— karena kehendak doanya tidak membuatnya maslahat. Setiap masing-masing etika ini ada hamparan keleluasaan.

Hamparan pertama, adalah keleluasaan “tahqiq”. Apabila ada sesuatu intuisi (bisikan halus) yang datang kepadamu tanpa tahqiq, lalu engkau dibukakan sifat-sifat-Nya, maka seharusnyalah Anda tetap dengan rahasia batin Anda, dan diharamkan Anda menyaksikan selain Allah Ta’ala.

Hamparan kedua, adalah hamparan keluhuran. Manakala datang intuisi kepadamu, selain keluhuran, dan Anda dibukakan melalui Af’al-Nya, maka luhurkanlah dirimu di sana melalui rahasia batinmu. Anda diharamkan menyaksikan selain Sifat-sifat-Nya, dan Anda sebagai pihak yang menyaksikan dan disaksikan. Pada tahap pertama adalah fana’nya penyaksi, kemudian fana’nya yang disaksikan (Anda sebagai yang disaksikan dalam fana’).

Hamparan ketiga, adalah hamparan tawakal. Apabila datang kepadamu suatu intuisi selain tawakal, saya maksudkan adalah apa yang kami sebut terdahulu, baik Anda senangi atau tidak, dan Anda dibukakan cacat-cacat bisikan, maka duduklah pada hamparan cinta-Nya, sembari bertawakal pada-Nya, ridha terhadap yang tampak pada dirimu berupa dampak dari perbuatan-Nya dalam cahaya tirai-Nya.

Hamparan keempat, adalah hamparan doa. Apabila muncul bisikan intuisi yang lain, lantas Anda dibukakan bentuk kebutuhan (kefakiran) Anda kepada-Nya, maka Allah telah menunjukkan akan Kemahakayaan-Nya. Raihlah kefakiran sebagai hamparan, dan waspadalah untuk tidak jatuh dari derajat ini pada tahap lainnya, dikawatirkan Anda terjerumus dalam makar Allah sementara Anda tidak tahu.

Minimal, bila Anda mengalami kejatuhan dari derajat tersebut, Anda akan kembali pada diri Anda, sebagai pengatur atau pemilih yang menyebabkan Anda memuliakan diri Anda, dan selanjutnya tak ada kondisi ruhani bagi Anda untuk membawanya secara serius dan tekun, baik dalam lahiriyah maupun batin Anda, dengan mengharapkan agar Anda diberi sebagaimana Allah memberinya. Lalu bagaimana Anda bisa menentang-Nya, terhadap hal-hal yang Allah tidak berkehendak memberikan kepadamu.

Maka, dampak paling minimal dalam pintu ini, adalah tuduhan-tuduhan syirik, bahwa Anda telah menang, padahal sebenarnya tidak sama sekali. Apabila Anda memang menang, lakukanlah sekehendakmu, dan Anda tidak akan mampu melakukan menurut kehendakmu selamanya. Ini menunjukkan besarnya ketekunanmu dalam memamahi tindakan-tindakan Allah Swt. Aku tidak akan ikut pada seorang hamba yang bodoh, atau seorang Ulama yang fasik.

Saya tidak tahu, dimana posisi Anda pada dua sifat ini; apakah pada kebodohan atau kefasikan, atau kedua-duanya? Kami mohon perlindungan Allah dari pengabaian jiwa dari mujahadah, dan kosongnya qalbu dari musyahadah. Pengabaian diri akan menolak syariat, dan pengosongan akan menolak tauhid. Sedangkan Sang Hakim telah membawa syariat dan tauhid. Karena itu tempuhlah dengan cara menjauhkan diri dari kontra terhadap Tuhanmu, agar menjadi orang yang bertauhid. Amalkanlah rukun-rukun syariat agar kamu menjadi pelaku Sunnah. Integrasikan keduanya dengan mata hati yang lembut, maka Anda akan meraih hakikat. Sebagaimana firman-Nya: “Atau tidakkah cukup bersama Tuhanmu, bahwa Dia Maha Menyaksikan segalanya?”

Kemudian bila muncul intuisi dalam muraqabahmu yang tidak disahkan oleh syariat atau pun yang disahkan syariat, atas apa yang berlalu dari dirimu, maka lihatlah apa yang diperingatkan dan diwaspadakan kepadamu. Apabila intuisi itu menjadikan Anda ingat kepada Allah, maka adab Anda adalah mentauhidkan-Nya di atas hamparan KeEsaan-Nya. Namun bila Anda tidak demikian, adab Anda adalah melihat adanya limpahan karunia-Nya, yang menempatkan dirimu melalui Kemahalembutan Kasih-Nya. Dan Dia menghiasi dengannya melalui kepatuhan pada-Nya, dengan mencintai-Nya secera khusus di atas hamparan Kasih-Nya.

Apabila Anda turun dari pintu derajat ini, sementara Anda tidak berkenan di sana, maka adabmu adalah memandang keutamaan-Nya, karena Dia telah menutupimu atas tindakan maksiat kepada-Nya, dan tirai itu tidak dibuka untuk makhluk lain. Namun apabila Anda berpaling dari adab ini, dan Anda ingat akan maksiat Anda, sementara Anda tidak diingatkan dengan tiga adab di atas, maka seharusnya Anda beradab dengan doa dalam taubat, atau sepadannya, demi meraih ampunan menurut tindak kejahatan yang anda lakukan, yang merupakan salah satu sisi dari yang dibenci syariat.

