Pages

Tuesday, November 8, 2011

Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah (5)

PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN
Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah

Prof. DR. Al-'Alim Al-'Allamah Al-Muhaddits As-Sayyid Muhammad Bin Alwi Bin Abbas Bin Abdul Aziz Al-Maliki Al-Hasani

ANTARA SEBAIK-BAIK BID’AH DAN SEBURUK-BURUKNYA

Di antara mereka yang mengklaim memahami substansi permasalahan adalah orang-orang yang menilai diri mereka sebagai salaf shalih. Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara biadab dan tolol, fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman yang dangkal dan tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal spirit syariah Islam mengharuskan kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan mengatakan bahwa: "Sebagian bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk".

Klasifikasi ini adalah tuntutan akal yang cemerlang dan pandangan yang dalam. Klasifikasi bid’ah ini adalah hasil kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari generasi klasik kaum muslimin seperti al-Imam al-‘Izz ibn Abdissalam, an-Nawawi, as-Suyuthi, al-Mahalli dan Ibnu Hajar. Hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan dan saling melengkapi. Maka diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan komprehensif serta harus menafsirkannya dengan menggunakan spirit dan persepsi syariah dan yang telah mendapat legitimasi dari para pakar.

Karena itu kita menemukan banyak hadits mulia dalam penafsirannya membutuhkan akal yang jernih, fikiran yang dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitif yang digali dari samudera syariah, yang bisa memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan mampu menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah syari’at dan teks-teks al-Qur’an dan hadits yang mengikat. Salah satu contoh dari hadits-hadits di muka adalah hadits:

كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Setiap bid’ah itu sesat."

Bid’ah dalam hadits ini harus ditafsirkan sebagai bid’ah sayyi’ah (bid’ah tercela) yang tidak termasuk dalam naungan dalil syar’i.

Penafsiran semacam ini terjadi pula dalam hadits lain seperti:

لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ

"Tidak ada sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid."

Hadits ini meskipun menunjukkan pengkhususan akan tidak sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun keumuman-keumuman hadits memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak sempurna bukan tidak sah, di samping masih adanya perbedaan dalam kalangan ulama.

Seperti hadits:

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ

"Tidak ada sholat di hadapan makanan".

Para ulama menafsirkan bahwa sholat tersebut tidak sempurna.

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

"Tidak beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya."

واللهِ لا يُؤْمِن والله لا يؤمن والله لا يؤمن قيل: مَن يا رسول الله؟ قال:مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

"Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang yang tetangganya merasa terganggu dengannya”.

Para ulama menafsirkan dengan tidak adanya iman yang sempurna.

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ....., لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ وعاق لوالديه

"Tidak akan masuk sorga orang yang suka mengadu domba…….tidak akan masuk sorga orang yang memutus hubungan kerabat dan yang durhaka kepada kedua orang tuanya."

Para ulama menegaskan bahwa yang dimaksud tidak akan masuk surga ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak masuk surga jika menilai perbuatan tercela tersebut halal dilakukan. Walhasil, para ulama tidak memahami hadits di atas secara tekstual tapi menafsirkannya dengan bermacam-macam penafsiran yang sesuai.

Hadits di atas yang menjelaskan bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-keumuman hadits dan keadaan-keadaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip umum. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْر مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Siapapun yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya dan dari pahala mereka yang mengamalkannya sampai hari kiamat."

"Berpegangteguhlah dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin sesudah wafatku."

Umar ibn Khaththab berkomentar mengenai sholat tarawih: "Sebaik-baik bid’ah adalah ini (sholat tarawih berjama’ah dalam satu masjid dengan seorang imam)".

PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH LUGHAWIYYAH

Sebagian ulama mengkritik pengklasifikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji dan tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang berpendapat demikian. Malah sebagian ada yang menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan dengan sabda Nabi saw. yang jelas: "Setiap bid’ah itu sesat". Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman dan menggambarkan bid’ah sebagai sesat.

