Thursday, July 29, 2010

Hikam Al Hadad: Tanda Penyakit Hati dan Cara Mengobatinya

[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]
Sesungguhnya penyakit-penyakit hati dapat diketahui melalui tanda-tandanya secara lahiriah yang mengisyaratkan tentang kehadirannya. Tanda-tanda tersebut banyak sekali, yang paling nyata di antaranya ialah sikap bermalas-malasan dalam mengerjakan berbagai macam ketaatan, merasa berat berbuat kebajikan, sangat terikat pada syahwat hawa nafsu, sangat cenderung pada kelezatan dunia, sangat ingin memperluas kesejahteraan di dalamnya serta lebih lama berdiam di sana, dan lainnya lagi sebagaimana yang dapat disaksikan dalam kebiasaan orang-orang yang lalai akan akhirat dan berpaling dan Allah Swt.

Bilamana timbul tanda-tanda seperti itu pada agama seseorang, yang menunjukkan adanya penyakit dalam hatinya, wajiblah ia berusaha sungguh-sungguh untuk mengobati dan menanganinya dengan saksama. Cara terbaik dan paling efektif untuk mencapai tujuan tersebut ialah dengan mencari seorang syaikh (guru, pembimbing, mursyid) yang 'Alim dan 'Arif dari kalangan yang bersih dan sadar kalbunya. Jika tidak berhasil memperolehnya, hendaknya ia memilih seorang kawan yang saleh yang dapat dimintai pendapatnya dan diajak bermusyawarah dalam menyelidiki dan mengenali penyakit-penyakit hati serta mengobatinya. Tetapi, kalau orang seperti ini pun tidak dapat dijumpainya seperti lazimnya pada zaman ini yang jarang sekali ditemukan orang yang bersedia menolong dalam kebenaran dan kebaikan, hendaknya ia membaca buku-buku yang ditulis oleh para imam dan tokoh besar dalam bidang ini, yang sengaja mereka susun tentang penyakit-penyakit hati dan cara-cara penanganan dan pengobatannya.

Di antara buku-buku yang paling lengkap dan paling bermanfaat mengenai hal itu ialah Kitab Ihya' Ullumuddin karya Imam Al Ghazali, terutama perempat bagiannya tentang Al-Muhlikat (sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan pembinasa hidup manusia). Sebab, buku itu memang sengaja ditulis untukmengenali penyakit-penyakit hati serta cara-cara pengobatannya, tanda-tanda yang menunjukkan adanya, kuat ataupun lemahnya, dan sebagainya. Namun, buku-buku apa pun tidak mungkin dapat disejajarkan dengan kedudukan seorang syaikh yang 'Arif atau kawan karib yang saleh dalam perjalanan mencapai tujuan. Itu hanyalah sejauh upaya orang yang tidak berhasil menjumpai mereka atau tidak dimungkinkan oleh keadaan.

Sungguh Allah Swt. akan memberikan pertolongan-Nya sesuai dengan kadar himmah, ketulusan, serta kebersihan niat seseorang. Dialah sebaik-baik pelindung dan penolong.

Bahaya Penyakit Hati Dibandingkan Penyakit Tubuh

Penyakit-penyakit hati lebih mengganggu dan lebih berbahaya, lebih parah dan lebih buruk daripada penyakit-penyakit tubuh ditinjau dan berbagai segi dan arah. Yang paling merugikan dan paling besar bahayanya ialah karena penyakit hati mendatangkan mudarat atas seseorang dalam agamanya, yaitu modal kebahagia­ annya di dunia dan di akhirat; dan bermudarat bagi akhiratnya, yaitu tempat kediaman yang baqa, kekal, dan abadi.

Adapun penyakit tubuh tidaklah mendatangkan mudarat atas seseorang kecuali di dunianya yang fana yang segera sima, serta tubuhnya yang menjadi sasaran penyakit akan hancur luluh dalam waktu yang cepat. Apalagi penyakit tubuh itu sebenarnya amat berfaedah bagi seseorang dalam agama dan akhiratnya. Sebab, Allah Swt. menyediakan pahala yang sangat besar bagi si penderita sakit, di samping banyak faedah dan manfaat lainnya yang segera ataupun pada waktu mendatang, sesuai dengan yang disebutkan dalam berbagai ayat dan hadis tentang pahala yang disediakan pada penyakit dan bencana yang menimpa tubuh.