Namun apabila yang datang adalah intuisi ketaatan, lalu Anda datang dan mengingat siapa yang memberikan limpahan manfaat kepadamu, maka janganlah matamu memandang sejuk karenanya, tetapi harus mengingat pada Allah Yang memunculkannya. Sebab apabila pandangan mata Anda sejuk tanpa menyertakan-Nya, berarti Anda telah turun dari derajat hakikat.

Apabila Anda tidak berada pada derajat tersebut, hendaknya Anda menempati pada derajat berikutnya. Yaitu Anda menyaksikan akan keagungan keutamaan Allah terhadap diri Anda, karena Anda telah dijadikan sebagai orang yang layak dan pewarisnya berupa rizki kebaikan dari derajat tersebut. Bahkan diantara tanda-tandanya yang menunjukkan atas kebenarannya. Apabila Anda tidak menempatinya dan turun di bawahnya, maka Adab Anda adalah merenungkan secara mendalam pada ketaatan tersebut, benarkah hal itu memang taat yang sebenarnya dan Anda sendiri selamat dari tuntutan-tuntutan di dalamnya? Ataukah sebaliknya, justru Anda tersiksa karenanya? Na’udzubillah! dari segala kebajikan yang kembali pada keburukan. “Dan tampaklah pada mereka dari Allah, apa-apa yang tidak mereka perhitungkan.”

Jika Anda turun dari derajat ini pula kepada derajat lain, maka etika atau adab Anda adalah mencari keselamatan dari derajat tersebut baik melalui kebaikan maupun keburukannya. Seharusnya tujuan Anda yang berangkat dari kebajikan Anda lebih banyak dibanding tujuan dari pelajaran keburukan Anda, apabila Anda masih menginginkan termasuk golongan orang-orang shalih.

Apabila Anda inginkan suatu bagian, sebagaimana yang diberikan kepada wali-wali Allah Swt. Anda harus menolak semua manusia secara total, kecuali pada orang yang menunjukkan kepada Allah melalui petunjuk yang benar dan amal yang kokoh yang tidak kontra dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

Berpalinglah dari dunia sepenuhnya, Anda jangan sampai tergolong orang yang ditawari dunia karena tindakan itu. Namun seharusnya Anda menjadi hamba Allah yang diperintah untuk melawan musuhNya. Jika Anda berada pada posisi dua karakter ini: berpaling dari dunia dan zuhud dari manusia, maka tegakkanlah muraqabah (mawas diri untuk fokus kepada Allah, menetapi taubat dengan penjagaan diri, memohon ampunan kepada Allah melalui kepasrahan dan kepatuhan terhadap aturan-aturan secara istiqamah.

Penafsiran empat adab tersebut: Adalah hendaknya anda menjadi hamba Allah, dengan cara:

Mewaspadakan hatimu agar tidak melihat di semesta raya ini sesuatu pun selain Allah Swt. Bila anda merasa meraih ini, akan ada panggilan intusi kebenaran dari Cahaya Kemuliaan, bahwa anda telah buta dari Jalan Benar, karena darimana anda mampu melakukan Muroqobah?

Hendaknya anda mendengarkan firman Allah Swt, “Dan Allah adalah Maha Mengawasi segala sesuatu.” Dengan begitu anda merasa malu atas taubat anda yang anda duga sebagai taqarrub, maka kokohkanlah taubatmu dengan menjaga hatimu. Dan jangan anda pandang bahwa taubat itu muncul darimu, yang membuat dirimu malah keluar dari jalan yang benar.

Bila anda merasa bahwa semua itu datang dari diri anda, maka akan muncul intuisi ruhani yang hakiki memanggilmu dari sisi Allah Ta’ala, “Bukankah taubat itu datang dariNya dan kembali padaNya? Sedangkan kesibukanmu yang menjadi sifatmu, adalah hijabmu atas kehendakmu?” Maka disanalah anda memandang sifat dirimu, lalu anda mohon perlindungan kepada Allah Swt, dari sifat itu. Lantas anda beristighfar dan kembali kepadaNya.

Istighfar itu berarti mencari tutup terhadap sifat-sifat burukmu dengan cara kembali kepada Sifat-sifatNya.

Apabila anda mampu beristighfar dan kembali, akan muncul pula panggilan hakiki seketika, “Tunduklah dengan aturan-aturanKu, dan tinggalkanlah penentangan terhadapKu, teguhlah dengan kehendakKu dengan melawan kehendak dirimu. Karena kehendakmu adalah bentuk pengambil alihan sifat Ketuhanan atas kehambaanmu. Maka jadilah engkau “hamba yang benar-benar dikuasai, tidak meliki kemampuan apa pun.” Sebab jika dirimu merasa mempunyai kemampuan, maka justru akan dibebankan padamu, sedangkan Aku Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Sumber: Sufinews.com
Bila anda telah benar dalam pintu ini dan anda disiplin di sana, maka anda meraih kemuliaan rahasia semesta

Sunday, April 15, 2012

Hb. Lutfi : Muslim Bertarekat dan tidak Bertarekat

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Habib Muhammad Luthfi bin Yahya yang terhormat. Saya ingin mengajukan pertanyaan penting yang berhubungan dengan masalah kemurniaan dan kesempurnaan iman.
Pertama, apakah, di dalam mendalami masalah keimanan, setiap muslim lebih baik menjadi jamaah tarekat? Kedua, apakah dengan cara menjadi anggota jamaah tarekat di bawah bimbingan mursyidnya, seseorang dapat lebih tenang dan mantap dalam mengamalkan tuntunan agama Islam, karena dianggap merujuk pada ajaran Nabi Muham¬mad (saw) melalui bimbingan mursyid tersebut? Bagaimana dengan para ulama atau ustad yang mengajarkan Islam tanpa menjadi anggota jamaah tarekat? Demikian pertanyaan dari saya, semoga menjadi manfaat. Amin ya Robbal Alamin.
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
.

Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Tentang keimanan seseorang sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an,
"Katakanlah, jika kamu mencintai Allah..." (Ali Imran: 31).

Ketika ayat ini turun, seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad (saw), "Matta akunu mu'mman shadiqan?" atau "Bilamanakah aku menjadi mukmin yang sesungguhnya?" Dijawab oleh Baginda Nabi (saw), "Idza ahbabtallah" atau "Apabila engkau mencintai Allah"
Seianjutnya sahabat itu bertanya lagi, dan dijawab oleh Rasulullah (saw),"Orang itu mencintai Rasul-Nya. Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya, dan mencintai orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya"
Dan akhirnya, Nabi Muhammad (saw) bersabda lagi
"Wayatawaffatuna fil- Imani qadrl tawannutihim fi mahabati,"
atau "Dan keimanan mereka bertingkat-tingkat menurut tingkatan kecintaan kepada Allah." Itu diucapkan sampai tiga kali oleh Rasulullah (saw).

Hadit itu melanjutkan bahwa kadar bobot iman seseorang, tergantung pada kecintaannya kepada Nabi Muhammad (saw). Sebaliknya kadar kekafiran seseorang juga tergantung pada kebenciannya kepada beliau (saw). Kalau kecintaannya kepada Rasulullah (saw) bertambah, keimanannya kepada Allah (Swt) pun akan bertambah. bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya. Maka, apabila kita melihat ayat,
«Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihl dan mengampunlmu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
(All Imran: 31).

Lalu bagaimanakah cara mencintai Allah dan apa yang terkandung di dalam makna mencintai tersebut? Jawabanya; di antaranya bahwa Allah dan Rasul-Nya jelas tidak bias dipisah-pisahkan. Kalau seseorang mencintai Allah, pasti dan harus mencintai Nabi-Nya. Dan tentu saja, dia akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintai Rasul-Nya. Di sinilah pengertian tarekat yang sebenarnya, yakni untuk membimbing orang itu mencapai keimanan sempurna.

Keimanan terbentuk secara terbimbing. Di situlah peran para mursyid, sehingga tingkatan tauhid kita, makrifat kita,tidak salah dan tidak sembarangan menempatkan diri, sebab ada bimbingan dari mursyid tersebut Bagaimana orang yang tidak bertarekat? Saya jelaskan dulu, syaratnya bertarekat itu harus tahu syariat dulu. Artinya, kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh individu sudah dipahami. Diantaranya, hak Allah (Swt): wajib, mustahil, dan jaiz (berwenang). Lalu hak para rasul, apa yang wajib, mustahil, dan jaiz bagirnereka.

Setelah kita mengenal Allah dan Rasul-Nya, kita meyakini apa yang disampaikannya. Seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji baga y ng mampu. Begitu juga kita mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan Islam seperti shalat, wudhu', dan lainnya. Namun Anda harus bisa membedakan, orang yang menempuh jalan kepada Allah dengan sendirian, tentu tidak sama dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah bersama-sama, yaitu melalui seorang mursyid. Kalau kita mau menuju Mekkah, sebagai satu contoh, seseorang yang belum mengenal Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah, tentu berbeda dengan orang yang datang kedua tempat tersebut dengan disertai pembimbing ataumursyid.
Orang yang tidak mengenal sama sekali kedua tempat itu, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuannya, sah-sah saja. Namun orang yang disertai mursyid
akan lebih runtut dan sempurna, karena si pemimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantarke rukun zamani, sumur zamzam, makam Ibrahim, dan lainnya Meski seseorang itu sudah sampai di Ka'bah, namun kalau tidak tahu rukun zamani, dia tidak akan mampu untuk memulai tawaf karena tidak tahu bagaimana memulainya itulah perbedaannya.

Saturday, April 14, 2012

Berderma Kepada Seekor Anjing

Kisah Hikmah

Suatu hari 'Abdullah bin Ja'far memasuki sebuah perkebunan kurma. Di sana ia lihat seorang anak kecil berkulit hitam menjaga perkebuan tersebut. Di tangannya tampak beberapa potong roti. Tak lama kemudian terlihat seekor anjing memasuki perkebunan itu. Sang budak kecil melemparkan sepotong roti kepadanya. Anjing itu memakannya dengan lahap. Budak itu kemudian melemparkan dua potong roti lagi. Anjing tersebut menyantapnya tanpa sisa.

"Duhai anakku, dalam sehari, kau makan apa?" tanya 'Abdullah bin Ja'far penasaran.
"Tiga potong roti yang kau lihat," jawabnya.

"Mengapa kau lebih mengutamakan anjing itu dan memberikan semua rotimu kepadanya?" tanya 'Abdullah.

