Pages

Monday, January 23, 2012

Tarekat Naqsyabandiyah di India

Tarekat Naqsyabandiyah masuk ke India dibawa oleh Sayyidi Syaikh Muaiyiduddin Muhammad Baqi Billah qs. dan dilanjutkan oleh Sayyidi Syaikh Akhmad Faruqi Sirhindi Q.S. yang lahir di Sirhindi, kini negara bagian Punjab, sebelah barat New Delhi pada Jum’at, 4 Syawal 971 H atau 26 Mei 1564.
Disebut al-Faruqi karena beliau memiliki garis keturunan yang bersambung sampai kepada Khalifah Umar. Tarekat Naqsyabandiyah betul-betul telah tumbuh dan berkembang di India sebelum Syaikh M. Baqi Billah wafat pada 1603 M. Penerusnya, Syaikh Akhmad, sangat yakin akan tugas besarnya dalam memainkan peranan menumbuhkan kehidupan keagamaan di masanya. Berkat bimbingan dan dorongan Syaikh M. Baqi Billah, Syaikh Akhmad sadar akan tugas-tugas tersebut.

Beliau diperkenalkan dengan seorang yang memegang posisi penting dalam pemerintahan Kerajaan Mughal - seorang jenderal yang juga murid Syaikh M. Baqi Billah, yakni Syaikh Farid Murtadha Khan.
Bidang administrasi dan militer merupakan aspek karir Syaikh Farid yang menonjol. Loyalitasnya kepada negara dan kedermawanannya dalam kualitas yang baik sekali. Syaikh Farid juga mendapat penghormatan dan penghargaan dari para ulama dan pembaharu karena keberanian, ketulusan dan keikhlasannya. Dia memperoleh posisi baik dalam pemerintahan Sultan Akbar.

Kepada Syaikh Farid inilah sebagian besar surat-surat Syaikh Ahmad ditujukan; mengingatkan bahwa keadaan Islam di India telah merosot dan menjadi tugas mereka untuk menegakkan kembali. Beliau ingatkan pula bahwa figur Nabi Muhammad saw. merupakan panutan terbaik. Dalam sebuah surat yang lain, tidak lama setelah Khwaja Baqi Billah berpulang, dia berterima kasih kepada Syaikh Farid karena telah menyediakan sesuatu untuk mereka yang berdiam di khanaqah Khwaja. Hal ini membuktikan bahwa Syaikh Farid menyokong gerakan pembaharuan secara moril dan materiil.

Seluruh ajaran Syaikh Ahmad termaktub dalam surat-suratnya yang terdiri dari 534 buah. Kemudian surat-suratnya itu dikumpulkan menjadi magnum opus dari seluruh karyanya berjudul al-Maktubat Imam Rabbani



Sebagaimana diketahui, pada masa itu India dibawah kekuasaan Kaisar Mughal Sultan Akbar, dalam masa pemerintahannya ia mencoba menawarkan konsep toleransi antar umat beragama yang disebut Tauhid Ilahi atau lebih populer dengan nama Din-i-Ilahi. Konsep toleransi yang pada akhirnya terjerumus pada sinkretisme Hindu dan Islam ini, semula dimaksudkan mendamaikan pertikaian panjang antara umat Hindu dan Muslim, sekaligus menampung kepentingan mayoritas Hindu di dalam kekuasaan Mughal. Namun dalam tataran ’akar rumput’, konsep ini telah membawa ’kekisruhan’ bagi masyarakat India saat itu, khususnya antara Muslim dan penganut Hindu.

Aturan yang penuh kontroversi antara lain: Sijda (sujud) saat menghadap raja. Boleh meminum anggur jika diijinkan dokter untuk sekadar menguatkan badan. Prostitusi yang dilegalkan dengan melokalisasi di suatu tempat di dalam kota yang dinamakan Shaitanpura atau Desa Syetan. Larangan menyembelih dan memakan daging sapi - termasuk sebagai hewan kurban. Penghapusan jizyah (zakat perlindungan bagi non-Muslim). Di tataran masyarakat mengubah masjid menjadi candi, atau sebaliknya, kerap terjadi.

