Pages

Friday, April 8, 2011

Sufi Road : Kalam Habub Ahmad bin Zein Al-Habsy

Harap Dan Takut

Habib Abdullah Al-Haddad berkata dalam qoshidahnya:
Rasa takut kepada Allah Al-Adhim
dan juga rasa harap,
keduanya adalah obat
yang sangat bermanfaat

“Al-Khouf” (takut) adalah penderitaan dan rasa tak enak hati karena menunggu kedatangan sesuatu yang dibenci. Dan “Ar-Roja” (harap) adalah ketentraman dan kebahagiaan hati karena menunggu kedatangan sesuatu yang disukai. Keduanya: takut dan harap, adalah obat untuk menghilangkan perasaan aman dari makar Allah dan untuk mengobati perasaan putus asa dari rahmat-Nya. Tiada yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi, dan tidak berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang merugi.
Maksud aman di sini adalah perasaan yakin bahwa Allah tidak akan menyiksanya. Putus asa di sini adalah perasaan yakin bahwa Allah tidak akan merahmatinya. Keduanya adalah sikap yang bodoh terhadap Allah dan dapat menjadi penyakit yang membinasakan. Obat bagi kedua penyakit ini adalah Al-Khouf dan Ar-Roja karena dengan memiliki kedua perasaan tadi manusia akan berpikir bahwa boleh jadi, Allah akan menyiksanya atau merahmatinya. Jadi, janganlah terlalu yakin dengan dirimu. Benar, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, namun juga maha pedih siksanya:
“Yang Maha mengampuni dosa dan menerima taubat, pedih siksa-Nya, mempunyai karunia. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk).” (QS Al Mukmin, 40:3)
Jika manusia membayangkan kerasnya siksa Allah Ta’âlâ, maka hatinya akan merasa sedih dan menderita. Namun, jika membayangkan rahmat dan
ampunan-Nya, meski ia tahu bahwa siksa Allah amat pedih, hatinya merasa tenang. Al-Khouf dan Ar-Roja bagaikan dua sayap burung. Ar-Roja menggerakkan manusia untuk berbuat kebaikan sebanyak mungkin. Al-Khouf mengekang manusia dari perbuatan yang membahayakan keselamatan.
(Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi, Syarhul ‘Ainiyyah, Wasiat dan Nasihat, Putera Riyadi)

Niat
“Niat saleh” adalah kecenderungan dan keinginan hati untuk berbuat baik. Suara hati merupakan sumber dan penyebab pertama timbulnya niat. Niat adalah ruhnya amal, seperti ruh bagi jasad, dan hujan bagi bumi. Barang siapa yang niat dan tujuannya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka ia memiliki niat yang saleh. Karena itulah beliau RA berkata, “carilah selalu niat-niat saleh”.
Niat ada yang saleh dan ada yang buruk. Dalam suatu amal kadang kala dapat diperoleh niat yang banyak. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.”
Niat yang baik akan membuahkan amal yang baik,sedangkan niat yang buruk akan mengakibatkan amal yang buruk.
Allah berfirman: “Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya.” (QS Al-Bayyinah, 98:5) Yakni, dengan niat yang ikhlas untuk Allah. Niat juga merupakan salah satu sebab untuk memperoleh taufik: Jika kedua juru pendamai itu berniat mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu (untuk berdamai). (QS An-Nisa, 4:35)
Nabi SAW bersabda, “Barang siapa berniat melakukan kebajikan, namun ia tidak mengamalkannya, Allah akan mencatatkan kebajikan baginya.” Dan sabdanya lagi: “Mereka kelak dikumpulkan berdasarkan niat mereka.”
Imam At-Tsauri berkata, “Dahulu mereka mempelajari niat untuk beramal sebagaimana mereka mempelajari amal.”
Dan diriwayatkan dalam kitab Taurat bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Segala sesuatu yang diniatkan untuk-Ku, maka sedikitnya adalah banyak, dan segala sesuatu yang ditujukan kepada selain Aku, maka banyaknya adalah sedikit.”
Bilal bin Sa’ad berkata, “Sesungguhnya seorang hamba akan mengucapkan ucapan seorang mukmin, maka Allah tidak akan membiarkannya sebelum menyaksikan amalnya, jika ia mengamalkannya, maka Allah tidak akan membiarkannya sebelum menyaksikan niatnya, jika niatnya baik, Allah akan memperbaiki kelemahan amalnya.”
Niat adalah tiangnya amal, oleh karena itu amal sangat membutuhkan niat. Nabi SAW bersabda: “Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya.” Hati adalah pengawas yang ditaati dan niat adalah amal hati. Amal tanpa niat yang saleh, tidak akan bermanfaat, dan amal dengan niat yang buruk, akan mencelakakan.
Banyaknya niat tergantung pada banyaknya usaha untuk berbuat kebaikan, keluasan ilmu dan ketekunan dalam menghimpun berbagai niat yang baik. Dan banyaknya niat ini dapat menyucikan dan melipat- gandakan amal. Namun maksiat akan tetap maksiat, karena niat baik tidak akan dapat merubahnya.
Berbagai amal yang mubah, dengan niat yang benar dari seorang yang sidq, dapat menjadi sebaik-baik pendekatan diri kepada Allah. Mereka yang selalu disibukkan dengan urusan keduniaan, niat-niat saleh tersebut tidak akan terlintas dalam benak mereka. Jika mereka mengaku memiliki suatu niat baik, ketahuilah, sesungguhnya itu hanyalah bisikan hati, bukan niat.
Saat melaksanakan atau meninggalkan suatu amal harus disertai dengan niat yang baik, karena meninggalkan suatu amal adalah amal juga. Oleh karena itu, jangan sampai hawa nafsu yang tersembunyi menjadi penggerak suatu amal. Karena alasan inilah beberapa sufi urung melaksanakan suatu ketaatan, karena gagal menetapkan niat yang baik.
Niat adalah fath dari Allah yang pada dasarnya tidak bisa diusahakan. Niat yang baik ini oleh Allah Ta’ala dianugerahkan kepada orang-orang yang berhati suci, memiliki ilmu yang luas dan selalu disibukkan dengan ajaran Allah, bukan orang-orang seperti kita. Kita ini tidak mudah untuk berniat baik walaupun dalam melaksanakan yang wajib, kecuali setelah berusaha dengan susah payah.