"Di kawasan ini tidak ada anjing, dia datang dari tempat yang jauh. Dia tentu lapar. Aku tak mau dia kelaparan sedangkan aku kenyang," jawab anak kecil itu.

"Lalu apa yang akan kau makan hari ini” Tanya Abdullah.
Hari ini aku akan berpuasa," jawabnya.

Budak kecil ini lebih dermawan dariku/'ujarnya.
'Abdullah membeli perkebunan kurma tersebut beserta budak kecil itu dan segala peralatannya, kemudian ia membebaskan Sang budak dan menghadiahkan kebun itu kepadanya.

Hikmah dibalik Cerita

Jika seorang yang berharta berderma itu hal yang biasa, tetapi jika seorang yang kekurangan harta berderma itu adalah sesuatu yang luar biasa. Kisah di atas mengajarkan banyak hal, di antaranya adalah sifat itsar, yaitu mengutamakan orang lain meskipun kita berada dalam kesulitan dan kesempitan. Bayangkan, seorang budak kecil rela mendermakan jatah makannya kepada seekor anjing. Dia tahu bahwa anjing itu lelah dan lapar, sebab ia berasal dari daerah yang jauh. Sikap ini timbul dari jiwa yang penuh kasih. Rasuluah saw bersabda:

"Orang-orang yang berjiwa kasih akan dikasihi oieh Allah yang Maha Pengasih. Kasihilah (sayangilah) (semua) yang di bumi, maka semua yang di larngit akan mengasihi (menyayangj) kalian," (HR Tirmidzi Abu Dawud dan Ahmad)

Anak kecil itu telah memiliki kepekaan sosial yang sangat tinggi. Karena mengasihi seekor anjing, ia pun memperoleh kasih sayang Allah. Seketika itu juga ia bebas dari perbudakan dan menjadi jutawan.

Thursday, April 12, 2012

Video Haul Habib Abdul Qadir Bilfaqih

Bismillahirrohmanirrohiim
Berikut adalah salah satu video langka Haul Habib Abdul Qodir Bil Faqih di Malang
Haul ini dihadiri anak beliau yang Mulia Habib Abdullah Bil Faqih.
Semoga kita bisa mendapat hikmah dengan melihat wajah-wajah mulia didalam video ini.
Amien


Tuesday, April 10, 2012

Perumpamaan Di Dunia

Oleh Muhammad Raheem Bawa Muhaiyadeen

Tuhan berkata, “Berbagai macam hal yang Aku ciptakan di dunia adalah sebagai perumpamaan untukmu. Gunakan kebijaksanaanmu untuk belajar dari mereka, dan naiklah. Lihat bunga teratai yang Aku ciptakan ini. Ia tumbuh dari lumpur dan hidup di air, tapi ia tidak menyimpan lumpur atau air pada daunnya. Kau juga tumbuh dari benih kotor, tapi tidak seperti bunga teratai kau malah menyimpan semua benih kotor itu dalam dirimu. Karena begitu banyak lumpur di dalam dirimu, hidupmu penuh penderitaan. Tapi sejak bunga teratai tidak membawa apa-apa dari tempat ia tumbuh, hidupnya penuh dengan keindahan.

“Lihatlah pada berbagai macam bunga yang Aku ciptakan untuk lebah madu. Tahukah kau berapa banyak warna dan keharuman yang mereka miliki? Tapi dari berbagai macam bunga yang tersedia, sadari bahwa lebah hanya mengambil apa yang menjadi miliknya dan kemudian ia pergi berlalu. Dengan hal yang sama, untukmu Aku menciptakan berbagai macam hal, tiap hal dengan sifat-sifat dan esensinya masing-masing, keduanya baik dan buruk. Mengapa kau tidak mengambil apa yang menjadi bagianmu dan kemudian pergi berlalu? Lebah madu tidak berputar-putar sambil berkata, “Semua bunga ini begitu indah, aku ingin menikmati semuanya.” Lebah madu hanya mengambil apa yang menjadi miliknya. Dengan hal yang sama, adalah tugasmu untuk mengetahui apa yang menjadi milikmu, ambil bagianmu, lalu pergilah.

“Sekarang, jika kau mengaduk lima puluh botol susu, hasilnya kau hanya akan mendapatkan beberapa gram mentega. Aduklah dirimu dan lihat apa yang terjadi. Hanya sedikit bagian berharga yang tersisa. Itulah Aku, satu-satunya yang berharga. Coba kau leburkan bagian berharga itu, kau akan melihat dirimu dan Diriku. Gunakan kebijaksanaanmu dan lihatlah pada apa-apa yang telah Aku berikan kepadamu. Aduk setiap hal dan darinya ambil apa yang menjadi nilai sejatinya.

Perumpamaan yang diberikan Tuhan tidak ada batasnya. “Lihat burung kecil itu yang Aku ciptakan, ia dinamakan burung Kolibri. Ia memiliki bulu yang gelap, tapi bulunya bersinar, dan ia bergerak secepat kilat. Jasadmu juga gelap, tapi aku meletakkan cahaya terang benderang di dalam dirimu, cahaya keimanan, cahaya kebijaksanaan. Ia berada di dalam dirimu, selalu bersinar di sana.

