Pages

Sunday, February 5, 2012

Amir bin Abdullah At-Tamimi

Tawadhu'nya Sufi Sejati

"Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku menangis karena panjangnya perjalanan dan sedikitnya bekal"

Salah satu tabi'in yang dikenal zuhud adalah Amir bin Abdullah At-Tamimi. Nama At-Tamimi pada akhir namanya merupa­kan penunjuk bahwa ia berasal dari Bani Tamim, suku Arab asli di Hijaz.

Pada waktu muda, dia mengabdikan dirinya dan sekaligus berguru kepada Abu Musa Al-Asy'ari, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang pada waktu itu menjadi gubernur Bashrah. Karena itulah, hidupnya hanya untuk beribadah, berjuang membela Islam, dan menuntut ilmu. Tiga hal itulah yangmembuatnya dikenal sebagai ahli zuhud di kota Bashrah.

Seorang penduduk Bashrah men­ceritakan kehidupan Amir bin Abdullah, "Aku pernah mengikuti perjalanan se­buah kafilah yang di dalamnya ada Amir bin Abdullah at-Tamimi. Ketika malam tiba, kami beristirahat di bawah pepo­honan besar dekat sumber air. Saat itu­lah Amirmembereskan perbekalannya, kemudian mengikat kudanya pada se­buah pohon. Tali kuda itu sengaja dibuat panjang. Dia juga mengumpulkan rum­put yang dapat mengenyangkan kuda. Setelah itu ia memasuki sela-sela pepo­honan dan menjauh dari kami.
Melihat itu aku berkata dalam hati, `Demi Allah, akan aku ikuti dan perhati­kan apa yang dia kerjakan dalam belukar pada malam-malam seperti ini.'

Dia terus menelusuri semak belukar hingga sampai pada sebuah tempat yang terselubungi oleh pepohonan dan tak terlihat oleh orang lain. Kemudian ia berdiri tegak menghadap kiblat dan shalat. Baru kali ini aku melihat sese­orang shalat dengan sempurna dan khu­syu' seperti itu.

Karena kelelahan setelah menem­puh perjalanan panjang pada siang tadi, kantuk berat menyerangku,sehingga tertidur. Setelah sekian lama aku terlelap da­lam tidur, aku pun bangun. Sementara itu Amir masih tetap berdiri shalat dan bermunajat hingga fajar menjelang."

Gentong Penuh Permata
Setiap kali seruan jihad memanggil, Amir termasuk pelopor dalam menyam­butnya. Dia mujahid yang banyak ber­peran saat perang berkecamuk. Dengan gagah berani, dia
menembus barisan musuh. Namun dia tidak berhasrat untuk mendapatkan ghanimah
(rampasan perang).

Ketika Sa'ad bin Abi Waqqash, pang­lima Perang Qadisiyah, berhasil menun­dukkan persia, dia memerintahkan pe­tugas untuk mengumpulkan dan menghi­tung ghanimah. Banyak
sekali harta ke­kayaan, perhiasan, dan barang-barang berharga yang dikumpulkan. Seperlima dikirim ke baitul mal dan sisanya dibagi­kan kepada para mujahidin.

Saat para petugas menghitung harta rampasan dengan disaksikan langsung oleh kaum muslimin, tiba-tiba datang di tengah-tengah mereka seorang lelaki berambut kumal penuh debu membawa sebuah gentong besar.

Dengan takjub mereka memperhati­kan. Ternyata gentong itu penuh dengan batu permata dan intan berlian. Mereka belum pernah mendapatkan harta ram­pasan perang yang sepadan dengan­nya. Maka mereka pun bertanya kepada lelaki itu, "Dari mana engkau dapatkan harta simpanan yang sangat berharga ini?"

"Aku dapatkan pada peperangan ini di tempat ini," jawabnya singkat.

"Apakah engkau mengambil bagi­an?" tanya mereka.

"Demi Allah, gentong ini dan segala yang dimiliki raja-raja Persia bagiku tak senilai dengan ujung kuku sama sekali.
Sekiranya tidak ada hak baitul mal di dalamnya, tentu tak akan aku angkat dan
aku gendong ke tengah-tengah kalian," jawab lelaki itu.

"Siapakah engkau," tanya mereka penasaran.

"Tidak, demi Allah, aku tak akan memberi tahu kalian, juga orang lain, agar kalian
tidak memuji dan menyan­jungku. Aku hanya memuji dan menyan­jung Allah serta mengharap pahala dari Nya," kata lelaki itu seraya berlalu me­ninggalkan mereka.

Terdorong oleh rasa penasaran yang amat sangat, mereka mengutus sese­orang untuk membuntuti dan mencari in­formasi tentang lekaki itu. Tanpa sepengetahuannya, lelaki itu terus diikuti hingga tibalah ia di tengah sahabat-sahabatnya.Ketika orang yang membuntuti itu menanyakan perihal lelaki tersebut ke­pada mereka, mereka menjawab, `Tidak­kah engkau mengetahuinya? Dialah ahli zuhud kota Bashrah, Amir bin Abdillah At-Tamimi."

Lidah Basah dengan Dzikrullah
Amir menghabiskan sisa hidupnya di negeri Syam dan memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggal.Ketika sakitnya makin berat, para sa­habatnya menjenguk dan mendapatinya sedang menangis.
Mereka pun bertanya, "Apakah yang menjadikan engkau menangis? Bukan­kah engkau orang yang begini dan be­gitu (menyebutkan berbagai macam ke­baikan)."

"Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku menangis karena panjangnya perjalan­an dan sedikitnya bekal. Apa yang telah aku jalani, antara
naik dan turun, ke sur­ga atau ke neraka, aku tak tahu ke mana aku akan kembali."

Kemudian dia mengembuskan nafas terakhir. Sementara lidahnya basah de­ngan dzikrullah.

Amir bin Abdillah At-Tamimi mening­gal pada masa pemerintahan Khalifah Mu'awiyah bin Abu Sufyan, sekitar akhir abad pertama Hijriyyah. la dimakamkan di Baitul Maqdis

Sumber: Majalah Alkisah

No comments:

Post a Comment