Pages

Monday, July 25, 2011

Sufi Road : Pengelanaan Seorang Sufi



Kompas : Ilham Khoiri

Syekh Muhammad Hisyam Kabbani (66) bisa dibilang adalah seorang sufi yang paling aktif berkelana saat ini. Tinggal di Amerika Serikat, tetapi dia terus berkeliling ke banyak negara di Benua Eropa, Afrika, Australia, dan Asia demi menyebarkan Islam yang moderat.
Kami ingin memperkuat pemahaman Islam yang moderat. Kami ingin mempermudah ajaran ini bagi masyarakat umum agar bisa diterapkan sesuai dengan pekerjaan masing-masing orang dalam kehidupan sehari-hari. Intinya, bagaimana membangun karakter sebagai Muslim yang baik sekaligus warga negara yang baik,” katanya.
Kami berbincang di salah satu rumah muridnya di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, pertengahan Juni lalu. Dengan sorban hijau melilit kepala dan jenggot panjang putih-bersih, lelaki itu menebar wibawa kepada sejumlah murid yang mengelilinginya. Cara bicaranya ramah, meneduhkan dan santai.
Syekh Hisyam punya otoritas untuk membahas Islam moderat. Dia adalah wakil dari mursyid Tarekat Naqsyabandi Haqqani, yang berkedudukan di Amerika. Ini tarekat yang menekankan pengembangan spiritualitas melalui pembentukan karakter positif manusia. Ajaran ini pula yang menjadi ceramahnya kepada para pemimpin negara, tokoh, dan masyarakat di seluruh dunia.
Dia mendirikan dan memimpin Islamic Supreme Council of America, organisasi keagamaan yang menyebarluaskan perdamaian. Beraliran Ahlusunah dan bermazhab Syafi’i sebagaimana banyak dianut Muslim di Indonesia, lelaki ini diterima secara luas di Nusantara. Terakhir, dia tampil sebagai salah satu narasumber dalam Al-Multaqo As-Shufy Al-Alamy atau Konferensi Sufi Internasional di Jakarta, pertengahan Juli lalu.

Sebenarnya, apakah Tarekat Naqsyabandi Haqqani itu?
Tarekat Naqsyabandi dipelajari dari para pemimpin tarekat masa lalu. Tarekat ini merujuk kepada Sayidina Ali, kepada Abu Bakar As-Shiddiq, lalu tersambung kepada Nabi Muhammad SAW. Tarekat ini sebenarnya berkembang di Indonesia, terutama di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Intinya, mengajak kaum Muslim mempraktikkan ajaran Islam.
Awalnya, kita pelajari Al Quran dan hadis, lalu mendalami prinsip-prinsip, seperti syariah, mu’amalat, dan ibadat. Ada rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Ada juga enam rukun Iman (yaitu percaya kepada Allah, para malaikat, para rasul, kitab-kitab suci, hari akhir, serta kada dan kadar).
Semua itu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan itu membentuk karakter, yang terus ditingkatkan sehingga mencapai maqam ihsan, yaitu semacam terminal istimewa. Acuannya adalah akhlak Nabi Muhammad.

