Pages

Monday, September 26, 2011

Debat antara Ibn `Athâ` Allah al-Iskandari dan Ibn Taymîyah


Di sadur dari buku Tasawuf dan Ihsan, Syeikh Hisyam Kabbani

Salah seorang imam sufi besar yang juga dikenal sebagai muhadis, pendakwah dan ahli fikih mazhab Maliki, adalah ‘Abd al-Fadhl Ibn ‘Athâ’ Allah al-Iskandari (w. 709H). Beliau adalah pengarang dari sejumlah karya penting, di antaranya:
• Al-Hikam (Kumpulan Hikmah)
• Miftâh al-Falâh (Kunci Kesuksesan)
• Al-Qashd al-Mujarrad fî Ma`rifat al-Ismil-mufrad (Tujuan Murni dari Pengetahuan tentang Nama yang Esa)
• Tâj al-`Arûs al-Hâwî li Tahdzîb al-Nufûs (Mahkota Pengantin yang Berisi Disiplin Jiwa)
• `Unwân al-Taufîq fî Adâb al-Tharîq (Tanda Keberhasilan dari Disiplin Jalan Sufi)
• Al-lathâ’if fî Manâqib Abi al-`Abbâs al-Mursi wa Syaikhihi Abi al-Hasani (Hal-hal Tersembunyi dari Kehidupan Suci ‘Abd al-Abbâs al-Mursi dan Gurunya ‘Abd al-Hasan al-Syâdzili), sebuah biografi, dan yang lain-lainnya.

Beliau adalah murid dari ‘Abd al-Abbâs al-Mursi (w. 686H) dan pengganti kedua dari sufi pendiri, yaitu Imam ‘Abd al-Hasan al-Syâdzili.
Ibn ‘Athâ’ Allah menentang Ibn Taymîyah karena sikap keterlaluannya dalam menyerang kaum sufi yang tidak bersepakat dengannya. Meskipun beliau tidak pernah secara terang-terangan menyebutkan nama Ibn Taymîyah, tapi jelas sekali bahwa beliaulah yang dimaksud tatkala beliau mengatakan, dalam kitabnya Lathâ’if, bahwa Allah telah memberi ujian kepada kaum sufi melalui apa yang ia istilahkan dengan “para ulama ilmu lahir”174 Halaman-halaman berikut memuat terjemahan pertama ke dalam bahasa Inggris tentang kisah peristiwa bersejarah yang terjadi di antara keduanya.

Berikut Teks Perdebatan dari Ushul al-Wushûl oleh Muhammad Zaki Ibrahim :

Ibn Katsîr, Ibn al-Atsîr, dan para pengarang biografi dan kamus biografi lainnya telah meriwayatkan perdebatan bersejarah yang otentik ini.175 Kisah ini memberikan suatu gambaran tentang etika perdebatan di antara orang-orang yang berilmu. Kisah ini mendokumentasikan kontroversi antara suatu pribadi yang sangat penting dalam tasawuf, yaitu Syeh Ahmad Ibn ‘Athâ’ Allah al-Iskandari, dan seorang tokoh yang sama pentingnya yang mewakili gerakan “Salafi”, yaitu Syeh Ahmad Ibn `’Abd al-Halîm Ibn Taymîyah. Perdebatan terjadi pada zaman Mamlûk di Mesir di bawah pemerintahan Muhammad Ibn Qalawun (al-Mâlik al-Nâshir).

