Jika engkau ingin ziarahmu diterima, pertama-tama laksanakan perintah-perintah-Nya, kembalikanlah apa-apa yang diperoleh dengan zhalim, bertaubatlah kepada-Nya dari semua maksiat, dan putuskanlah keterkaitan hatimu dengan selain Dia, agar engkau menghadap kepada-Nya dengan wajah hatimu sebagaimana engkau menghadap kepada rumah-Nya dengan wajah tubuhmu.
Hujjatul Islam Al-Ghazali telah menghabiskan puluhan halaman dari kitabnya, Al-Ihya`, untuk berbicara tentang haji dengan pembicaraan yang panjang lebar yang dipenuhinya dengan uraian dan bahasan secara terperinci.
Ia membagi pembicaraannya menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah amalan-amalan zhahir haji, yang mana ia mengarahkan pembicaraannya kepada kaum muslim secara umum yang tidak dapat mencapai rahasia-rahasia yang dalam dan pembahasan-pembahasan yang terperinci.
Pada bagian kedua, ia berbicara tentang rahasia-rahasia haji, tujuan-tujuannya, dan maksud-maksudnya, yang mana ia menyelami makna-makna yang dalam yang digalinya dari amalan-amalan haji. Dan tampaknya ia menujukan pembicaraannya yang khusus ini kepada orang-orang yang mampu menyelami hal-hal yang mendalam, naik ke cakrawala yang luas, agar dapat menyerap pelajaran-pelajaran dan nasihat-nasihat yang sangat bagus, sehingga bertambahlah hubungan mereka dengan Tuhannya dan bertambah pula pengenalannya tentang hak-Nya terhadap mereka.
Dengan Persiapan yang Baik
Dalam kitab monumentalnya, Ihya’ `Ulumiddin, Imam Al-Ghazali mengisahkan perjalanan seorang alim yang shalih yang sedang menempuh perjalanan haji. Namanya Ali bin Al-Muwaffaq.
Dikisahkan demikian, “Pada suatu malam, tanggal 8 malam 9 Dzulhijjah (malam hari Arafah) ia tertidur di Masjid Al-Khaif Mina. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat sedang berdialog. Malaikat yang satu berbicara kepada malaikat yang lain, “Hai teman, tahukah engkau berapa banyak orang yang pergi haji tahun ini?”
Malaikat yang lain menjawab, “Tidak tahu!”
Kemudian temannya tadi memberi tahu bahwa mereka itu jumlahnya mencapai 600.000 jama’ah.
Kemudian ditanya lagi, “Tahukah kamu berapa orang di antara mereka itu yang meraih haji mabrur?”
“Tidak tahu!” jawab temannya.
Kemudian temannya itu menjelaskan bahwa yang meraih haji mabrur hanya enam orang.
Sampai dialog ini, dua malaikat itu pun pergi.
Setelah itu Ali bin Al-Muwaffaq pun terbangun dari tidurnya dengan penuh penasaran, sedih, dan gelisah. Dalam hatinya ia bertanya, “Jika hanya enam orang yang diterima hajinya dari 600.000 jama’ah, apakah aku bisa masuk yang enam orang itu?”
Demikianlah ia terus-menerus merenungkan dan berusaha mencari tahu makna di balik mimpinya itu. Selanjutnya ia berusaha melakukan ibadah hajinya dengan sebaik mungkin agar berhasil masuk dalam kelompok enam yang hajinya mabrur tersebut.
Kisah ini tidak diketahui kapan terjadinya dan seberapa jauh kebenarannya. Tetapi yang jelas, Al-Ghazali, yang dikenal sebagai ulama yang amat termasyhur dan mendapat julukan Hujjatul Islam, telah mencatat dalam kitabnya yang amat monumental dan berpengaruh di kalangan orang-orang yang mendalami masalah-masalah spiritualitas.