Kemudian, karena penyakit hati tidak terjangkau secara indriawi dan tidak menimbulkan rasa sakit, sulitlah ia diketahui dan ditemukan. Perhatian padanya amat sedikit dan daya upaya untuk mengobatinya pun lemah sekali, seperti yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali.rhm, "Penyakit hati itu laksana penyakit sopak (belang) di wajah seseorang yang tak memiliki cermin. Jika ia diberi tahu orang lain pun, mungkin ia tak memercayainya. "

Selain itu, berbagai azab dan hukuman yang diancamkan atas diri seseorang sebagai akibat penyakit-penyakit hati, kelak di akhirat, adalah sesuatu yang sulit diterima oleh kaum yang lalai. Atau, mereka melihatnya sebagai sesuatu yang masih lama sekali datangnya. Adakalanya mereka bahkan meragukannya. (Semoga Allah Swt. melindungi kita darinya.) Atau, berangan-angan akan diselamatkan darinya dengan berbagai harapan yang menipu, semata-mata karena terlalu "berani" kepada Allah. Sehingga, timbul khayalan kosong dengan mengira pasti akan memperoleh ampunan dan keselamatan meski tanpa berusaha untuk mem­perolehnya.

Disebabkan hal-hal seperti itu, banyak penyakit hati yang terus tersembunyi, bahkan makin kuat mencengkeram, sementara orang-orang yang lalai selalu teledor untuk mengobatinya se­hingga makin lama makin sulit diobati. Bahkan, adakalanya se­seorang dari mereka mengetahui bersemayamnya sesuatu penyakit di hatinya, tetapi ia tak peduli dan tak menghiraukannya.

Padahal, sekiranya ia mengetahui adanya suatu penyakit di tubuhnya ataupun seorang lain memberi tahunya tentang hal itu, pasti besar sekali perhatian yang ditujukan padanya. Ia akan menjadi sangat takut, lalu bersungguh-sungguh berdaya upaya untuk mengobatinya dengan mengerahkan apa Baja yang &pat dilakukannya. Sebab, seperti yang telah kami sebutkan, penyakit hati itu tak terjangkau secara indriawi dan tidak ada rasa sakit yang menyertainya segera. Juga, hukuman-hukuman yang diancamkan terhadap itu tak tampak, dan kalaupun ada, ia baru akan terwujud kelak setelah mati dan berada di akhirat. Sedang­kan, orang yang lalai menganggap maut dan segala yang datang sesudahnya sebagai sesuatu yang amat jauh. Padahal, sekiranya menggunakan akalnya dan keyakinannya, niscaya ia akan mengetahui bahwa maut adalah suatu perkara gaib yang paling cepat datangnya, seperti disabdakan oleh Rasulullah Saw. Dan, sebagaimana juga beliau pemah bersabda, "Surga itu lebih dekat kepada seorang
di antara kalian daripada tali sandalnya." Demikian pula neraka.

Penyakit hati sungguh banyak ragamnya. Yang paling ber­bahaya dan paling mudarat ialah kebimbangan dalam agama. (Semoga Allah Swt. melindungi kita darinya.) Selain itu, lemahnya keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, serta kediaman di akhirat. Juga, sifat riya' (ingin dipuji oleh manusia) dalam per­buatan kebajikan. Angkuh terhadap hamba-hamba Allah, bakhil, iri hati, dengki, curang, cinta akan dunia dan sangat ingin mem­pertahankan nya, panjang angan-angan (yang menyebabkan selalu menunda tobat), lupa akan maut, lalai akan akhirat, mengabaikan persiapan untuknya, serta berbagai macam penyakit hati lainnya.

Mengingat bahwa hati manusia tertutup dari perasaan indriawi, sedangkan penyakit-penyakit hati tidak disertai rasa sakit yang dapat dijangkau dengan alat-alat lahiriah, wajiblah atas manusia berakal, yang prihatin akan agamanya serta keselamatan akhiratnya, untuk sungguh-sungguh berusaha menyelidikinya sehingga ia dapat segera menangani dan mengobatinya sebelum maut datang mendadak dan ia pun menuju Tuhannya, laluberhadapan dengan-Nya dengan hati yang tidak sehat—yang karena itu ia akan merugi, binasa bersama dengan orang-orang yang binasa lainnya.

@sufiroad

Tuesday, July 27, 2010

Salahkah Al Hallaj....

Salahkah al Hallaj yang hanya mengungkapkan kerinduan dirinya kepada Tuhan.. haruskah dia dihukum mati karena kefanaanya...
berikut adalah sedikit pernyataan al hallaj :

Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.
Tuhanku, Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, karena itu bersykurlah pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Sukur, bukan yang lain.
Siapa yang mengandalkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang mengandalkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.
Asma-asma Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama ansich, tapi dari segi kebenaran adalah hakikat.
Bisikan Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung kontra.
Suatu ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju kepada Allah, dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”
Sama sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih melihat individu-individu lainnya.


Siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cahaya Tauhid, ia akan tertupi dari ungkapan-ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cayaha Tajrid, ia akan bicara dengan hakikat Tauhid, karenakemabukan itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.
Siapa yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari dengan cahaya bintang gemintang.
Ketika Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka, hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.
Sesungguhnya Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji, adalah Dzat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat, tidak pula di temukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak bisa tercetus dalam imajinasi, tidak pula bisa dilihat pandangan, tidak bisa darusi kesenjangan.
Akulah Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan DzatNya, di sana tak ada lagi perbedaan.
Ketika ditanya tentang Tauhid,ia menjawab, “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu, dan itulah hamparan Tauhid. Sedangkan substansinya.

SEJARAHNYA
Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.

Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.

Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, populer dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”

Pada akhir hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa dzalim ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Dzul Qa’dah tahun 309 H.
Kelak pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak terpublikasi luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al-Hallaj.”

Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah”.
Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali.
Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.

Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.

Sebagaimana Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu kepada publik, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya saja, dan menjelaskannya kepada publik pula. Tentu jauh berbeda kesimpulan Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.
Setidak-tidaknya ada tiga kelomp0k besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi terhadap pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar; dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mengatakan:

Mereka yang mngkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan mazhab Dzahiriyah, seperti Ibnu dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara lain Inu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan ad-Dzahaby.

Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah). Dari kalangan Sufi antara lain, Amr al-Makky dan kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi mutakhir, selain Ahmad ar-Rifai’y dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar.

Mereka yang mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf.

Dari kalangan Filsuf pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ as=Sulamy dan Al-Kalabadzy. Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah). Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily.

Kontroversi Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan-ungkapannya yang sangat rahasia dan dalam, yang tidak bisa ditangkap secara substansial oleh mereka, khususnya para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib. Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal hakikat kehambaan dan Ketuhanan secara lebih transparan.

Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama.

Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya. Al-Hallaj juga tidak pernah mengajak ummat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau sebagai etiuk murni dari seorang Sufi yang sangat dalam.
Sejarawan Al-Baghdady mengisahkan tragedi kematian dan peradilannya: “Ketika mereka hendak membunuh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan Ulama dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para dewan kepolisian juga dihadirkan di sisi barat, tepatnya di hari Selasa, bulan Dzul Qa’dah Minggu kedua, TAHUN 309. Ia dicambuk sekitar seribu kali cambukan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya, lalu lehernya ditebas.

Lalu tubuhnya dibakar dengan api.Kepalanya yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada publik dalam kerangkeng besi, sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al-Hallaj mendekati saat-saat penyaliban, ia membisikkan kata-kata, “Wahai yang menolong kefanaan padaku…tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang menyakitiMu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam DiriMu…Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”. Lalu ia membaca sebuah ayat, “

Sebelum meninggal dengan hukuman tragis itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari satu tahanan ke tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan para Ulama yang merasa tersaingi oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai meluas. Bisa jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh bahaya massa Al-Hallaj. Kalau toh Al-Hallaj harus dihukum mati dengan disalib, sebagaimana pernah ia ramalkan sendiri, adalah karena ia harus menghadapi ketidakberdayaan kekuasaan. Tetapi sekali lagi, Al-Hallaj adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang digambarkan, sebagai sosok yang hafidz Al-Qur’an, tekun sholat sepanjang malam, puasa sepanjang siang, dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati baginya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan legitimasi bahwa dirinya salah dan benar.

Rasanya Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasawuf. Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekadar menvonis Al-Hallaj begini dan begitu, tanpa pernah menghayati substansi terdalam dalam praktek Sufistik, siapa pun akan selalu gagal memahaminya.

Ada ungkapan Sufi yang sangat arif bisa jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara tentang kisah rahasia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam. Bedakan antara amal dan ilmu. Sebab banyak kesalah pahaman orang yang menghayati tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah kesalahpahaman dalam memahami tenggelam itu sendiri.”