“Pelajaran lainnya datang dari burung Kolibri. Apakah kau lihat bagaimana ia menyeimbangkan tubuhnya untuk mengambil madu, tanpa pernah menyentuh bunganya? Ia melayang-layang di atasnya, menyeimbangkan tubuhnya di udara sembari memasukkan paruhnya ke dalam bunga untuk meminum madunya. Di dalam hidupmu kau juga harus seperti burung Kolibri. Jangan sentuh dunia. Seimbangkan dirimu di atasnya, tanpa bersandar padanya, dan hanya mengambil apa yang kau butuhkan. Jika burung Kolibri kehilangan keseimbangan dan mendarat pada bunganya, tangkainya akan patah dan sarinya akan hilang. Seperti itu, jika kau kehilangan keseimbanganmu, kau akan mendarat di dunia dan terjatuh. Jadi, tetaplah dalam keadaan seimbang, dan katakan, “Tiada Tuhan selain Allah (La ilaha illallahu). Rasakan madu itu. Ia berasal dari samudera kebijaksanaan. Tatkala kau telah merasakannya, kau akan mengerti.”

Samudera kebijaksanaan begitu luas. Tuhan meletakkan bermilliar-milliar hal di samudera tersebut, sebagai perumpamaan untuk kita amati dan pelajari. “Walaupun begitu banyak kelopak yang mengelilingi bunga, tapi dari kedalaman bunganya hanya tercium satu keharuman. Dengan hal yang sama, walaupun begitu banyak hawa nafsu yang Aku letakkan pada dirimu, dan begitu banyak hal yang meliputimu, satu semerbak keharuman datang dari dalam, dari dirimu yang sejati, dan semerbak keharuman itu berhembus dari dirimu kepada segala sesuatu. Jadi seterusnya kirim keharuman itu kepada apapun yang berada di dalam dirimu. Bawalah semua hawa nafsumu ke dalam kendalimu dan transformasikan mereka. Adalah mungkin bagimu untuk melakukan hal itu. Berikan keharumanmu kepada semua yang ada pada dirimu. Semua hal ini diletakkan di samudera kebijaksanaan untuk membantumu memahami pelajaran ini.

“Lihat bagaimana buah-buahan dikelilingi oleh begitu banyak daun dan ranting. Aku menciptakan mereka seperti ini dengan sebuah alasan, untuk membelokkan tekanan dari angin kencang yang berhembus, sehingga buahnya tidak rusak. Dan sebagaimana Aku letakkan daun-daun dan ranting-ranting di sekeliling buah untuk melindunginya, Aku memberimu jasad dengan begitu banyak hawa nafsu dan keinginan, sehingga ketika masalah dan penderitaan datang menyerang, bagian yang paling berat menanggung serangan adalah hawa nafsu dan keinginan dari diri rendahmu, bukan dirimu. Mereka diserang akibat keinginan mereka sendiri. Tapi kau berbuat kesalahan dengan berpikir bahwa kaulah yang diserang dan menderita. Kau harus menyadari bahwa jasad (diri rendah) dan hawa nafsu diciptakan dengan sengaja untuk menangkis tekanan, sehingga kau tidak akan merasakannya, agar kau bisa hidup tenteram dan aman.

Perumpamaan ini dapat membantumu untuk memahami sesuatu yang penting. Tuhan telah menciptakan berbagai hal sebagai perumpamaan bagi kita untuk belajar darinya. Jika kita gagal memahaminya, itu karena kurang bijaknya diri kita.

Sumber: http://surrender2god.wordpress.com

Rumi : Lemparkanlah Tongkatmu

Rumi: Kulliyat-e Syams

Sang Raja nan Maha Indah dan Penyayang
telah berkenan menerimaku.
Dia Sang Saksi cahaya hati,
Sang Penyejuk dan Sahabat jiwa,
Ruh bagi segenap semesta.

Kujumpai Dia yang telah menganugerahkan
hikmah kepada para bijak-bestari,
kemurnian kepada orang-orang suci.

Dia yang dipuja rembulan dan bintang-bintang.
Dia yang kepadanya menghormat sekalian wali.

Seluruh sel pada diriku berseru:
Alhamdulillah, Allahu Akbar.

Ketika Musa melihat pohon yang menyala, [1]
dia berkata: "setelah menemukan anugerah ini,
tak lagi kubutuhkan sesuatu yang lain."

Tuhan berkata, "Wahai Musa, penjelajahanmu
telah selesai. Lemparkanlah tongkatmu." [2]

Pada saat itu Musa mengenyahkan dari hatinya
semua teman, saudara, dan kerabat.

Inilah makna dari tanggalkan ke dua terompahmu: [3]
Hilangkan dari hatimu hasrat akan sesuatu pun
di kedua alam.

Sejatinya, ruang qalb itu diperuntukkan
bagi-Nya semata.
Hanya akan kauketahui hal ini melalui
pertolongan para nabi.

Tuhan berkata,
"Wahai Musa, apa itu yang engkau pegang
di tangan kananmu?" [4]

Musa menjawab,
"Ini tongkatku, untuk membantuku berjalan." [5]

Tuhan berkata,
"Lemparkanlah tongkatmu, dan perhatikanlah [6]
keajaiban di dalam dirimu sendiri."

Musa melemparkan tongkatnya ke tanah,
dan tongkat itu berubah menjadi seekor naga.
Langsung Musa lari ketakutan. [7]

Tuhan berkata,
"Pungutlah kembali, dan akan Kuubah dia [8]
menjadi tongkat lagi.
Dengan berkah-Ku, musuh-musuhmu akan
memberimu pertolongan.
Musuh-musuhmu akan berupaya
meraih persahabatanmu."