Apa tujuan tarekat?
Tujuannya, bagaimana kita berusaha menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang berkarakter baik. Tidak boleh berbohong, tidak curang, tidak mencuri, jangan marah, jangan sombong. Semua karakter buruk harus dihindari. Dengan begitu, kita menjadi baik hati kepada orang lain.
Dalam keluarga, kita suami atau istri jangan bertengkar, melainkan saling menginginkan satu sama lain, mendidik anak, dan menumbuhkan mereka dengan baik. Itu pendidikan sosial bagi semua orang.
Kita mengembangkan diri untuk membentuk karakter terbaik manusia. Bagaimana menjadi manusia yang baik, warga negara yang baik, pemimpin yang baik, atau pelayan Tuhan yang baik.
Kepada orang lain, kita harus mencegah berbuat kekerasan, seperti membunuh, merusak, atau tidak acuh terhadap kesulitan orang lain. Islam mendorong kita membantu sesama manusia.
Tarekat itu jalan. Semacam titik berangkat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
Islam moderat
Syekh Hisyam selalu menekankan pemahaman Islam yang moderat. Dalam arti, Islam tengah yang memegang ajaran Al Quran, hadis, dan para ulama terdahulu, tetapi tetap bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Ajarannya cenderung praktis dan mudah ditangkap semua kalangan.
”Islam adalah bekerja; pergi bekerja dan pulang ke rumah kepada keluarga. Semua orang bertindak sesuai dengan pekerjaannya. Politisi, presiden, pengusaha, atau apa saja, jika dikerjakan dengan baik, akan bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat,” katanya.
Tekanan lain, ajaran cinta. Dengan mencintai Allah dan Nabi Muhammad, kita akan mengikuti ajarannya. Kepada sesama manusia, kita harus mencintai mereka sebagaimana kita mencintai diri sendiri. Manusia bisa berhubungan baik dengan siapa saja yang mencintainya.
Jika Islam menekankan cinta, lalu bagaimana dengan kelompok yang menggunakan kekerasan atas nama Islam?
Itu bukan ajaran Islam. Mereka tidak mengikuti ajaran Islam yang benar. Itu minoritas warga yang ingin mempertahankan kekuasaan dengan memaksakan pemahaman mereka. Mereka mengklaim diri memperjuangkan Islam, tetapi tidak berhasil, bahkan malah memberikan citra buruk kepada Islam.
Jangan rusak lagi citra Islam yang sudah dirusak kelompok teroris itu. Kita harus menyuguhkan citra Islam yang mencintai manusia dan perdamaian. Itulah misi yang kami bawa saat bepergian ke sana kemari.
Tetapi, mereka mengklaim jalannya sebagai kebenaran?
Ketika kita sudah mengatakan mereka sebagai teroris, sebenarnya mereka sudah menyimpang dari ajaran Islam. Mereka ingin tetap berdiri di panggung, bahkan merebut kekuasaan negara agar bisa memerangi semua orang. Minoritas garis keras itu bukan model kita.
Kita harus mengikuti mayoritas Muslim yang moderat. Mayoritas kita adalah Ahlusunah yang mencintai perdamaian. Ajaran yang benar adalah apa yang disampaikan Nabi Muhammad, yaitu cinta dan saling membantu kepada sesama manusia.
Indonesia
Syekh Hisyam termasuk tokoh sufi internasional yang rajin mengunjungi Indonesia. Pertama kali datang ke sini tahun 1997, dia kemudian terus berkunjung hampir setiap tahun sampai sekarang.
Tokoh-tokoh penting nasional pernah ditemuinya. Di antaranya pernah berjumpa dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, mantan Wakil Presiden Hamzah Haz, dan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Dia juga mengunjungi sejumlah menteri, ulama, tokoh sufi, pesantren, berdiskusi, memberi ceramah di perguruan tinggi, bahkan pernah tampil di televisi di Indonesia.
Apa yang selalu Anda kerjakan di Indonesia?
Saya mengunjungi teman-teman, bersilaturahim, bertemu masyarakat, dan memberikan ceramah. Kami ingin membangun hubungan yang baik dengan masyarakat Muslim di Indonesia.
Saya bertemu dengan sebagian besar pemimpin di negeri ini. Beberapa kami baiat. Harapannya, mereka mengikuti ajaran Islam yang benar. Mereka bisa memecah hambatan kekuatan ego demi meningkatkan spiritualitas dan mencapai spirit ketuhanan.


Bagaimana Anda melihat kondisi Islam di Indonesia?
Islam di sini punya dua sisi. Satu sisi, Islam sangat bagus karena mempromosikan cinta kepada Tuhan, Nabi Muhammad, dan sesama manusia. Itu dilakukan para ulama dan organisasi Islam, termasuk pesantren.
Di sisi lain, sangat Barat. Kaum Muslim suka pergi ke night club, disko, dan lain-lain. Namun , sebagian besar masih mengikuti jalan Islam.

Apakah praktik Islam di sini berbeda dengan di Timur Tengah?
Ini negara yang paling baik dalam mencintai Islam, Nabi Muhammad, negara, dan masyarakat. Saya tak pernah lihat seperti ini di negara lain, termasuk di Timur Tengah. Di masjid-masjid ada zikir dan mengajarkan cinta. Indonesia adalah negara terbaik dalam pengajaran Islam. Mungkin karena banyak ulama, ahlul bait, tokoh sufi, dan keturunan Nabi yang berdiam di Indonesia, serta ada berkah dari Tuhan.
Semua itu membuat negara ini kuat dan bertahan dalam persatuan ketika banyak negara lain ambruk. Barakah Allah yang mengalir lewat para tokoh sufi membuat negara ini tetap bersatu. Mungkin persatuan ini bukan hasil kerja para politisi, melainkan lebih karena perlindungan Allah.