@Wong Alus

Monday, July 26, 2010

Waktu dan Tempat yang Baik untuk Bershalawat

Shalawat atas Nabi Saw. disyariatkan pada waktu-waktu, tempat-tempat, dan keadaan-keadaan tertentu. Hal ini telah dibicarakan panjang lebar oleh Ibn Al-Qayyim di dalam kitab Jalâ 'u al-Afhâm fî Fadhli al-Shalâti wa al-Salâmi 'alâ Muhammad Khayr al-Anâm, Syaikh Islam Quthbuddin al-Haydhari al-Syâfi'i di dalam kitab Al-Liwâ al-Muallim bi Mawâthin al-Shalâh 'alâ al-Nabî Saw., Al-Hâfizh Al-Sakhâwi di dalam kitab Al-Qawl al-Badî', dan Al-Qasthallânî di dalam kitab Masâlik al-Hunafâ'.
Al-Khâtib di dalam kitab Syarh al-Minhâj, dan yang lainnya, berkata:
"Disunnahkan memperbanyak membaca Surah Al-Kahfi dan shalawat atas Nabi Saw. pada hari Jumat dan malam Jumat; paling sedikit, untuk yang pertama tiga kali dan untuk yang kedua tiga ratus kali."
Sementaraa itu, telah sah riwayat yang bersumber dari Imam Al-Syâfi'i r.a., yang mengatakan bahwa, barang-siapa yang membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat, ia akan diterangi oleh cahaya yang ada di antara dua Jumat.
Diriwayatkan pula bahwa barangsiapa yang membaca Surah Al-Kahfi pada malam Jumat, ia akan diterangi oleh suatu cahaya antara dirinya dan Kabah. Membaca Surah Al-Kahfi di waktu siang lebih di-utamakan, dan lebih utama lagi bila ia dibaca sesudah selesai mengerjakan salat subuh, guna menyegerakan berbuat baik sebisa-bisanya.
Hikmah diperintahkannya membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jum'at adalah karena didalam Surah itu Allah menggambarkan suasana Hari Kiamat, sementara hari Jum'at mirip dengan Hari Kiamat, karena orang banyak berkumpul untuk melaksanakan salat bersama-sama; juga karena Hari Kiamat itu terjadi pada hari Jum'at, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya.
Ramli mengatakan bahwa anjuran supaya memperbanyak pembacaan shalawat pada malam dan hari Jum'at itu didasarkan pada hadis yang berbunyi, "Sesungguhnya hari kalian yang paling utama adalah hari Jumat. Oleh karena itu, perbanyaklah kalian membaca shalawat atasku, sebab shalawat yang kalian baca itu diperlihatkan kepadaku."

Nabi Saw. bersabda, "Sesungguhnya semua amal itu diangkat pada hari Senin dan hari Kamis. Oleh karena itu, aku berhasrat agar amalku diangkat sementara aku dalam keadaan berpuasa."

Tentang hadis di atas, Al-Manawi, di dalam kitab Syarh Al-Jamî al-Shghîr; permulaan jilid III, berkata, "Disyariatkan berkumpul untuk membaca shalawat atas Nabi Saw. pada malam Jumat dan malam Senin, sebagaimana yang dikerjakan di masjid Jami' Al-Azhar dan disuarakan dengan suara yang keras."
Dikatakan bahwa shalawat atas Nabi Saw. itu sudah mencakup doa di dalamnya.
Ibn Marzûq berkata, "Malam Jumat lebih utama dan malam Qadar."

Jamâl kembali menyatakan bahwa disunnahkan membaca Surah Ali 'Imrân atas dasar hadis, "Barangsiapa yang membaca Surah Ali 'Imrân pada hari Jumat, niscaya dosa-dosanya ikut terbenam dengan tenggelamnya matahari pada hari itu."

Hikmahnya, kata Jamâl, adalah karena Allah menyebutkan di dalam surah itu penciptaan Nabi Adam a.s., sedangkan Adam a.s. diciptakan pada hari Jumat.

Disunnahkan juga membaca Surah Hûd dan Hâ Mîm Dukhân. Namun, bagi mereka yang hanya ingin memilih salah satu dari surah-surah yang disebutkan di atas, hendaklah ia memilih Surah Al-Kahfi karena banyaknya hadis yang meriwayatkannya
Adapun hadis-hadis lain yang menjelaskan waktu-waktu tertentu untuk membaca shalawat sebagai berikut:

Pertama, sesudah adzan.
Rersabda Rasulullâh Saw.
"Apabila kamu mendengar muadzin membacakan adzan, sambutlah ucapannya. Sesudah selesai menyambut adzan, maka bershalawatlah kamu untukku."(HR. Muslim)
Nabi Saw. bersabda:
"Apabila kamu mendengar seorang muadzin (tukang membaca adzan itu) bacalah (sambutlah bacaan adzan itu) seperti yang dibacakan olehnya. Kemudian (sesudah selesai adzan dibacakan), bershalawatlah kamu kepadaku. Sebenarnya barangsiapa bershalawat kepadaku dengan suatu shalawal, niscaya Allah bershalawat ke-padanya dengan sepuluh shalawat. Sesudah itu mohonlah kepada Allah wasilah untukku. Wasilah itu suatu ke-dudukan yang paling tinggi dalam syurga. Tidak dapat diperoleh, melainkan oleh seorang saja dari hamba-hamba Allah. Aku berharap semoga akulah yang mendapat ke-dudukan itu. Karena itu barang siapa memohonkan wasilah untukku, wajiblah baginya syafaatku. "(HR. Muslim).