Sekurang-kurangnya yang dapat diambil hikmah dari kisah tersebut adalah agar setiap orang yang menunaikan ibadah haji selalu menata dan meluruskan niatnya, melakukan ibadah hajinya dengan baik dan benar serta selalu berusaha dan berdoa agar ibadahnya diterima oleh Allah SWT. Ya, seorang yang akan menunaikan ibadah haji seharusnya melakukan persiapan lahir dan bathin dengan sebenar-benarnya. Karena, perjalanan haji bukanlah perjalanan wisata, melainkan ibadah multidimensi dalam arti sesungguhnya.
Dalam kitab monumentalnya itu, Al-Ghazali memang secara khusus berbicara panjang lebar tentang ibadah yang istimewa ini. Ia memulai bahasannya tentang haji dengan pembukaan yang bersajak yang menyerupai mukadimah khutbah mimbar. Dalam khutbahnya, ia mengatakan, “Segala puji bagi Allah, Yang telah menjadikan kalimat tauhid sebagai tempat berlindung dan benteng untuk hemba-Nya, menjadikan Bait Al-`Atiq sebagai tempat yang aman untuk pertemuan (berkumpulnya) manusia, memuliakannya dengan menisbahkannya kepada diri-Nya dengan suatu kemuliaan, penjagaan, dan keamanan. Allah menjadikan ziarah ke tempat itu dan thawaf di sana sebagai penghalang antara seorang hamba dan siksa. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, nabi pembawa rahmat dan pemimpin umat. Begitu juga kepada keluarganya dan sekalian sahabatnya sebagai pemimpin-pemimpin kebenaran dan pemuka manusia.”
Setelah mengawalinya dengan pembukaan yang indah, Al-Ghazali pun mulai memasuki pembahasannya yang terperinci dan mendalam tentang ibadah yang sangat istimewa ini.
Allah berfirman dalam surah Al-Hajj, yang artinya, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Al-Hajj: 27). Sedangkan Rasulullah SAW bersabda, “Haji mabrur itu lebih baik daripada dunia dan isinya, dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.”
Pusat pelaksanaan ibadah haji berlangsung di kota Makkah, kota paling suci di muka bumi. Ia negeri Allah yang mulia dan tempat diutusnya Nabi-Nya SAW. Betapa sangat mulia dan terhormatnya Makkah, sehingga tidak ada suatu negeri pun di mana seseorang akan dihukum walaupun baru berniat (berbuat jahat) dan belum melakukannya kecuali Makkah. Allah SWT mengatakan dalam surah Al-Hajj, yang artinya, “Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (QS Al-Hajj: 25). Jadi, orang itu akan dihukum di sini dengan berniat jahat saja.
Rasulullah SAW juga berkata yang ditujukan kepada Makkah, “Sesungguhnya engkau bumi Allah terbaik dan negeri Allah yang paling aku cintai.”
Setelah Makkah, yang paling mulia adalah Madinah. Mengenai masjidnya di kota ini, Rasulullah bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di tempat lain kecuali di Masjid Haram.”
Mengenai pelaksanaan haji itu sendiri, walaupun Al-Ghazali berpendapat bahwa pelaksanaan haji dapat ditunda beberapa waktu (tidak harus segera), ia mengatakan, “Barang siapa memiliki kemampuan, ia wajib menunaikan haji. Dan ia dapat menundanya, tetapi hal ini mengandung bahaya. Apabila ia memiliki kemudahan walaupun di akhir umurnya (dan ia tidak menunaikan haji), ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan sebagai seorang yang bermaksiat karena meninggalkan haji. Jika ada peninggalannya, ia harus dihajikan dengannya sekalipun ia tidak mewasiatkannya, sebagaimana utang-utangnya yang lain.
Seandainya seseorang memiliki kemampuan di dalam suatu tahun tetapi ia tidak berangkat bersama orang-orang dan kemudian hartanya itu binasa pada tahun itu juga sebelum orang-orang itu menunaikan haji (yakni, mereka masih dalam perjalanan), kemudian ia mati, ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki kewajiban haji atasnya. Barang siapa mati dan belum menunaikan haji padahal memiliki kemudahan, hal itu sangat berat di sisi Allah.