Kondisi umat Islam sendiri banyak diwarnai syirik dan bid’ah, terutama disebabkan oleh kontak dengan kepercayaan politeistik yang hidup di India. Tidak jarang umat Islam di India ikut dalam kegiatan peribadatan non-Muslim. Faktor lainnya, bid’ah dan khurafat telah merajalela, terutama disebabkan oleh adanya pengaruh sufi palsu yang bodoh dan sesat. Misalnya, pelaksanaan ritual kurban di makam wali (masyayikh). Para wanita biasanya melakukan puasa dengan niat untuk para guru sufi tertentu, dan untuk itu dilakukan serangkaian ritus. Sebagian besar sufi di masa itu lebih sering larut dalam pesta musik (sama’), tarian spiritual (raqs), serta melebih-lebihkan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Syaikh Akhmad menyesalkan para ulama masa itu, yang seharusnya menjadi penjaga agama dan menyelamatkan umat dari syirik dan bid’ah, namun diri mereka justru terjerumus dalam praktik-praktik demikian. Syaikh Akhmad menentang keras konsep Din-i-Ilahi yang digagas Sultan Akbar. Ia mulai melakukan serangkaian pembelaan bagi kepentingan Islam yang telah dipinggirkan oleh penguasa. Kekhawatiran Syaikh Akhmad adalah dapat tercerabutnya akar tradisi Islam dan lunturnya syariat Islam. Ia mencoba berkorespondensi dengan sejumlah menteri yang dekat dengan Sultan Akbar agar pesannya di dalam surat tersebut disampaikan kepada Sultan.

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga - Yogyakarta, Prof. Umar Asasuddin Sokah, MA dalam bukunya Din-i-Ilahi; Kontroversi Keberagamaan Sultan Akbar Agung (India 1560 - 1605), yang diterbitkan Ittaqa Press Yogyakarta (1994), berpendapat : Andaikata kedua pribadi agung itu - Syaikh Farid dan Syaikh Ahmad - tidak ada, mungkin Islam telah lenyap di India dengan meninggalnya Akbar. Mungkin Islam telah lenyap di India dengan meninggalnya Akbar. Mungkin negara Islam Pakistan dan Bangladesh tidak akan pernah ada. Sebab jika Khusru’ anak Jahangir naik tahta, dan jika Syaikh Farid berdiam diri dan tidak mau membai’at Jahangir, tentu negara yang dipimpin oleh Khusru’ akan lebih banyak diwarnai agama Hindu dan Sikh. Untunglah hal itu tidak terjadi. Allahu Akbar!
Misi pemurnian

Tarekat Naqsyabandiyah di bawah pimpinan Syaikh Akhmad mempunyai 3 (tiga) misi besar yang harus diselesaikan pada masa hidupnya. Pertama, mengkritik kaum kafir, bid’ah, dan berbagai doktrin yang salah, serta meneguhkan kembali nubuwwah, beriman kepada wahyu dan agama Rasul. Mengutuk kemungkaran, kekafiran, dan kembali mematuhi Sunnah. Menentang kekuatan-kekuatan anti Islam serta menjaga lembaga-lembaga dan hukum Islam.

Kedua, mengklarifikasi propaganda penganut Syi’ah yang mengutuk dan mempersalahkan para sahabat Rasul yang telah merampas kekuasaan dari tangan Ali yang notabene - dalam perspektif Syiah - adalah pewaris kekuasaan sesudah Nabi SAW wafat.

Ketiga, pemurnian ajaran tasawuf dari pengaruh teori wahdat al-wujud. Syaikh Akhmad meyakini bahwa penganut teori tersebut kurang peduli terhadap syariat. Mereka berkeyakinan bahwa syariat hanyalah jalan untuk mencapai kebenaran, tetapi mereka yang sudah mencapai kebenaran itu menganggap tugas-tugas syariat tidak lagi diperlukan.

Usaha Syaikh Akhmad untuk melaksanakan misinya itu tidak pernah berhenti sampai ajal menjemput Sultan Akbar yang kemudian diganti oleh putranya yang bernama asli Salim kemudian setelah menjadi sultan berganti nama Jahangir. Dengan meninggalnya Akbar tanggal 15 Oktober 1605 maka berakhir pulalah Din-i-Ilahi, karena Akbar hanya mengandalkan pengaruh dan contoh-contoh yang diberikannya. Dia tidak mengangkat orang-orang yang akan meneruskan dan mempropagandakan gagasannya itu. Jahangir yang naik tahta pada 21 Oktober 1605 tidak melanjutkan gagasan ayahnya. Akan tetapi sijda masih tetap dipertahankan di kala menghadap raja di istana.

Untuk menarik hati rakyat dia menetapkan suatu dekrit yang berisikan 12 fasal yang masih berhubungan dengan Din-i-Ilahi, seperti larangan pemungutan zakat, larangan penyembelihan binatang-binatang pada hari tertentu, dan penghormatan yang diberikan kepada hari Minggu.
Saat pelantikan Jahangir menjadi sultan, ia memberi gelar -Tuan Pedang dan Pena- kepada Syaikh Farid, dan memerintahkannya untuk mematahkan pemberontakan Pangeran Khusru’ - anak Jahangir sendiri yang ingin menjadi raja. Misi tersebut berhasil dan Syaikh Farid mendapatkan gelar ’Murtadha Khan’. Sementara Syaikh Akhmad melihat bahwa inilah momentum bagus untuk mengembalikan Islam dan kaum Muslimin kepada ajaran yang sesungguhnya. Namun sejak awal Syaikh Akhmad sebenarnya tidak berharap terlalu banyak hal-hal itu dapat direalisasikan, sekalipun Jahangir pernah berjanji kepadanya.