Karena itu Anda akan melihat ia berkata: Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan: Akan datang seorang mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk. Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan ingkar serta memperbanyak jumlah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan syari’ah dan tidak merasakan spirit agama Islam.

Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptakan jalan untuk memecahkan problem-problem yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang mereka hadapi juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan perantara lain. Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak akan bisa makan, minum dan diam. Malah tidak akan bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah serta berhubungan dengan dirinya, keluarga, saudara dan masyarakatnya.

Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarkan dengan jelas: Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua ; 1) Bid’ah Diniyah (keagamaan) 2) Bid’ah Duniawiyyah (keduniaan). Subhanallah, mereka yang suka bermain-main ini membolehkan menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut. Jika kita setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diniyyah dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-undang kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama baru ini datang?

Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka saya akan menjawabnya bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diniyyah yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyyah yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sebenarnya. Rasulullah saw. sebagai Syari’ bersabda: “Setiap bid’ah itu sesat". Demikianlah beliau mengatakannya secara mutlak. Sedang ia mengatakan tidak, tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah terbagi menjadi dua bagian; diniyyah yang sesat dan duniawiyyah yang tidak mengandung konsekuensi apa-apa. Karena itu harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan penting yang dengannya banyak keganjilan akan menjadi jelas, insya Allah.

Dalam persoalan ini yang berbicara adalah Syari’ yang bijak. Lisan Syari’ adalah lisan Syar’i. Maka untuk memahami ucapannya harus menggunakan standar Syar’i yang dibawa Syari’. Jika Anda telah mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap hal yang baru dan diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap dari hatimu bahwa penambahan dan pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan dalam urusan agama agar tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah.

Lalu akhirnya tambahan itu menjadi syari’at yang dipatuhi yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah yang mendapat ancaman dari Nabi saw.:

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa menciptakan dalam agama kita, hal baru yang bukan bagian dari agama, maka ia ditolak."

Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah kalimat “فِى أَمْرِنَا هَذَا”. Oleh karena itu pengklasifikasian bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya berlaku untuk pengertian bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar menciptakan hal baru. Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak lain adalah sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka yang menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak bagi mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengketaan itu jauh. Untuk lebih mendekatkan beberapa pemahaman, saya melihat mereka yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah, sebenarnya mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi bid’ah dalam bid’ah diniyyah dan duniawiyyah, dan penilaian mereka bahwa pembagian ini adalah sebuah keniscayaan.

Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka mengatakan bahwa penambahan dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan perbuatan amat tercela. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi di mata mereka. Dari dua cara pandang yang berbeda ini berarti perbedaan antara dua kelompok ini tidaklah substansial

Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawan yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dan yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyyah tidak mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan ketika mereka memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat, –ini adalah pendapat yang benar– dan bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini wajib dan mendesak untuk dijelaskan secara mendetail.

Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah duniawiyyah ada yang baik dan ada yang buruk sebagaimana fakta yang terjadi, yang tidak diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh. Penambahan kalimat ini harus dilakukan. Untuk mendapatkan pengertian yang tepat, cukuplah kita menggunakan pendapat orang yang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang dimaksud bid’ah di sini sudah jelas adalah bid’ah dari aspek bahasa sebagaimana telah dipaparkan di atas. Bid’ah dalam pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyyah oleh mereka yang ingkar terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan sayyiah. Pendapat bid’ah terbagi menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat cermat dan hati-hati. Karena pendapat ini mengumandangkan kepada setiap hal baru untuk mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan kaum muslimin untuk menyelaraskan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau khusus, sesuai dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di dalamnya, betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat pertimbangan dari para aimmatul ushul.

Semoga Allah swt. meridloi para a'immatul ushul dan meridhoi kajian mereka terhadap lafadz-lafadz yang shahih dan mencukupi yang mengantar menuju pengertian-pengertian yang benar, tanpa pengurangan, perubahan atau interpretasi.

No comments:

Post a Comment