Umar RA pernah mengatakan, ‘Aku ingin menulis surat kepada negeri-negeri agar dikenakan pajak terhadap orang yang memiliki kemampuan tetapi tidak menunaikan haji.’ Dari Sa`id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha`i, Mujahid, dan Thawus, dikatakan, ‘Barang siapa mati dalam keadaan belum membayarkan zakat dan belum menunaikan haji, ia minta dikembalikan ke dunia dan ia membaca firman Allah, yang artinya: Ya Allah, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan’.” (QS Al-Mu`minun: 99-100).
Harap-harap Cemas
Rukun-rukun haji itu ada lima, yaitu ihram, wuquf, thawaf, sa`i, dan bercukur. Sedangkan yang diharamkan dilakukan ketika berhaji adalah memakai pakaian yang berjahit, memakai wangi-wangian, mencukur rambut atau mengguntingnya, melakukan hubungan suami-istri dan pendahuluan-pendahuluannya, serta membunuh buruan darat yang dapat dimakan.
Amalan-amalan haji yang bersifat zhahir sebagaimana pendapat Hujjatul Islam Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
Pertama, memulai maksud menunaikan haji dengan bertaubat, membayar utang-utang, mengembalikan barang-barang yang didapat dengan berbuat zhalim kepada pemiliknya, mengembalikan titipan-titipan dan amanah-amanah kepada yang berhak, dan menyiapkan nafkah bagi orang-orang yang wajib ia nafkahi selama ia melakukan perjalanan sampai ia kembali kepada mereka.
Kedua, mengambil teman yang baik dalam perjalanannya, yang membantunya untuk melakukan kebaikan dan mengingatkannya akan sesuatu yang membuat Allah menjadi ridha.
Ketiga, ketika akan berangkat dari rumahnya, hendaknya ia berdoa kepada Allah dengan ikhlas seperti membaca doa-doa yang biasa dibaca saat akan melakukan perjalanan kemana saja.
Keempat, berniat ihram dan memulai talbiyah dengan mengucapkan Labbaik, Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal-hamda wan-ni`mata laka wal-mulk, la syarika lak.
Betapa dalam makna falsafah ihram dan makna talbiyah. Mengenai hal ini Al-Ghazali menuturkan, “Ihram dan talbiyah dari miqat, maknanya adalah memenuhi panggilan Allah. Karena itu, berharaplah agar ia diterima dan takutlah apabila dikatakan kepadamu, ‘Engkau tidak memenuhi panggilan dan engkau tidak memperoleh kebahagiaan.’ Jadilah engkau senantiasa berada di antara harapan dan rasa takut (harap-harap cemas), berlepas dirilah dari sekelilingmu dan kekuatanmu, dan berpeganglah kepada anugerah dan kemurahan Allah. Sesungguhnya waktu talbiyah merupakan awal dari ibadah ini dan tempat talbiyah itu merupakan tempat yang penting.”
Sufyan bin Uyainah mengisahkan, “Suatu ketika Ali bin Al-Husain menunaikan haji. Ketika ia berihram dan menaiki untanya, menjadi menguning tubuhnya. Ia pun menggigil, gemetar, dan tidak dapat bertalbiyah. Lalu ia ditanya, ‘Mengapa engkau tidak bertalbiyah?’
Ia menjawab, ‘Aku takut akan dikatakan kepadaku: Engkau tidak memenuhi panggilan dan engkau tidak memperoleh kebahagiaan.’
Ketika bertalbiyah, ia pingsan dan jatuh dari untanya. Hal itu terus menimpanya sampai ia menyelesaikan hajinya.”
Ahmad bin Abi Al-Hawari berkata, “Aku bersama dengan Abu Sulaiman Ad-Darani ketika ia hendak berihram. Ia tidak bertalbiyah sampai kami berjalan sejauh satu mil. Kemudian ia pingsan, lalu tersadar. Setelah itu ia berkata, ‘Wahai Ahmad, telah sampai keterangan kapadaku bahwa barang siapa berhaji dengan harta yang tidak halal kemudian ia bertalbiyah, Allah akan berkata kepadanya: Tidak ada talbiyah bagimu, tidak ada kebahagiaan bagimu sampai engkau mengembalikan apa yang berada di tanganmu.’ Maka jangan sampai dikatakan demikian kepada kita.”