Ternyata benar dugaannya, setelah pernikahan Jahangir dengan Nur Jehan, suasana berbalik arah. Syaikh Akhmad dibenci karena ia dianggap pemimpin Sunni. Ajarannya tidak lagi didengar. Bahkan, ia sempat mendekam di penjara karena sebuah fitnah, tetapi akhirnya Jahangir berbaik hati, Syaikh Akhmad dibebaskan setelah setahun mendekam di penjara.

Anak Jahangir yang lain, Shah Jahan menggantikannya dan naik tahta pada 6 Pebruari 1628. Apabila Jahangir memperlakukan agama Jain dan Sikh dengan perlakukan yang tidak menunjukkan rasa toleransi, maka Shah Jahan juga menganut paham yang sama, tetapi sasarannya adalah orang-orang Hindu dan tahanan Kristen yang ada di Hugli. Di samping itu dia menghidupkan kembali rasa agama yang mulai padam dengan mengeluarkan beberapa dekrit. Pertama kali dia memperbaiki kalender. Kalender menurut perhitungan matahari dianggap bid’ah, dan karena itu dihentikan. Semua kejadian resmi dan transaksi dicatat menurut tahun qamariah, dan untuk itu era Hijrah diutamakan. Sijda (sujud) yang telah menjadi mode di masa pemerintahan Akbar dan Jahangir dihentikan, sebab dianggap bertentangan dengan syari’at.

Inti sari ajaran Din-i-Ilahi; agar semua rakyat dapat perlakuan yang sama berdasarkan undang-undang keadilan alam (natural justice), tidak digubris oleh Shah Jahan. Di kala anaknya, Aurangzeb, naik tahta pada 21 Juli 1658, maka dia ternyata lebih ekstrem lagi dari Shah Jahan dalam membela dan menyebar-luaskan agama Islam.

Kewajiban pajak untuk semua bahan komoditi yang dijual ditetapkan 2,5% bagi orang-orang Islam, dan 5% bagiorang Hindu. Kemudian dalam Mei 1667 orang-orang Islam seluruhnya dibebaskan dari pajak seperti itu, dan negara harus melepaskan banyak pendapatan. Cara lain yang dipergunakan oleh Sultan agar membujuk konversi ke dalam Islam adalah memberikan hadiah-hadiah dan kedudukan-kedudukan bagi orang-orang Hindu yang melepaskan agamanya. Negara menjadi sebuah pranata misionari besar yang perlindungannya meluas kepada orang-orang yang menukar agamanya dan memberikan banyak janji tanpa memandang keuntungan dan efisiensi.

Bukan itu saja, pada 1668, pasar-pasar amal bagi orang-orang Hindu ditutup di seluruh kerajaan. Pada 2 April 1679 jizyah yang telah dibekukan di masa Akbar dicairkan kembali oleh Aurangzeb di seluruh provinsi, dengan tujuan membendung orang-orang kafir dan untuk membedakan tanah orang Islam dan tanah orang kafir.

Demikianlah Aurangzeb tidak mengindahkan sama sekali ajaran Din-i-Ilahi, yang satu pokok ajarannya ialah, semua agama sama derajatnya. Agama Islam mewarnai politik pemerintahannya, dan sedapat mungkin disesuaikan dengan standar ortodoks Sunni. Itulah sebabnya dia mengambil tindakan-tindakan tersebut di atas. Hal itu adalah berkat adanya Tarekat Naqsyabandiyah yang diperkenalkan oleh Syaikh M. Baqi Billah, dilanjutkan oleh Syaikh Akhmad serta anaknya Syaikh Muhammad Ma’sum Q.S. (silsilah ke-24).

Disamping itu terdapat pejabat tinggi yang tidak memihak kepada pembaharuan agama yang diadakan oleh Akbar. Beliau adalah Syaikh Farid, seorang jenderal yang tangguh dari kaum bangsawan. Keistimewaan Tarekat Naqsyabandiyah yang diperkenalkan oleh Syaikh M. Baqi Billah ini ialah keinginannya untuk memenangkan umat Islam dengan cara mempengaruhi pejabat-pejabat tinggi pemerintahan, baik sipil maupun militer. Sedangkan ulama sebelumnya meremehkan hal itu.

Sumber : Republika
1. Din-i-Ilahi; Kontroversi Keberagamaan Sultan Akbar Agung (India 1560 - 1605) Prof. Umar Asasuddin Sokah, MA., Ittaqa Press Yogyakarta (1994)
2. Ensiklopedi Tasawuf, Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah - Pimpinan Redaksi/Penanggungjawab Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Penerbit Angkasa Bandung (2008)

No comments:

Post a Comment