Kedua, ketika hendak masuk ke dalam mesjid dan ketika hendak keluar daripadanya.
Rersahda Rasulullah Saw.:
"Apabila seseorang kamu masuk ke dalam mesjid, maka hendaklah ia membaca "salam" kepadaku (membaca selwat dan salam). Sesudah itu hendaklah ia membaca: Allâhummaftah lî Abwâba Rahmatika (Wahai Tuhanku, bukakanlah untukku segala pintu rahmatmu). Dan apabila ia hendak keluar, hendaklah ia membaca (sesudah bershalawat): Allâhumma Innî As aluka min Fadhlika. (Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu limpahan rahmat-Mu)." (HR. Abû Dâud).
Diberitakan oleh Ibn Al-Sunnî, bahwa Rasulullah apabila masuk ke dalam mesiid. maka beliau membaca:
"Dengan nama Allah wahai tuhanku, berilah kebesaran kepada Muhammad."
Dan apabila beliau hendak keluar dari mesiid, maka beliau membaca

Ketiga, sudah membaca tasyahhud di dalam tasyahhud akhir.
Telah ditahqikkan oleh Al-Imâm Ibn Al-Qayyim dalam Jalâ'u al-Afhâm, bahwa madzhab yang haq dalam soal bershalawat dalam tasyahhud yang akhir, ialah madzhab Al-Syâfi'i. Yaitu mewajibkan shalawat kepada Nabi di dalamnya. Al-Imam Ibn Al-Qayyim berpendapat, bahwa shalawat itu dituntut juga di dalam tasyahhud yang pertama, walaupun tidak sekeras tuntutan seperti di dalam tasyahhud yang akhir.
Bersabda Rasulullah Saw.:

Artinya: "Apabila salah seorang kamu bertasayahhud di dalam sembahyang, maka hendaklah ia mengucapkan: Allâhumma Shalli 'alâ Muhammadin wa 'alâ Âli Muham-madin, Kamâ Shallayta wa Bârakta wa Tarahamta 'alâ Ibrâhîm wa Âli Ibrâhîm, Innaka Hamîdun Majîd." (HR. Al-Baihaqî ).


Keempat, di dalam sembahyang jenazah.
Berkata Al-Syâfi'i di dalam Al-Musnad: "Sunnah Nabi Saw. di dalam melaksanakan sembahyang jenazah ialah, bertakbir pada permulaannya, sesudah itu membaca Al-Fâtihah dengan tidak mengeraskan suara, kemudian sesudah takbir kedua membaca shalawat, sesudah bershalawat bertakbir lagi, takbir yang ketiga. Sesudah takbir yang ketiga ini membaca doa dengan sepenuh keikhlasan untuk jenazah itu. Dalam sembahyang jenazah tidak dibacakan surah (ayat-ayat Al-Quran). Sesudah itu bertakbir dan lalu memberi salam dengan suara yang tidak dikeraskan."

Kelima, diantara takbir-takbir sembahyang hari-raya.
Berkata para ulama: "Disukai kita membaca di antara takbir-takbir sembahyang hari-raya:
"Saya akui kesucian Allah, segala puji dan sanjung kepunyaan Allah juga. Tak ada Tuhan yang seebenarnya berhak disembah, melainkan Allah senndiri-Nya dan Allah itu Maha Besar. Ya Allah, wahai Tuhanku, muliakan oleh-Mu akan Muhammad dan akan keluarganya, Ya Allah, Wahai Tuhanku, ampuniah akan aku dan beri rahmatlah kepadaku."

Keenam, di permulaan doa dan di akhirnya.
Bersabda Rasulullah Saw.:
'Bahwasannya doa itu berhenti antara langit dan bumi, tiada naik, barang sedikit juga daripadanya sehingga engkau bershalawat kepada Nabi engkau." (HR. Al-Turmudzî).
Fadlalah Ibn 'Ubadi berkata: "Bahwasanya Rasulullah Saw. mendengar seorang laki-laki langsung berdoa dalam sembahyang (yakni dalam duduk tahiyat sesudah membaca tasyahhud), sebelum ia bershalawat. Maka Rasulullah berkata kepada orang yang di sisinya: Orang ini telah bergegas-gegas. Sesudah orang itu selesai sembahyang, Nabipun memanggil lalu mengatakan kepada-nya: Apabila bersembahyang seseorang kamu dan hendak berdoa di dalamnya, hendaklah ia memulai doanya dengan memuji Allah dan membesarkan-Nya. Sesudah itu bershalawat kepada Nabi Sesudah bershalawat, barulah mendoa memohon sesuatu yang dihajati." (HR. Abû Dâud dan Al-Nasâ'i).
Telah mufakat semua ulama, bahwa amat disukai memulai doa dengan memuji Allah (membaca Alhamdulillah). Di dalam sembahyang, maka tasyahhud adalah menggantikan kalimah puji (hamdalah). Sesudah memuji Tuhan bershalawat.
Demikian pula halnya ketika mengakhiri doa. Amat disukai kita mengakhirinya dengan shalawat dan memuji Allah.