Ya, semakin manusia mencapai puncak keimanannya kepada maqam yang sangat tinggi, semakin ia merasa takut kepada Allah SWT. Dan sebaliknya, semakin rendah kedudukan manusia, semakin tidak punya rasa takut kepada Allah SWT. Karena itu, kita melihat bagaimana Rasulullah SAW setiap harinya senantiasa beristighfar puluhan kali bahkan ratusan kali kepada Allah SWT.
Ketika mengangkat suaranya dengan membaca talbiyah di miqat, hendaknya seseorang ingat bahwa ia memenuhi seruan Allah, karena Dia mengatakan, yang artinya, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji.” (QS Al-Haj: 27). Hendaknya ia juga mengingat bagaimana manusia diseru dengan ditiupkannya terompet, dibangkitkannya mereka di kubur-kubur mereka, dan berdesak-desakannya mereka di hari Kiamat memenuhi seruan Allah. Mereka terbagi menjadi orang-orang yang didekatkan dan orang-orang yang ditolak.
Mereka pada awalnya harap-harap cemas, antara takut dan berharap, seperti harap-harap cemasnya orang yang sedang berhaji di miqat, yang mana ia tidak tahu apakah mudah bagi mereka untuk menyempurnakan haji ataukah tidak, apakah hajinya diterima atau tidak.
Rukun selanjutnya adalah thawaf di sekeliling Ka`bah. Thawaf ini seperti shalat, tetapi di dalam thawaf kita dibolehkan berbicara. Thawaf dilakukan tujuh kali putaran, dimulai dari Hajar Aswad dan berakhir di sana pula. Kemudian melakukan sa`i di antara Shafa dan Marwah tujuh kali balik.
Rukun lainnya adalah wuquf di Arafah. Inilah rukun haji yang terpenting. Dalam sebuah hadits dikatakan, “Haji itu adalah wuquf di Arafah.” Pada saat wuquf di Arafah ini sepatutnya setiap orang banyak berdoa.
Setelah itu bermalam di Muzdalifah pada malam nahar (malam Hari Raya), dilanjutkan dengan melontar jumrah di Mina. Kemudian melakukan thawaf ifadhah, yang dinamakan juga thawaf ziarah.
Seseorang dapat melakukan umrah sesudah melakukan haji atau sebelumnya.
Yang juga tak dapat dipisahkan dari pelaksanaan ibadah haji adalah menziarahi Madinatur Rasul. Sebuah hadits mengatakan, “Barang siapa datang mengunjungiku dan tujuannya hanya untuk mengunjungiku, menjadi hak Allah bahwa aku menjadi pemberi syafa’at baginya.”
Setelah itu menikmati shalat di Raudhah (taman), yang suci. Tentang Raudhah, Rasulullah mengatakan, “Di antara kuburku dan mimbarku terdapat taman dari taman-taman surga, dan mimbarku berada di atas telaga.”
Adab Berhaji
Mengenai adab yang harus diperhatikan seorang yang menunaikan haji, Al-Ghazali menuturkan:
Di antara adab yang paling penting dalam perjalanan ini adalah seseorang mengkhususkan dirinya untuk melakukan haji dan memutuskan segala hubungannya dengan dunia. Itu dilakukan dengan melakukan taubat yang murni semata-mata karena Alah dari semua perbuatan maksiat dan kezhaliman. Karena, setiap kezhaliman itu merupakan pengait dan setiap pengait itu seperti musuh yang memberikan pinjaman dan ia akan mengait ke arah seseorang dan akan berkata, “Ke mana engkau menghadap, wahai Fulan? Apakah engkau menuju ke Rumah Allah, Raja dari segala raja, sedangkan engkau menyia-nyiakan perintah-Nya di rumahmu dan mengabaikan-Nya? Tidakkah engkau malu bahwa engkau datang kepada-Nya sebagaimana datangnya seorang hamba yang suka bermaksiat, lalu Dia akan menolakmu dan tidak menerimamu?