Rizqi
Rizqi adalah suatu ketetapan Allah yang telah ditetapkan kepada kita. Walaupun begitu, kita diharuskan berikhtiar. Makna IKHTIAR yang telah ditentukan para ulama, bukanlah ikhtiar untuk memperoleh rizqi itu sendiri. Tetapi berikhtiar untuk mencari KEHALALAN RIZQI tersebut.
Ulama berbeda pendapat tentang uang/harta yang diperoleh dengan jalan haram. Apakah itu termasuk rizqi? Pendapat ulama paling kuat, baik halal atau haram tetaplah dinamakan rizqi…(war rizqu maa yanfa’ walau muharroma) sebagaimana yang dikatakan oleh ibin Ruslan dalam Zubad nya.
Tak asing di telinga kita sabda Rasulullah, “…kemudian menjadi segumpal daging. Kemudian malaikat diperintahkan untuk meniupkan ruh dan menulis 4 hal : rizqi, ajal, amal, suul/khusnul khotimah.”
Habib Ali Alhabsyi di dalam qoshidahnya mengatakan,
“…War riziq maqsum bainal kholq hattal hinasy.”
Artinya, ‘Dan rizqi telah dibagi Allah kepada semua makhluknya, sekalipun ular’
Al-Faqir pernah menanyakan kepada beberapa Habaib di Hadramaut. Mereka mengatakan makna ular disiini adalah CACING TANAH (walaupun di dalam tanah, tetap diberi rizqi oleh Allah)
Jadi ketentuan rizqi Allah adalah PASTI, tinggal bagaimana kita menjemput dan mencari yang halal.
Dikisahkan bahwa suatu hari Sayidina Ali bin Abi Tholib akan memasuki sebuah rumah. Ketika beliau akan masuk, beliau tak menemukan tiang untuk mengikat tali kudanya. Lalu beliau bertemu dengan seorang ‘Arobi asing/tak dikenal dan menitipkan kudanya untuk dijaga sebentar. Setelah urusan beliau selesai, beliau berniat untuk menghadiahkan uang 2 dinar kepada ‘Arobi. Ketika keluar, beliau tak melihat kuda dan ‘Arobi tersebut di tempat semula. ‘Arobi tersebut telah mencurinya!
Maka Sayidina Ali bergegas mencari ke gurun pasir hingga didapati kuda beliau dalam keadaan tanpa tali kendali dan pelana. Lalu beliau menuju ke pasar karena kemungkinan telah dijual si ‘Arobi di situ. Ternyata benar apa yang beliau pikirkan.
Ketika si penjual ditanya, dia menjawab bahwa ia membelinya dari seorang ‘Arobi asing.
“Dengan harga berapa, ” tanya Sayidina Ali.
“Dua dinar,” jawab si penjual.
Tersenyumlah Sayidina Ali seraya mengambil hikmah bahwa Allah telah menentukan RIZQI kepada si ‘Arobi sebesar 2 dinar di hari itu. Namun ‘Arobi mengambil dengan cara yang HARAM. ANDAIKAN IA BERSABAR, IA AKAN MENDAPATKANNYA DENGAN CARA YANG HALAL!

Sumber :Putaka Muhibbun

No comments:

Post a Comment