Ketujuh,
ketika hendak memulai sesuatu urusan penting dan berharga.
Diberitakan oleh Abû Hurairah, bahwa Nabi Saw. bersabda:
"Tiap-tiap urusan penting yang berarti dan berharga yang tidak dimulai dengan hamdalah dan shalawat, maka urusan itu hilang berkatnya."(HR. Al-Rahawî).

Pengarang Syarah Dalâ'il, --menukil pernyataan yang diberikan oleh Qâdhi 'Iyâdh di dalam kitabnya Al-Syifâ'--mengatakan bahwa maksud pembacaan shalawat dalam pembukaan segala sesuatu itu adalah untuk bertabaruk (memohon berkah), sesuai dengan sabda Nabi Saw., "Setiap perbuatan penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah dan bershalawat kepadaku niscaya kurang sempurna."

Juga didasarkan atas firman Allah Swt. di dalam surah Al-Insyirah ayat 4, yang berbunyi:
"Kami meninggikan bagimu sebutan (nama)-Mu." (OS. Al-Insyirah:4).
Tentang maksud ayat ini, sebagian ahli hadis meriwayatkan sebuah hadis dari salah seorang sahabat, yakni Abû Sad r.a., bahwa makna ayat tersebut adalah, "Tidaklah Aku (Allah) disebut, melainkan engkau (Muhammad) pun disebut pula hersama-Ku."
Memenuhi sebagian hak Rasulullah Saw., sebab beliau adalah perantara antara Allah Saw. dan hamba-hamba-Nya. Semua nikmat yang diterima oleh mereka -termasuk nikmat terbesar berupa hidayah kepada Islam- adalah dengan perantara dan melalui Rasulullah Saw.
Di dalam salah satu hadis, Rasulullah Saw. Bersabda, "Belumlah bersyukur kepada Allah orang yang tidak ber-terima kasih kepada manusia."
Memelihara perintah Allah Swt. yang dituangkannya di dalam firman-Nya yang berbunyi:
"Hai orang-orang yang Beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi, dan ucapkanlah salampenghormatan kepadanya." (QS. Al-Ahzâb: 33).

Kedelapan
, di akhir qunut
Diriwayatkan oleh Al-Nasâ'i, bahwa disukai kita mengakhiri qunut dengan shalawat. Tegasnya, disukai supaya kita bershalawat di akhir Qunut dengan kalimah:
"Dan mudah-mudahan Allah melimpahkan shalawat-Nya atas Muhammad."
Kesembilan, di malam dan hari Jumat.
Bersabda Rasulullah Saw. :
"Banyakkanlah olehmu membaca shalawat di malam hari Jumat dan siangnya karena shalawat itu dtkemukakan kepadaku. " (HR. Al-Thabrânî).
Dan sabdanya pula;

"Banyakkanlah olehmu shalawat kepada-ku, karena shalawaatmu itu akan menjadi cahaya bagimu pada hari qiyamat." (HR Al-Thrmudzî dan Abû Dâud).
Al-Ustâdz Mahmûd Sâmi dalam karyanya Mukhtashar fi Ma'ânî Asmâ Allah al-Husnâ, bâbu al-Shalâh 'alâ al-Nabi, menceritakan 'Umar bin 'Abdul 'Azîz r.a. pernah menulis, "sebarkanlah ilmu pada hari Jumat, sebab bencana ilmu itu adalah lupa. Perbanyaklah pula kalian membaca shalawat atas Nabi Saw. pada hari jumat.
Sementara Imam Al-Syâfi'i r.a. Berkata, "Aku suka memperbanyak membaca shalawat dalam setiap keadaan. Namun, pada malam dan hari Jumat lebih aku sukai, karena ia merupakan hari yang paling baik.

Kesepuluh, di dalam khutbbah.
Menurut madzhab Al-Syâfi'i, para khatib wajib membaca shalawat untuk Nabi Saw. pada permulaan khuthbah, sesudah membaca tahmid.
Ibnu Katsîr herkata: "demikianlah madzhab Al-Syâfi'i dan Ahmad."
Kesebelas, ketika berziarah ke kubur Nabi Saw.
Bersabda Nabi Saw.

"Tidak ada seorangpun di antara kamu yang memberikan salamnya kepadaku yakni di sisi kuburku, melainkan Allah mengembalikan kepadaku ruhku untuk mniawab salamnya itu." (HR. Abû Dâud).