Jika engkau ingin ziarahmu diterima, pertama-tama laksanakan perintah-perintah-Nya, kembalikanlah apa-apa yang diperoleh dengan zhalim, bertaubatlah kepada-Nya dari semua maksiat, dan putuskanlah keterkaitan hatimu dengan selain Dia, agar engkau menghadap kepada-Nya dengan wajah hatimu sebagaimana engkau menghadap kepada rumah-Nya dengan wajah tubuhmu.
Jika engkau tidak melakukan itu, engkau tidak mendapatkan apa-apa dari perjalananmu kecuali kelelahan dan kesengsaraan, lalu pencampakan dan penolakan.
Apabila seorang yang menunaikan haji membeli dua pakaian ihram, hendaklah ketika itu ia ingat akan kain kafan dan ingat pula bahwa ia akan dibungkus dengannya. Sesungguhnya ia akan mengenakan dua pakaian ihram ketika dekat dengan Baitullah dan barangkali belum sempat menyempurnakan perjalanannya kepada-Nya tiba-tiba ia sudah harus menjumpai Allah dalam keadaan dibungkus dengan kain kafan. Sebagaimanan ia tidak menjumpai rumah Allah kecuali dalam keadaan berbeda dengan kebiasaannya dalam berpakaian, maka ia juga tidak menjumpai Allah setelah mati melainkan dengan pakaian yang berbeda dengan pakaian dunia. Pakaian ihram ini mirip dengan pakaian untuk kafan, yaitu tidak ada jahitannya.
Di antara kedalaman-kedalaman ibadah haji adalah bahwa ketika seseorang berangkat dari negerinya hendaknya ia berpisah dengan keluarganya dan tanah airnya dalam rangka menghadap Allah dalam suatu perjalanan yang tidak sama dengan perjalanan-perjalanan dunia. Hendaknya ia hadirkan di dalam hatinya apa yang ia inginkan: Ke mana ia menghadap dan siapa yang ditujunya.
Hendaknya ia menyadari bahwa ia menghadap kepada Pemelihara dari segala pemelihara dalam rombongan orang-orang yang diseru lalu mereka memenuhinya, memutuskan segala hubungan, berpisah dengan orang-orang, dan mendatangi Baitullah, yang Allah agungkan dan tinggikan kedudukannya, sampai ia memberikan kepada mereka puncak cita-cita mereka dan mereka berbahagia dengan memandang kepada Pelindung mereka.
Hendaklah ia hadirkan di dalam hatinya harapan akan sampainya dan diterimanya amalnya, tidak tertipu dengan amal-amalnya, tidak merasa mulia dengan keberangkatanya, dan tidak merasa bangga dengan meninggalkan keluarganya dan hartanya. Melainkan percaya dengan anugerah Allah SWT dan berharap Dia mewujudkan janji-Nya bagi orang yang menziarahi Rumah-Nya, dan berharap, apabila ia tidak sampai ke rumah dan menemui ajalnya di dalam perjalanan, ia akan berjumpa dengan Allah sebagai orang yang mendatangi-Nya, sebagaimana yang Allah katakan dalam surah An-Nisa`, yang artinya, “Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa’: 100).
Filosofi Haji
Al-Ghazali menjelaskan falsafah dari masuknya orang yang menunaikan haji ke Makkah. Di sini kecenderungan harapan dalam jiwa seseorang lebih menonjol dibandingkan kecenderungan rasa takutnya. Ketika seseorang memasuki Makkah untuk menunaikan haji, hendaknya ia ingat bahwa ia telah sampai ke Tanah Haram dengan aman. Di saat itu hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah. Hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah. Namun hendaknya juga ia merasa takut apabila ia tidak mendapatkan kedekatan dengan Allah yang membuat masuknya ia ke Tanah Haram menjadi sia-sia dan mendapatkan murka.
Hendaknya harapannya ada di sepanjang waktu. Kemurahan Allah itu merata, Tuhan itu Maha Penyayang, kemuliaan Baitullah itu sungguh besar, hak orang yang berziarah itu dijaga, dan orang yang meminta pertolongan dan perlindungan itu tidak akan disia-siakan.