Wahai tangan, tetaplah berupaya meraih-Nya.
Wahai kaki, tetaplah berjalan kepada-Nya.

Janganlah lari dari ujian yang Kami berikan padamu.
Karena ketika kau jumpai kesulitan,
disitu akan kau jumpai sarana untuk
memahami maksudnya.

Tak ada seorangpun yang berhasil lolos dari
kesulitan, kecuali terjadi kepadanya
hal yang lebih buruk.

Jangan makan umpannya!
Bala-bencana menantimu.

Jangan menyerah pada keraguanmu!
Itu akan melemparkanmu dari Jalan.

Kini, Matahari dari Tabriz telah memberi kita
pertolongan: dia telah pergi, dan tinggalkan
kita sendiri.

Catatan:
[1] QS Al Qashash [28]: 30.

[2] QS Al Qashash [28]: 31, Thaahaa [20]: 19.

[3] QS Thaahaa [20]: 12.

[4] QS Thaahaa [20]: 17.

[5] QS Thaahaa [20]: 18.

[6] QS Thaahaa [20]: 19.

[7] QS Thaahaa [20]: 20.

[8] QS Thaahaa [20]: 21.

Sumber:
Rumi: Kulliyat-e Syams, Ghazal no 123
Badi-uz Zaman Furuzanfar (Ed.)
Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Jonathan Star,
dalam In the Arms of the Beloved,
Jeremi P. Tacher/ Penguin, 1997. Ngrumi.blogsot.com

Apa Itu Nur Muhammad?

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Dalam ilmu tasawuf, Nur Muhammad mempunyai pembahasan mendalam. Nur Muhammad disebut juga hakikat Muhammad.

Sering dihubungkan pula dengan beberapa istilah seperti al-qalam al-a’la (pena tertinggi), al-aql al-awwal (akal utama), amr Allah (urusan Allah), al-ruh, al-malak, al-ruh al-Ilahi, dan al-ruh al-Quddus.

Tentu saja, sebutan lainnya adalah insan kamil. Secara umum istilah-istilah itu berarti makhluk Allah yang paling tinggi, mulia, paling pertama dan utama. Seluruh makhluk berasal dan melalui dirinya. Itulah sebabnya Nur Muhammad pun disebut al-haq al-makhluq bih atau al-syajarah al-baidha' karena seluruh makhluk memancar darinya.

Ia bagaikan pohon yang daripadanya muncul berbagai planet dengan segala kompleksitasnya masing-masing. Nur Muhammad tidak persis identik dengan pribadi Nabi Muhammad SAW. Nur Muhammad sesungguhnya bukanlah persona manusia yang lebih dikenal sebagai nabi dan rasul terakhir.

Namun tak bisa dipisahkan dengan Nabi Muhammad sebagai person, karena representasi Nur Muhammad dan atau insan kamil adalah pribadi Muhammad yang penuh pesona. Manusia sesungguhnya adalah representasi insan kamil. Oleh karena itu, dalam artikel terdahulu, manusia dikenal sebagai makhluk mikrokosmos.

Sebab, manusia merupakan miniatur alam makrokosmos. Posisi Muhammad sebagai nabi dan rasul dapat dikatakan sebagai miniatur makhluk mikrokosmos karena pada diri beliau merupakan tajalli Tuhan paling sempurna. Itu pula sebabnya, mengapa Nabi Muhammad mendapatkan berbagai macam keutamaan dibanding nabi-nabi sebelumnya.

Bahkan hadits-hadits Isra’ Mikraj menyebutkan, Rasulullah pernah mengimami nabi yang pernah hidup sebelumnya. Melalui Nur Muhammad, Tuhan menciptakan segala sesuatu. Dari segi ini, Al-Jilli menganggapnya qadim dan Ibnu ‘Arabi menganggapnya qadim dalam kapasitasnya sebagai ilmu Tuhan dan baharu ketika ia berwujud makhluk.

Namun perlu diingat bahwa konsep keqadiman, menurut Ibnu Arabi, ada dua macam, yaitu qadim dari segi dzat dan qadim dari segi sesuatu itu masuk ke wilayah ilmu Tuhan. Nur Muhammad, menurut Ibnu Arabi, masuk kategori qadim jenis kedua, yaitu bagian dari ilmu Tuhan (qadim al-hukmi) bukan dalam qadim al-dzati.

Dengan demikian, Nur Muhammad dapat dianggap qadim dalam perspektif qadim al-hukmi, namun juga dapat dianggap sebagai baharu dalam perspektif qadim al-dzati. Dalam satu riwayat juga pernah diungkapkan bahwa Nabi Muhammad adalah sebagai nabi pertama dan terakhir.

Ia disebut sebagai nabi pertama dalam arti bapaknya para ruh (abu al-warh al-wahidah), nabi terakhir karena memang ia sebagai khatam an-nubuwwah wa al-mursalin.

Sedangkan, Nabi Adam hanya dikenang sebagai bapak biologis (abu al-jasad). Jika dikatakan Muhammad SAW nabi pertama dan terakhir bagi Allah SWT, tidak ada masalah.

Nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang kelihatannya paradoks, seperti al-awwal wa al-akhir, al-dhahir wa al-bathin, al-jalal wa al-jamal, juga tidak ada masalah bagi-Nya, karena itu semua hanya di level puncak (al-a’yan ats-tsabitah) atau wujud potensial, tidak dalam wujud aktual (wujud al-kharij).