Kedua belas, sesudah bertalbiyah.
Berkata Muhammad Ibn Al-Qasim:

"Memang disuruh seseorang membaca shalawat kepada nabi apabila dia telah selesai membaca talbiyahnya dalam segala keadaan." (HR. Al-Syâfi'i dan Al-Dâruquthnî).
Ketiga belas, ketika telinga mendenging.
Bersabda Rasulullah Saw :
"Apabila mendenging telinga salah seorang di antaramu, maka hedaklah la mengingat dan bershalawat kepadaku." (HR. Ibn Al-Sunî)

Keempat belas, tiap-tiap mengadakan majlis.
Bersabda Ralulullah Saw :
"Tidak duduk sesuatu kaum di dalam sesuatu majlis, sedang mereka tidak menyebut akan Allah dan tidak betshalawat kepda Nabinya, melainkan menderita kekuranganlah maka jika Allah mmghendaki niscaya Allah akan mengazab mereka dan jika Allah menghendaki, niscaya akan mengampuni mereka." (HR. Al-Thrmudzî Abû Dâud).

Kelima belas, di kala tertimpa kesusahan dan kegundahan.
Diberitakan oleh Ubay Ibn Ka'ab, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw. ujarnya: "Ya Rasulallah, bagaimana pendapat engkau sekiranya saya jadikan shalawat saya untuk engkau semua?
Rasulullah Saw. menjawab :
"Kalau demikian Allah akan memelihara engkau dari segala yang membimbangkan engkau, baik mengenai dunia, maupun mengenai akhirat engkau. "(HR. Ahmad).
Keenam belas, tiap-tiap waktu pagi dan petang.
Bersabda Rasululullah Saw:

"Barangsiapa bershalawat kepadaku waktu pagi sepuluh kali waktu petang sepuluh kali, maka ia akan mendapat syafa'atku di hari qiamat, " (HR. Al-Thabarî).
Ketujuh belas, waktu berjumpa dengan para shahabat, handai dan tolan.

Besabda Rasulullah Saw :
"Tidak ada dua orang hamba yang berkasih-kasihan karena Allah, apabila berjumpa salah seorang dengan yang lainnya lalu berjabatan tangan dan bershalawat kepada Nabi Saw., melainkan Allah mengampuni dosanya sebelum mereka berpisah, baik yang telah lalu maupun yang akan datang. " (HR Ibn Al-Sunnî).

Kedelapan belas
. ketika Orang menyebut nama Rasulullah Saw.:
"Orang yang kikir ialah: Orang yang tidak mau bershalawat ketika orang menyebut namaku di sisinya." (HR. Ahmad).

Inilah delapan belas tempat atau waktu yang ditentukan supaya kita bershalawat kepada Nabi, ketika kita berada pada tempat, waktu atau keadaan itu. Maka marilah kita wahai para pencinta Rasul, bershalawat kepadanya pada tempat-tempat, waktu-waktu dan keadaan-keadaan tertentu dengan sebaik-baiknya.

Kemudian kita perhatikan makna hadis yang tersebut di bawah ini. Bersabdalah Rasulullah Saw :
"Tidak beriman salah seorang kamu, sehingga la mencintai aku lebih daripada anaknya, ayahnya dan manusia semua." (HR. Al-Bukhârî, Muslim, dan Ahmad)

"Diriwayatkan bahwasanya 'Umar pernah berkata kepada Rasulullah Saw.: Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih kucintai dari segala sesuatu, kecuali kecintaanku terhadap diriku. Menjawab Nabi: Ya 'Umar engkau belum lagi mencintai aku sebelum engkau melebihkan cintamu itu daripada kepada dirimu sendiri. Mendengar itu 'Umarpun berkata: Demi Allah, engkau ya Muhammd, lebih aku cintai daripada diriku sendiri! Nabi menjawab: barulah sekarang engkau mencintai aku hai 'Umar." (HR. Ahmad, Bukhârî, dan Muslim).
Sebagai tanda mencintai Rasulllah Saw. itu, ialah: memperbanyak shalawat kepadanya. Dan marilah kita ber-shalawat kepadanya dengan khusyu' dan khudlu', terlepas dari riya. Karena sealawat yang dilakukan dengan riya, tiadalah diridlai oleh Allah dan tiada pula diterima-Nya.