Apabila pandangan seseorang tertuju kepada Ka`bah, hal itu akan menghadirkan keagungan Baitulah di dalam hatinya. Al-Ghazali berkata kepada orang yang memandangnya, “Berharaplah agar Allah memberikan rizqi kepadamu dapat melihat wajah-Nya yang mulia sebagaimana Dia telah memberi rizqi kepadamu dapat memandang Rumah-Nya yang agung. Bersyukurlah kepada-Nya karena Dia menyampaikanmu pada kedudukan ini dan menggabungkanmu dalam kelompok orang-orang yang mendatangi-Nya. Di saat itu ingatlah bagaimana manusia digiring pada hari Kiamat menuju surga, yang mana mereka terbagi-bagi ke dalam orang-orang yang diberikan izin untuk memasukinya dan orang-orang yang dipalingkan, sebagaimana terbagi-baginya para jama’ah haji menjadi orang-orang yang diterima dan yang ditolak hajinya. Dan teruslah mengingat perkara-perkara akhirat dalam segala yang dilihat, karena segala hal ihwal haji menunjukkan hal ihwal akhirat.
Kemudian ketika melaksanakan thawaf di Baitullah, hendaknya ingat bahwa thawaf adalah seperti shalat, sehingga hadirkanlah dalam qalbu keagungan Allah, rasa takut dan rasa harap kepada-Nya, dan seluruh perasaan cinta kepada-Nya. Dengan melaksanakan thawaf, jama’ah haji mirip para malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah dan mengelilingi seputar arasy.
Janganlah berpandangan bahwa thawaf adalah semata-mata mengelilingi Ka`bah dengan tubuh, melainkan thawaf juga dengan qalbu dan senantiasa ingat kepada Allah. Dengan demikian, kita memulai berpikir dan mengakhirinya karena Allah.
Ketika mencium Hajar Aswad, hendaknya yakin sedang menjalin sumpah kesetiaan dengan Allah dan akan mematuhi-Nya.”
Manakala kita telah rampung melaksanakan thawaf dan kemudian menuju Bukit Safa untuk melaksanakan sa`i, Al-Ghazali berpesan, “Laksanakanlah sa`i laksana bolak-baliknya seorang hamba di halaman istana seorang raja. Hamba itu datang dan pergi berkali-kali untuk menyatakan ketulusan pengabdiannya dan mendambakan perhatian dengan pandangan kasih sayang, laksana orang yang masuk dan keluar dalam menghadap seorang raja. Sedangkan ia tidak tahu apa yang akan ditetapkan sang raja terhadap dirinya, yakni diterimakah atau ditolak. Kalau gagal pada kali pertama, ia berharap meraih kasih sayang pada kali kedua.”
Al-Ghazali terus memberikan penjelasan filosofisnya yang mendalam dalam menggambarkan amalan-amalan zhahir haji, agar para jama’ah haji memiliki kedalaman-kedalaman dan rahasia-rahasia bathin, sebagaimana kita melihat hal itu dalam pembicaraannya tentang melontar jumrah. Ia mengatakan: Adapun mengenai melontar jumrah, maksudkanlah dengannya untuk patuh kepada perintah dan menunjukkan penghambaan dan perjalanan kita semata-mata karena menjalankan perintah. Kemudian tujukanlah dengannya mengikuti Nabi Ibrahim ketika dibujuk oleh iblis di tempat itu untuk melakukan maksiat lalu Allah menyuruhnya agar melemparnya dengan batu untuk mengusirnya dan memutuskan harapannya.