Bagaimana Anda melihat demokrasi di Indonesia?
Semua orang bicara demokrasi seolah demokrasi itu sesuatu yang datang dari surga. Padahal, demokrasi itu punya sisi baik sekaligus sisi buruk. Apa itu yang baik, ya jika berhasil memilih pemimpin yang baik dan berhasil membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Islam sebenarnya telah mempraktikkan demokrasi ratusan tahun sebelum demokrasi dikenal di Barat. Ketika Nabi Muhammad meninggal dunia, kaum Muslim bermusyawarah untuk memilih pengganti Nabi atau khalifah. Ada semacam kompetisi antara Abubakar Ashiddiq yang didukung kaum Muhajirin (pendatang), Saidina Ali didukung kaum Ahlul Bait, dan calon lain didukung Anshor.
Mereka bermusyawarah, lalu terjadilah pemilihan suara. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah. Begitu pula pemilihan Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Saidina Ali. Mereka berempat dipilih karena kesepakatan bersama, bukan karena hubungan bapak-anak. Inilah musyawarah sebagai esensi demokrasi.
Sayangnya, setelah khalifah keempat, tradisi itu berubah. Muawiyah mengambil kekuasaan, lalu diturunkan kepada anak- anaknya. Kita tidak mengacu pada kerajaan semacam Muawiyah itu, tetapi pada semangat pemilihan khilafah yang demokratis.
Pendek kata, tradisi Islam sebenarnya sudah mempraktikkan esensi demokrasi pada empat khalifah pertama itu. Jadi, apa yang dibawa oleh budaya Barat sebagai demokrasi itu sebenarnya sudah berlangsung lama dalam sejarah Islam.
Demokrasi akan baik jika bisa mengantarkan orang yang tepat ke kursi kekuasaan yang tepat. Sisi buruk demokrasi muncul jika pemilihan mengantar para tokoh yang tidak beretika, tetapi punya banyak uang untuk duduk di kursi parlemen. Mereka tidak tahu apa-apa dan tidak menggunakan kekuasaan itu untuk kepentingan rakyat.
Jika punya uang, politisi bisa beli suara pemilih. Sebagian praktik demokrasi saat ini diwarnai politik uang. Siapa yang punya uang, ia akan menang. Uang beli suara. Ini bukan demokrasi, melainkan money-crazy.


Sufi dengan Jutaan Murid
Syekh Muhammad Hisyam Kabbani belajar Tarekat Naqsyabandi sejak berusia lima tahun. Pemimpin Naqsyabandi datang ke rumahnya dan mengajarkan tarekat. Dia terus melanjutkan pelajaran itu hingga dewasa. Salah satu gurunya adalah Syekh Muhammad Nazim Adil, pemimpin Tarekat Naqsyabandi Haqqani dunia.
Pendidikan formalnya dari Jurusan Kimia American University di Beirut, Kedokteran di Louvain di Belgia, serta Jurusan Syariah dari Damaskus. Namun, Syekh Hisyam lebih menekuni Tarekat Naqsyabandi Haqqani.
Tahun 1991, dia pindah ke Amerika Serikat dan kemudian mendirikan yayasan Tarekat Sufi Naqsyabandi Haqqani. Dia mendirikan puluhan pusat sufi di Kanada dan AS serta memberi kuliah di banyak universitas. Setelah itu, dia terus menjelajahi berbagai negara di dunia. Kepergian itu membuat dia memiliki jutaan murid. ”Tak hanya kepada masyarakat Muslim, saya juga bepergian ke negara sekuler. Banyak yang datang, berdiskusi, dan akhirnya sebagian ada yang masuk Islam,” katanya.
”Kami punya 23 pusat tarekat di sana (AS). Kami pergi ke seluruh penjuru Amerika, berbicara kepada pemerintahan Amerika, ke Gedung Putih, Pentagon, dan Washington. Kami menjelaskan tentang pemahaman Islam yang moderat. Tugas ini memang menjadi lebih berat, terutama setelah ledakan bom 9 September 2001,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu ada pembakaran Al Quran di Florida, Amerika Serikat. Bagaimana respons Anda?
Ada orang yang nekat dan gila. Kenapa Anda harus mendatanginya dan berkelahi dengannya sehingga membuatnya lebih terkenal? Jangan buat pembakar itu menjadi terkenal dan penting. Kalau diperhatikan, dia mungkin akan berulah lagi. Dia ingin menjadikan peristiwa itu sebagai isu politik demi kepentingan sendiri. Biarkan saja. Nanti dia akan menemukan hukuman sendiri dari Allah. (IAM)

1 comment:

  1. MANTAP SEMOGA ,SINAR YG TERANG MENERANGI JAGAD BARAT DAN TIMUR MEMBAWA ISLAM YG DAMAI , UNTUK KEHIDUPAN DUNIA DAN AKHIRAT. AMIN

    ReplyDelete