Kesaksian Ibn Taymîyah terhadap Ibn ‘Athâ’ Allah

Syeh Ibn Taymîyah dipenjara di Iskandariah (Aleksandria), dan tatkala Sultan mengampuninya, beliau pulang ke Kairo. Pada waktu salat maghrib beliau datang ke mesjid al-Azhar yang salat maghribnya diimami oleh Syekh Ahmad Ibn ‘Athâ’ Allah al-Iskandari. Setelah salat, Ibn ‘Athâ’ Allah kaget menemukan bahwa Ibn Taymîyah telah melakukan salat di belakangnya. Dengan memberi salam kepada beliau sambil tersenyum, syekh sufi ini menyambut dengan ramah kedatangan Ibn Taymîyah di Kairo, sambil mengatakan, “Assalamu`alaikum.” Kemudian Ibn ‘Athâ’ Allah mulai berbincang dengan tamu yang ilmuwan ini.
Ibn ‘Athâ’ Allah: “Biasanya, saya melaksanakan salat Maghrib di Mesjid Imam Husain dan salat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana rencana Tuhan bekerja sendiri! Allah telah menentukan agar saya menjadi orang yang pertama mengucapkan salam kepada Anda (setelah kepulangan Anda kembali ke Kairo). Katakanlah kepada saya, wahai fakih, apakah Anda mencelaku atas apa yang terjadi?”
Ibn Taymîyah: “Saya tahu Anda tidak bermaksud buruk pada saya, akan tetapi perbedaan pandangan di antara kita masih ada. Bagaimanapun juga, siapapun yang telah berbuat buruk pada saya, sejak hari ini dan seterusnya, saya akan membebaskannya dari kesalahan apa pun dalam urusan ini.”
Ibn `Atha` Allah: “Apa yang Anda ketahui tentang saya, wahai Syekh Ibn Taymîyah?”

Mengenai Tawasul
Ibn Taymîyah: “Saya mengetahui Anda sebagai orang yang saleh dan cermat, beilmu banyak sekali, punya integritas dan jujur dalam bicara. Saya bersaksi bahwa saya tidak menemukan seorangpun yang seperti Anda baik di Mesir atau pun di Siria yang lebih mencintai Allah atau pun lebih meluruhkan diri di dalam-Nya atau lebih taat dalam mengemban apa yang Dia perintahkan dan menjauhkan diri dari apa yang Dia larang. Meskipun demikian, kita masih memiliki perbedaan pandangan. Apa yang Anda ketahui tentang saya? Apakah Anda menyatakan bahwa saya telah sesat tatkala saya mengingkari keabsahan meminta bantuan kepada seseorang selain Allah (istighâtsah)?”
Ibn ‘Athâ’ Allah: “Sesungguhnyalah, wahai kawanku yang baik, Anda mengetahui bahwa istighâtsah atau meminta pertolongan itu sama saja dengan tawasul atau meminta disampaikan kepada Allah dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah saw. adalah satu-satunya orang yang bantuannya diminta karena beliaulah perantara kita dan beliaulah satu-satunya orang yang syafaatnya kita cari.”
Ibn Taymîyah: “Dalam hal ini, saya mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh sunah Nabi saw. dalam syariah. Karena telah diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih, “Aku telah diberi kemampuan untuk memberi syafaat.”176 Saya juga telah menghimpun firman-firman Allah dalam ayat-ayat Alquran, “Mudah-mudahan Tuhanmu akan mengangkatmu (wahai Nabi) ke kedudukan yang terpuji” (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 79) dengan arti bahwa “kedudukan yang terpuji” itu adalah syafaat. Lebih jauh, tatkala ibu dari Amir al-Mukminin Ali meninggal, Nabi saw. berdoa kepada Allah di kuburannya dan berkata: Yâ Allah yang Mahahidup dan tidak pernah meninggal, yang mempercepat dan menetapkan kematian, ampunilah dosa-dosa dari ibuku Fatîmah binti Asad, luaskanlah tempat yang ia masuki melalui syafaatku, Nabi-Mu, dan nabi-nabi yang sebelumku. Karena sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengasih di antara yang pengasih.”177
“Ini adalah syafaat yang dimiliki oleh Nabi saw. Adapun menyangkut minta bantuan kepada seseorang selain dari Allah, maka ini bernada pemberhalaan; karena Nabi saw. memerintahkan saudara sepupunya Abdullah Ibn Abbâs agar tidak meminta tolong kepada siapapun selain kepada Allah.”178
Ibn ‘Athâ’ Allah: “Semoga Allah memberimu kesejahteraan, wahai fakih. Berkenaan dengan nasihat yang diberikan oleh Nabi saw. kepada sepupunya Ibn Abbâs, beliau menginginkan agar ia mendekati Allah tidak melalui hubungan kekeluargaannya kepada Nabi saw, tapi melalui ilmunya.”
“Sehubungan dengan pemahamanmu tentang istighâtsah sebagai meminta bantuan kepada seseorang selain Allah yang merupakan kemusyrikan, saya bertanya kepada Anda, Adakah seorang Muslim yang memiliki keimanan yang kuat dan percaya kepada Allah dan Nabi-Nya saw. yang berfikir bahwa ada seseorang selain Allah yang memiliki kekuatan sendiri atas berbagai peristiwa dan sanggup mengubah apa yang telah Dia kehendaki berkenaan dengan peristiwa-peristiwa itu? Adakah seorang mukmin sejati yang percaya bahwa ada seseorang yang dapat memberi balasan baik kepadanya atas perbuatan baiknya dan menghukumnya atas perbuatan buruknya selain Allah?”
“Di samping ini semua, kita haruslah beranggapan bahwa ada ungkapan-ungkapan yang tidak boleh ditangkap maknanya sekedar dalam arti harfiahnya saja. Hal ini bukanlah karena takut membuat sekutu bagi Allah dan untuk menghindari penyebab terjadinya pemberhalaan. Karena siapapun yang meminta bantuan dari Nabi saw. hanyalah meminta kekuatan syafaat beliau di sisi Allah seperti halnya tatkala Anda sendiri mengatakan, “Makanan ini memenuhi seleraku.” Apakah makanan itu sendiri yang memenuhi selera Anda? Ataukah yang sebenarnya adalah bahwa Allahlah yang memenuhi seleramu melalui makanan?”
“Adapun tentang pernyataanmu bahwa Allah telah melarang kaum Muslim berdoa kepada seseorang selain Dia sendiri dalam rangka meminta tolong, apakah Anda benar-benar telah melihat ada seorang Muslim berdoa kepada selain Allah? Ayat yang Anda sebutkan dari Alquran diturunkan berkenaan dengan para penyembah berhala dan orang-orang yang biasa berdoa kepada tuhan-tuhan palsu mereka dan mengesampingkan Allah. Sebaliknya, satu-satunya cara kaum Muslim meminta bantuan kepada Nabi saw. adalah dalam arti tawasul atau menjadikannya sebagai perantara, dengan dasar hak istimewa yang telah beliau terima dari Allah (bi haqqihî `inda Allâh), dan tasyaffu` atau meminta pertolongan, berdasarkan atas kekuatan pengaruh yang dianugrahkan oleh Allah kepada beliau.”
“Adapun berkenaan dengan pernyataan Anda bahwa istighâtsah atau meminta pertolongan adalah dilarang dalam syariah karena dapat menggiring pada pemberhalaan dan kemusyrikan, apabila ini persoalannya, maka kita harus juga melarang anggur karena menjadi bahan untuk membuat arak, dan harus mengebiri orang-orang yang tak menikah karena kalau tidak maka membiarkan penyebab terjadinya hubungan di luar nikah dan perzinaan di muka bumi.”