Dasar keberadaan Nur Muhammad dihubungkan dengan sejumlah ayat dan hadits. Di antaranya, "Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (Nur) dari Allah dan kitab yang menerangkan." (QS. Al-Maidah 15).

Ayat lainnya, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu), bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab: 21). Ada pula hadits, "Saya adalah penghulu keturunan Adam pada hari kiamat."

Hadits riwayat Bukhari menjadi dasar lainnya, yaitu "Aku telah menjadi nabi, sementara Adam masih berada di antara air dan tanah berlumpur." Ada lagi suatu riwayat panjang yang banyak ditemukan dalam literatur tasawuf dan literatur-literatur Syiah adalah pertanyaan Sayyidina Ali RA kepada Rasulullah.

"Wahai Rasulullah, mohon dijelaskan apa yang diciptakan Allah sebelum semua makhluk diciptakan?"

Rasul menjawab, "Sebelum Allah menciptakan yang lain, terlebih dahulu Ia menciptakan nur nabimu (Nur Muhammad). Waktu itu belum ada lauh al-mahfuz, pena (qalam), neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, jin, dan manusia.

Kemudian dengan iradat-Nya, Dia menghendaki adanya ciptaan. Ia membagi Nur itu menjadi empat bagian. Dari bagian pertama, Ia menciptakan qalam, lauh al-mahfuz, dan Arasy. Ketika Ia menciptakan lauh al-mahfuz dan qalam, pada qalam itu terdapat seratus simpul.

Jarak antar simpul sejauh dua tahun perjalanan. Lalu, Allah memerintahkan qalam menulis dan qalam bertanya, 'Ya Allah, apa yang harus saya tulis?' Allah menjawab, 'Tulis La Ilaha illa Allah, Muhammadan Rasul Allah.' Qalam menjawab, 'Alangkah agung dan indahnya nama itu, ia disebut bersama asma-Mu Yang Maha Suci.'

Allah kemudian berkata agar qalam menjaga perilakunya. Menurut Allah, nama tersebut adalah nama kekasih-Nya. Dari nur-Nya, Allah menciptakan Arasy, qalam, dan lauh al-mahfuz. Jika bukan karena dia, ujar Allah, dirinya tak akan menciptakan apa pun. Saat Allah menyatakan hal itu, qalam terbelah dua karena takutnya kepada Allah."


"Sampai hari ini, ujung qalam itu tetap terbelah dua dan tersumbat sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia Ilahi."

"Oleh karena itu, jangan ada seorang pun gagal dalam memuliakan dan menghormati nabinya atau menjadi lalai dalam meneladaninya. Selanjutnya, Allah memerintahkan qalam untuk menulis."

"Qalam bertanya, Apa yang harus saya tulis, ya Allah? Dijawab oleh Allah, Tulislah semua yang akan terjadi sampai hari pengadilan. Qalam pun kembali bertanya tentang apa yang harus ia mulia tuliskan. Allah menegaskan, agar qalam memulai dengan kata-kata, Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim."

"Dengan rasa hormat dan takut yang sempurna, kemudian qalam bersiap menulis kata-kata itu pada Lauh Al-Mahfudz dan menyelesaikan tulisan itu dalam kurun waktu 700 tahun. Saat qalam telah menulis kata itu, Allah menyatakan bahwa qalam telah menghabiskan 700 tahun menulis tiga nama-Nya."

Ketiga nama itu adalah nama keagungan-Nya, kasih sayang-Nya, dan empati-Nya. Tiga kata-kata yang penuh barakah ini dibuat sebagai hadiah bagi umat kekasih-Nya, yaitu Muhammad. Di samping ayat dan hadis tersebut di atas juga masih ada nasihat atau perkataan yang menarik untuk dikaji bersama.

Antara lain, ungkapan yang disampaikan Al-Khallaj sebagai berikut, "Maha Suci (dzat) yang nasut-Nya telah melahirkan rahasia cahaya lahut-Nya yang cemerlang; kemudian ia kelihatan bagi makhluk-Nya secara nyata dan dalam bentuk (manusia) yang makan dan minum."

Mungkin inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad memiliki berbagai keutamaan, seperti satu-satunya yang bisa mengakses langsung Sidrah Al-Muntaha, maqam paling puncak, diberi Lailah Al-Qadr, diberi hak memberi syafaat di hari kiamat, umatnya paling pertama dihisab, paling pertama masuk surga, dan paling berhasil misinya.

Dalam kitab Fushush Al-Hikam karya Ibnu Arabi, dibahas lebih mendalam hakikat Nur Muhammad (Haqiqah Al-Muhammadiyyah). Yang menarik di dalam pembahasan itu, kita semua umat manusia mempunyai unsur-unsur kemuhammadan (Muhammadiyyah) seperti halnya di dalam diri manusia terdapat unsur-unsur keadaman (Adamiyyah).

Muhammadiyyah, Adamiyyah, dan sejumlah manusia suci lainnya, ternyata bermakna fisik dan simbolis, atau makna esoteris di samping eksoteris. Uraian tentang Nabi Muhammad, kemuhammadan, dan Nur Muhammad serta relasinya dengan kita sebagai sebagai makhluk mikrokosmos sangat menarik disimak.