Seandainya terlintas pada benakmu bahwa setan membujuknya (Nabi Ibrahim) dan ia menyaksikannya sehingga ia pantas melemparnya sedangkan engkau tidak dibujuk oleh setan, ketahuilah bahwa pikiran ini berasal dari setan dan ia yang memasukkan di dalam hatimu untuk melemahkan niatmu dalam melontar dan membisikkan kepadamu bahwa itu suatu perbuatan yang tidak ada manfaatnya dan bahwa itu seperti permainan sehingga engkau tidak perlu menyibukkan diri dengannya, usirlah dia dari dirimu dengan sungguh-sungguh dan dengan sigap dalam melontarnya. Ketahuilah, pada lahirnya engkau melontar batu-batuan ke Aqabah, padahal pada hakikatnya engkau melontar dengan batu-batuan itu wajah setan dan menghancurkannya. Jadi, ia tidak dapat dikalahkan kecuali engkau melaksanakan perintah Allah sebagai pengagungan kepada-Nya dengan semata-mata mematuhi perintah-Nya tanpa memikirkan diri sendiri dan akal.
Apabila seseorang yang menunaikan haji mengunjungi kota Rasul, hendaklah ketika melihatnya ia ingat bahwa itulah kota yang Allah pilih untuk Nabi-Nya, yang Dia jadikan sebagai tempat hijrah beliau. Di sana beliau berjuang menghadapi musuhnya dan menampakkan agamanya sampai beliau wafat menghadap Allah. Kemudian Dia menjadikan jasadnya berada di sana. Begitu juga dengan jasad dua orang pembantunya yang menjalankan kebenaran, Abu Bakar dan Umar.
Hendaknya seorang yang berhaji membayangkankan dalam dirinya tempat-tempat pijakan kaki Rasulullah ketika berjalan di sana. Tidakkah setiap pijakan kaki melainkan merupakan tempat pijakan-pijakan kaki beliau yang mulia, sehingga seorang yang berhaji tidak meletakkan kakinya melainkan dengan tenang dan dengan khawatir, serta ingat bagaimana berjalannya Rasulullah dan ketenangannya dalam berjalan, juga mengingat bagaimana Allah memasukkan di dalam hati beliau ma’rifat yang agung kepada-Nya dan meninggikan sebutannya sehingga Dia menyertakannya dengan sebutan terhadap diri-Nya, dan bagaimana Allah akan memberikan hukuman kepada orang yang mencederai kehormatannya walaupun sekadar meninggikan suaranya di atas suara beliau. Hendaknya ia juga mengingat bagaimana Allah menggembirakan orang-orang yang menjadi sahabat beliau dengannya dan mereka berbahagia dapat menyaksikan beliau dan mendengar perkataannya.
Hendaknya ia merasa menyesal karena tidak dapat bersahabat dengan Rasulullah dan para sahabatnya. Hendaknya ia mengingat bahwa, setelah ia tidak dapat melihatnya di dunia, kesempatan untuk melihatnya di akhirat pun masih mengkhawatirkan (belum dapat dipastikan). Karena, buruknya amal seseorang dapat menghalanginya untuk berjumpa dengannya sebagaimana yang beliau katakan, “Allah mengangkat kepadaku beberapa kaum, lalu mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, wahai Muhammad.’
Lalu aku berkata, ‘Wahai Tuhan, mereka para sahabatku.’
Tuhan berkata, ‘Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan setelah engkau tiada.’
Maka aku katakan, ‘Menjauhlah mereka dariku’.”
Seandainya engkau tinggalkan kehormatan syari’atnya walau hanya semenit, janganlah engkau merasa aman bahwa engkau tak akan terhalang dari beliau karena penyimpanganmu dari jalannya. Walaupun demikian, besarkanlah harapanmu bahwa Allah tidak akan menghalangi antara engkau dan beliau setelah ia memberikan rizqi keimanan kepadamu dan memberangkatkanmu dari tanah airmu untuk menziarahi beliau tanpa niat untuk berdagang dan tanpa mengharapkan bagian dunia, melainkan semata-mata karena kecintaanmu kepada beliau dan kerinduanmu untuk melihat peninggalan-peninggalannya dan dinding makamnya. Apabila engkau menyerahkan dirimu dalam perjalanan semata-mata untuk itu, wajarlah jika Allah memandangmu dengan pandangan kasih sayang.
Sumber: Alkisah-Ali Yahya
Berhaji yang sebenarnya itu adalah kembali kepada puncak kesadaran tertinggi/ kebebasan yang sebenarnya/ Tuhan.
ReplyDelete