Pada komentar terakhir ini kedua syekh ini tertawa. Kemudian Ibn ‘Athâ’ Allah melanjutkan,
“Saya tahu benar keluasan yang mencakup segala hal dan pandangan ke depan dari mazhab fikih yang didirikan oleh guru Anda Imam Ahmad, dan mengetahui kemenyeluruhan dari teori fikihmu sendiri dan mengenai prinsip sadd al-dzarâ’i` (mencegah penyebab keburukan) demikian pula masalah kewajiban moral yang harus dirasakan oleh seseorang yang berkecakapan dalam fikih Anda. Akan tetapi saya menyadari juga bahwa pengetahuan Anda mengenai bahasa menuntut agar supaya Anda mencari makna yang tesembunyi dari kata-kata yang sering tersembunyi di balik arti zhahirnya.
Adapun bagi kaum sufi, makna tersembunyi dari kata-kata tersebut adalah bagaikan roh, sedangkan kata-kata itu sendiri adalah bagaikan tubuh. Anda harus menembus jauh ke dalam apa yang ada di balik wujud verbal itu untuk menangkap realitas yang lebih dalam dari roh kata-kata itu.
Sekarang Anda telah menemukan dasar untuk menjatuhkan keputusan yang menentang Ibn ‘Arabî dalam kitabnya Fushûsh al-Hikam, suatu naskah yang sudah dirusak oleh para penentangnya, bukan saja dengan hal-hal yang tidak pernah beliau katakan, tapi juga dengan pernyataan-pernyataan yang bahkan tidak mungkin beliau pernah berniat mengatakannya (melihat sifat khas dari keislaman beliau). Tatkala Syekh al-Islâm al-’Izz Ibn ‘Abd al-Salâm memahami dan menganalisis apa yang benar-benar dikatakan oleh Syekh Ibn ‘Arabî, beliau mengerti dan memahami makna sesungguhnya dari ucapan-ucapan simboliknya itu, beliau meminta ampunan Allah karena pendapatnya terdahulu tentang al-Syekh dan mengakui bahwa Muhyiddin Ibn ‘Arabî adalah seorang Imam Islam.
Adapun tentang pernyataan al-Syâdzili yang menentang Ibn ‘Arabî, Anda seharusnya tahu bahwa ‘Abd al-Hasan al-Syâdzili bukanlah beliau sendiri yang mengatakannya, tetapi salah seorang di antara murid-murid tarekat Syâdziliyyah. Lebih jauh, dalam membuat pernyataan ini, murid tersebut sedang memperbincangkan sebagian dari pengikut Syâdziliyyah. Dengan demikian, kata-kata beliau diambil dalam bentuk yang tidak beliau maksudkan.
Bagaimana pendapatmu tentang Amîr al-Mukminîn Ali Ibn Abi Thâlib, semoga Allah meridhainya?”