Terlepas apakah nanti setuju atau tidak setuju keseluruhannya, itu wilayah otonomi intelektualitas kita masing-masing. Wallahua’lam.

Sumber : Republika

Habib Syech - Jepara Bersholawat bersama Syeikh Hisyam Al Kabbani

Tuesday, April 3, 2012

Imam Syafi'i : Jadilah Faqih dan Sufi

Oleh Bahrus Shofa

Sultan al-Malik al-Kamil Muhammad bin al-Malik al-`Adil Abu Bakar bin Ayyub daripada Dinasti Ayyubi yang memerintah Mesir satu ketika dahulu telah membangun sebuah kubah indah menaungi makam Sulthanul A-immah Muhammad bin Idris asy-Syafie radhiyaAllahu `anhu.

Atas kubah tersebut dibangun suatu lambang berbentuk kapal atau bahtera dan bulan sebagai isyarat bahawa di bawah kubah tersebut bersemadinya "Bahrul `Ulum" [Lautan Ilmu Pengetahuan], Sulthanul A-immah, Imam al-Muthallibi, Muhammad bin Idris asy-Syafie radhiyaAllahu `anhu. Keluasan ilmu dan wawasan Imam asy-Syafie diibaratkan seperti lautan yang tidak bertepi. Sebahagian ulama tatkala menziarahi makam Imam besar ini telah mendendangkan syair yang berbunyi:-

Telah kudatangi kuburnya asy-Syafi`i untuk kuziarahi
Kudapati bahtera padanya tanpa samudera di sisi
Maka kukatakan: Maha Tinggi Allah, inilah isyarat menunjuki
Bahawasanya samudera telah ditelan oleh kuburnya Syafi`i


Imam besar ini telah menghabiskan umur beliau di dunia dengan sebaik-baiknya, penuh kesalihan dan manfaat bagi sekalian umat Junjungan Nabi shallaAllahu `alaihi wa sallam. Umur beliau yang berkat itu juga ditutup dengan khatimah yang baik, hari Jumaat akhir bulan haram, Rajab. Diceritakan bahawa Imam az-Za'faarani radhiyaAllahu `anhu memberitakan yang beliau mendengar Imam Ahmad radhiyaAllahu `anhu berkata:

"Aku telah bermimpi seakan-akan Junjungan Nabi shallaAllahu `alaihi wa sallam wafat dan banyak orang melayat jenazah Rasulullah. Maka tatkala pagi harinya, kami dapati bahawa Imam asy-Syafie yang telah wafat pada hari tersebut."

Imam asy-Syafie radhiyaAllahu `anhu adalah seorang imam dalam berbagai lapangan ilmu - ilmu Islam dan beliau juga adalah seorang yang berjalan atas landasan tasawwuf dalam kehidupan sehariannya. Bahkan, beliau berpesan agar seseorang itu menjadikan dirinya orang yang faqih lagi sufi dan bukan hanya faqih dan hanya sufi semata-mata.

Ini adalah karana faqih yang tidak berjalan atas landasan tasawwuf, maka hatinya akan menjadi keras akibat penyakit-penyakit hati yang bersarang dalamnya, manakala sufi yang tidak mempedulikan ilmu fiqh, akan menjadi seorang yang jahil akan hukum-hukum dan ketentuan agamanya. Perkara ini dinyatakan oleh Imam asy-Syafi`i, antaranya, dalam bait-bait syair yang beliau gubah. Bait-bait ini termaktub dalam diwannya yang masyhur. Namun perlu diberi perhatian bahwa dalam sesetengah cetakan "Diwan al-Imam asy-Syafi`i" dan yang dalam bentuk e-book, bait-bait ini telah digugurkan oleh mereka-mereka yang anti kepada sufi dan tasawwuf sebagaimana yang telah mereka lakukan dalam karangan panutan mereka sendiri, Ibnu Taimiyyah, dalam himpunan fatwanya. Berbalik kepada "Diwan al-Imam asy-Syafi`i" maka pada halaman 47, Imam asy-Syafi`i radhiyaAllahu `anhu bersyair dengan katanya:-



Faqih lagi sufi, Engkau jadikan dirimu
Kedua-duanya sekali, Jangan hanya salah satu
Demi Allah, Sungguh - sungguh aku menasihatimu
Faqih semata tiada merasa takwa, kerna hatinya membatu
Manakala semata sufi itu jahil, Kurang faham, tiada ilmu
Justru bagaimana si jahil, menjadi baik sholih lagi bermutu ?


Oleh itu, janganlah meremeh-remehkan ilmu fiqh dengan mengganggapnya tidak penting karana itu adalah kulit saja. Berusaha menjadikan diri kita orang yang faqih dan sufi sebagaimana nasihat dan pesanan Imam kita asy-Syafi`i tersebut. Insya-Allah, kita memperolehi keselamatan dan laba di akhirat nanti.

Jangan jadi sesetengah manusia zaman ini,
Dengan thoriqat dia menisbah diri
Saban hari berkhayal dirinya wali
Namun lalai syariat Ilahi
Majlis ilmu ia jauhi
Para ulama tiada ia hampiri
Rasa dirinya sudah mencukupi
Lagi pula guru thoriqatnya wali
Kalau pun sungguh bagai yang dirasai
Maka yang wali itu si gurunya tadi
Sang Guru wali
Ilmunya penuh amalnya selari
Memadaikah bagi si murid hanya dengan bangga diri

Sumber: Bahrus Shofa