Ibn Taymîyah: “Dalam sebuah hadis Nabi saw. bersabda, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya.”179 Ali Ibn Abi Thâlib adalah seorang mujjhid yang tidak pernah maju ke medan perang kecuali kembali dengan kemenangan. Ulama atau fakih manakah setelah beliau yang berjuang di jalan Allah dengan menggunakan lidah, pena, dan pedangnya pada saat yang sama? Beliau adalah seorang sahabat Nabi saw. yang paling ulung. Kata-katanya merupakan lampu penerang yang menerangiku di seluruh perjalanan hidupku setelah Alquran dan Sunah. Ah! Dia adalah orang yang selalu kekurangan perbekalan dan jauh perjalanannya.”
Ibn ‘Athâ’ Allah: “Sekarang, apakah Imam Ali meminta orang-orang untuk menyatakan keberfihakan kepadanya dalam suatu golongan? Karena golongan ini telah menyatakan bahwa malaikat Jibril telah melakukan kesalahan dengan memberikan wahyu kepada Muhammad saw. dan bukannya kepada Ali! Atau apakah beliau meminta mereka menyatakan bahwa Allah telah menitis ke dalam tubuhnya, maka al-Imampun menjadi tuhan? Atau Tidakkah beliau memerangi dan membunuh mereka dan memberikan fatwa bahwa mereka harus dibunuh di manapun mereka ditemukan?”
Ibn Taymîyah: “Atas dasar fatwa inilah, saya pergi memerangi mereka di gunung-gunung Siria selama lebih dari sepuluh tahun.”

Ibn ‘Athâ’ Allah: “Dan Imam Ahmad—semoga Allah meridhainya—mempertanyakan tindakan-tindakan sebagian pengikutnya sendiri yang suka berpatroli, menghancurkan tong-tong minuman keras (di toko-toko penjual minuman keras milik orang Nasrani atau di mana saja mereka menemukannya, menumpahkan isinya di jalan-jalan, memukul perempuan-perempuan penyanyi, dan melawan orang-orang di jalanan. Semuanya ini mereka lakukan atas nama menegakkan yang baik dan mencegah yang dilarang (amar ma`ruf dan nahyi munkar). Meskipun demikian, Imam Ahmad tidak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan memarahi orang-orang yang semacam mereka itu. Akibatnya, para pengikut beliau ini, dipukuli, dimasukkan ke panjara dan diarak sambil dinaikkan diatas punggung keledai dengan muka menghadap ke ekor.
Sekarang, apakah Imam Ahmad sendiri bertanggung jawab atas perilaku buruk yang masih terus dilakukan oleh para pengikut Hanbali yang paling buruk dan kejam itu sampai masa kita sekarang ini, atas nama amar ma`ruf nahyi munkar?
Semua ini berarti bahwa Syekh Muhyiddîn Ibn ‘Arabî tidaklah bersalah sehubungan dengan para pengikutnya yang membebaskan orang-orang dari kewajiban-kewajiban agama, baik syariah atau pun akhlak dan dari melakukan perbuatan yang dilarang. Apakah Anda tidak melihat hal ini?”

IbnTaymîyah: “Akan tetapi di mana mereka berada sehubungan dengan Allah? Di antara kaum sufi ada orang-orang yang menyatakan bahwa tatkala Nabi saw. memberi kabar gembira kepada orang-orang miskin bahwa mereka akan masuk ke dalam surga sebelum orang orang-orang kaya, orang-orang miskin itu merasakan kegembiraan yang meluap-luap dan mulai merobek-robek pakaiannya; pada saat itu, Malaikat Jibril turun dari langit dan mengatakan kepada Nabi saw. bahwa Allah telah mencari bagian hak-Nya di antara robekan-robekan pakaian ini; dan malaikat Jibrilpun membawa salah satu di antaranya dan menggantungkannya pada `arasy Allah. Karena alasan inilah, menurut pengakuan mereka, kaum sufi mengenakan pakaian yang bertambal-tambal dan menyebut diri mereka sebagai fukara atau ‘kaum fakir!’”
Ibn ‘Athâ’ Allah: “Tidak semua orang sufi mengenakan pakaian yang bertambal-tambal. Inilah saya yang ada di depan Anda: apa yang tidak Anda setujui dengan penampilan saya ini?”
Ibn Taymîyah: “Anda termasuk di antara ahli syariah dan mengajar di al-Azhar.”
Ibn ‘Athâ’ Allah: “Al-Ghazâlî adalah Imam, baik dalam hukum-hukum agama atau pun dalam tasawuf. Beliau memecahkan aturan-aturan hukum, baik menyangkut Sunah dan Syariah dengan semangat seorang sufi. Dan dengan menerapkan metode ini beliau telah sanggup menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita mengetahui bahwa tasawuf mengakui bahwa apa yang ternoda tidak ada tempatnya di dalam agama dan bahwa kesucianlah yang menjadi ciri dari keberimanan. Seorang sufi yang benar dan sejati haruslah menyemai di dalam hatinya keimanan yang telah diakui oleh kaum Muslim Suni.

Dua abad yang lalu fenomena sufi palsu sendiri pernah muncul yang ditentang keras dan ditolak oleh Anda sendiri. Ada sekelompok orang yang mencoba mengurangi pelaksanaan ibadah dan kewajiban-kewajiban agama lainnya, meringankan puasa dan menganggap kecil ibadah salat. Mereka menghambur secara liar ke dalam arena kemalasan dan ketakpedulian yang sangat luas, sambil menyatakan bahwa mereka telah terbebaskan dari belenggu penyembahan Tuhan. Tidak puas dengan perbuatan-perbuatannya yang buruk, mereka mengaku telah mengakrabi hakekat yang paling luar biasa dan keadaan-keadaan mistis sebagaimana digambarkan oleh Imam Qusyayrî sendiri di dalam kitabnya yang terkenal Risâlah, yang beliau arahkan untuk menentang mereka ini. Beliau juga menuliskan secara mendetail apa yang dapat membangun jalan menuju Allah, yang berisi tentang keharusan untuk berpegang secara kokoh pada Alquran dan Sunah.

Para Imam dalam tasawuf menginginkan dapat sampai pada hakikat sebenarnya bukan hanya melalui bukti-bukti rasional yang ditelisik oleh pikiran manusia yang masih mungkin mengandung kesalahan sebagaimana halnya mengandung kebenaran, tapi melalui penyucian hati dan pembersihan ego melalui serangkaian latihan spiritual. Mereka membuang ketertarikan pada kehidupan dunia ini, karena sebagai hamba Allah yang benar tidaklah akan menyibukkan diri dengan hal-hal lain selain cinta kepada Allah dan Nabi-Nya saw. Inilah tingkatan tertinggi dari kesibukan hidup dan satu hal yang dapat menjadikan seorang hamba saleh, sehat, dan bahagia. Ini adalah pekerjaan yang dapat memperbaiki hal-hal yang telah merusak penciptaan manusia, seperti cinta pada uang dan ambisi menjadi orang yang terpandang di tengah masyarakat. Meskipun demikian, itu adalah tingkatan kesibukan yang tidak akan terbangun dengan apa pun selain dengan perjuangan spiritual yang ditujukan demi Allah semata.
Wahai kawanku yang penuh ilmu, menafsirkan nash-nash secara literal, atau menurut arti harfiahnya kadang-kadang membuat seseorang jatuh dalam kesalahan. Literalismelah yang telah menyebabkan Anda menghakimi Ibn ‘Arabî yang merupakan salah seorang Imam dalam keimanan dan dikenal dengan kesalehannya yang begitu mendalam. Anda telah memahami apa yang beliau tulis dari bentuk luarnya saja; padahal orang-orang sufi adalah tokoh-tokoh kesusasteraan yang akrab sekali dengan makna-makna yang sangat dalam, bahasa balâghah (hiperbolik) yang menunjukkan kesadaran spiritual yang tinggi dan kata-kata yang menyampaikan rahasia-rahasia alam gaib.”

Ibn Taymîyah: “Argumen ini justru melawan Anda, bukan menguatkan Anda. Karena tatkala Imam al-Qusyayrî melihat pengikut-pengikutnya menyimpang dari jalan Allah, beliau maju untuk memperbaiki mereka. Apa yang dilakukan oleh para syekh sufi pada masa kita sekarang ini? Saya hanya meminta agar para sufi itu mengikuti jalan yang dipraktekkan oleh para pendahulu (Salaf) Anda yang saleh dan agung ini, oleh para zâhid (penghindar kehidupan duniawi) di antara para sahabat, para tabiin dan tabi-tabiin yang mengikuti langkah-langkah yang terbaik dari mereka!
Siapa saja yang bertindak di jalan ini saya menghargai mereka setinggi-tingginya dan menganggap mereka sebagai imam dalam agama. Adapun berkenaan dengan bidah-bidah yang tak ada jaminan kebenarannya dan memasukkan gagasan-gagasan dari para penyembah berhala seperti para filsuf Yunani dan penganut Budha India, atau ide-ide bahwa manusia dapat mewujud Allah (hulûl) atau mencapai kesatuan dengan-Nya (ittihâd), atau teori bahwa semua yang ada adalah satu dalam ke-‘ada’-annya (wihdat al-wujûd) dan hal-hal lain yang seperti itu, yang diserukan oleh syekh Anda itu kepada orang-orang: nyata-nyata ini ketidakbertuhanan dan kekufuran.”

Ibn ‘Athâ’ Allah: “Ibn ‘Arabî adalah salah seorang ahli fikih terbesar yang mengikuti mazhab Dâwûd al-Zhâhiri setelah Ibn Hazm al-Andalûsi, yang sangat dekat dengan ushul fikih Anda, wahai Hanbaliyah! Akan tetapi meskipun Ibn ‘Arabî adalah seorang Zahiri (yaitu kaum Literalisme dalam menetapkan hukum Islam), metode yang beliau terapkan dalam memahami hakikat tertinggi (al-haqîqah) adalah menyelusuri makna-makna spiritual yang tersembunyi (tharîq al-bâthin), yakni, menyucikan diri-batiniah (tathhîr al-bâthin).180 Meskipun demikian, tidak semua pengikut makna batin itu sama.
Agar Anda tidak salah dan lupa, coba baca kembali karya Ibn ‘Arabî dengan pemahaman yang jernih terhadap kata-kata simbolis dan ilhamnya. Anda akan mendapatkan sangat banyak persamaannya dengan al-Qusyayrî. Beliau telah mengambil jalannya dalam tasawuf di bawah payung Alquran dan Sunah sebagaimana halnya Hujjat al-Islam, Syekh al-Ghazâlî, yang mengadakan perdebatan tentang perbedaan-perbedaan doktrin dalam masalah akidah dan ibadah tapi beliau menganggapnya sebagai pekerjaan yang tidak mengandung nilai dan manfaat. Beliau mengundang orang-orang agar menyaksikan bahwa cinta kepada Allah merupakan jalan bagi seorang hamba yang sejati untuk mencapai iman.

Apakah Anda memiliki sesuatu yang dapat Anda tuduhkan dalah hal ini, wahai fakih? Ataukah Anda lebih suka persengketaan faham di antara para ahli fikih? Imam Malik ra. pernah memberikan peringatan keras terhadap pertengkaran dalam masalah keimanan seperti ini dan pernah mengatakan, ‘Tatkala seseorang masuk ke dalam adu argumen berkenaan dengan masalah-masalah keimanan, hal itu akan merongrong keimanannya.’ Demikian juga al-Ghazâlî pernah mengatakan: “Cara yang paling cepat untuk mendekati Allah adalah melalui hati, bukan tubuh. Saya tidak memaksudkan dengan hati tersebut daging ini yang begitu jelas dalam penglihatan, pendengaran, pandangan dan perabaan. Tapi, yang saya maksudkan adalah rahasia yang paling dalam dari Allah sendiri Yang Mahatinggi dan Mahaagung yang tidak kentara dalam pandangan dan rabaan.

Sesungguhnya, kaum Suni sendirilah yang menyebut syekh sufi al-Ghazâlî sebagai ‘Hujjat al-Islâm,’181 dan tidak ada seorangpun yang berani menyangkal pandangan-pandangannya bahkan tatkala ada salah seorang ulama yang berlebihan memuji-muji kitabnya sampai-sampai ia mengatakan, ‘Ihyâ’ `Ulûm al-Dîn hampir mendekati Alquran.’182
“Mengamalkan kewajiban-kewajiban agama (taklîf) dalam pandangan Ibn ‘Arabî dan Ibn al-Farîd adalah ibadah di mana mihrab, atau ceruk dalam salat, yang menunjukkan arah salatnya, adalah aspek bathinnya, bukan sekedar bentuk ritual luarnya saja. Apa baiknya Anda berdiri dan duduk dalam salat apabila hatimu didiami oleh sesuatu yang selain dari Allah. Allah memuji orang-orang, tatkala Dia berfirman, “Mereka orang-orang yang khusyuk dalam salatnya” (Q.S. al-Mu’minûn [23]: 2) dan Dia mencela orang-orang tatkala Dia berfirman, “Yaitu orang-orang yang tidak memperdulikan dalam salatnya” (Q.S. al-Mâ’ûn [107]: 5). Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn ‘Arabî tatkala beliau mengatakan, “Ibadah adalah mihrabnya hati, yaitu sisi batin dari salat, bukan sisi luarnya.”

Seorang Muslim tidak dapat sampai pada ilmu keyakinan (`ilm al-yaqîn) atau keyakinan itu sendiri (`ain al-yaqîn) yang disebutkan oleh Alquran apabila tidak mengosongkan hatinya dari apa saja yang mengganggunya dalam bentuk idaman-idaman duniawi dan tidak memusatkan dirinya pada perenungan batiniah. Setelah itu barulah benih-benih yang ditebarkan oleh Hakikat Ilahiah akan mengisi hatinya, dan dari sanalah sumber makanannya akan bersemi.
Seorang sufi sejati bukanlah orang yang mencari rizki dari meminta-minta sedekah kepada orang-orang. Sufi sejati adalah yang membangunkan hati dan rohaninya menuju fanâ’ (peluruhan diri) di dalam Allah dengan cara menaatinya. Barang kali Ibn ‘Arabî telah menyebabkan para ahli fikih bangkit menentangnya karena beliau telah melecehankan mereka atas pekerjaan mereka yang beradu argumen dan bertengkar dalam masalah-masalah keimanan, kasus-kasus hukum suatu tindakan, dan situasi hukum yang mungkin terjadi, sementara beliau melihat betapa sering hal tersebut mengganggu mereka dari menyucikan hati. Beliau menamakan mereka itu dengan ‘para ahli hukum tentang haid’ Semoga Allah melindungi Anda agar tidak termasuk di antara mereka! Pernahkah Anda membaca pernyataan Ibn ‘Arabî: ‘Siapa saja yang membangun imannya semata melalui bukti-bukti yang terang dan argumen-argumen nalar, artinya ia telah membangun iman di atas sesuatu yang tidak mungkin dijadikan pegangan, karena ia telah tercemari oleh segala yang negatif dari tuduhan-tuduhan yang terus-menerus. Keyakinan (al-yaqîn) tidak lahir dari bukti-bukti hasil pemikiran tapi keluar dari kedalaman hati.’ Pernahkah Anda membaca perbincangan yang sebersih dan semanis ini?”
Ibn Taymîyah: “Anda telah berbicara dengan baik hanya kalau guru Anda memang mengatakan sebagaimana yang Anda katakan, karena dengan demikian beliau sangat jauh dari kekufuran. Akan tetapi apa yang telah beliau katakan, menurut pendapatku, tidak dapat mendukung makna yang telah Anda berikan,

No comments:

Post a Comment