Serba Serbi Sholawat

Mengingat pentingnya sholawat kepada Rasulullah Shollalahu 'alaihi wasallam, maka sy coba masukkan kembali serba serbi sholawat. mudah2an kita bisa selalu mendapat berkah dari sholawat dan mendapat syafaat dari rasulullah.. amien..
Arti Shalawat
SHALAWAT bentuk jamak dari kata salla atau salat yang berarti: doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan ibadah.
Arti bershalawat dapat dilihat dari pelakunya. Jika shalawat itu datangnya dari Allah Swt. berarti memberi rahmat kepada makhluk. Shalawat dari malaikat berarti memberikan ampunan. Sedangkan shalawat dari orang-orang mukmin berarti suatu doa agar Allah Swt. memberi rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad Saw. dan keluarganya.
Shalawat juga berarti doa, baik untuk diri sendiri, orang banyak atau kepentingan bersama. Sedangkan shalawat sebagai ibadah ialah pernyataan hamba atas ketundukannya kepada Allah Swt., serta mengharapkan pahala dari-Nya, sebagaimana yang dijanjikan Nabi Muhammad Saw., bahwa orang yang bershalawat kepadanya akan mendapat pahala yang besar, baik shalawat itu dalam bentuk tulisan maupun lisan (ucapan).

Hukum Bershalawat
Para ulama berbeda pendapat tentang perintah yang dikandung oleh ayat "Shallû 'Alayhi wa Sallimû Taslîmân = bershalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah kamu kepadanya," apakah untuk sunnat apakah untuk wajib.
Kemudian apakah shalawat itu fardlu 'ain ataukah fardlu kifayah. Kemudian apakah membaca shalawat itu setiap kita mendengar orang menyebut namanya ataukah tidak.
Asy-Syâfi'i berpendapat bahwa bershalawat di dalam duduk akhir di dalam sembahyang, hukumnya fardlu. Jumhur ulama berpendapat bahwa shalawat itu adalah sunnat.

Kata Al-Syakhâwî : "Pendapat yang kami pegangi ialah wajibnya kita membaca shalawat dalam duduk yang akhir dan cukup sekali saja dibacakan di dalam suatu majelis yang di dalam majelis itu berulang kali disebutkan nama Rasul.

Al-Hâfizh Ibn Hajar Al-Asqalânî telah menjelaskan tentang madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mengenai hukum bershalawat dalam kitabnya "Fath al-Bârî", sebagaimana di bawah ini.
Para ulama yang kenamaan, mempunyai sepuluh macam madzhab (pendirian) dalam masalah bershalawat kepada Nabi Saw.:


Pertama, madzhab Ibnu Jarîr Al-Thabarî. Beliau berpendapat, bahwa bershalawat kepada Nabi, adalah suatu pekerjaan yang disukai saja.


Kedua, madzhab Ibnu Qashshar. Beliau berpen-dapat, bahwa bershalawat kepada Nabi suatu ibadat yang diwajibkan. Hanya tidak ditentukan qadar banyaknya. Jadi apabila seseorang telah bershalawat, biarpun sekali saja. Terlepaslah ia dari kewajiban.


Ketiga, madzhab Abû Bakar Al-Râzî dan Ibnu Hazmin. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa bershalawat itu wajib dalam seumur hidup hanya sekali. Baik dilakukan dalam sembahyang, maupun di luarnya. Sama hukumnya dengan mengucapkan kalimat tauhid. Selain dari ucapan yang sekali itu hukumnya sunnat.


Keempat, madzhab Al-Imâm Al-Syâfi'i. Imam yang besar ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibacakan dalam tasyahhud yang akhir, yaitu antara tasyahhud dengan salam.

Kelima, madzhab Al-Imâm Asy-Sya'bî dan Ishâq. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib hukumnya dalam kedua tasyahud, awal dan akhir.

Keenam, madzhab Abû Ja'far Al-Baqîr. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibaca di dalam sembahyang. Cuma beliau tidak menentukan tempatnya. Jadi, boleh di dalam tasyahhud awal dan boleh pula di dalam tasyahhud akhir.

Ketujuh, madzhab Abû Bakar Ibnu Bakir. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib kita membacanya walaupun tidak ditentukan bilangannya.
Kedelapan, madzhab Al-Thahawî dan segolongan ulama Hanafiyah. Al-Thahawî berpendapat bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendengar orang menyebut nama Muhammad. Paham ini di ikuti oleh Al-Hulaimî dan oleh segolongan ulama Syâfi'iyyah.

Kesembilan, madzhab Al-Zamakhsyarî. Al-Zamakhsyarî berpendapat, bahwa shalawat itu dimustikan pada tiap-tiap majelis. Apabila kita duduk dalam suatu majelis, wajiblah atas kita membaca Shalawat kepada Nabi, satu kali.

Kesepuluh, madzhab yang dihikayatkan oleh Al-Zamkhsyarî dari sebagian ulama Madzhab ini berpendapat bahwa bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendoa.

Untuk mengetahui manakah paham yang harus dipegangi dalam soal ini, baiklah kita perhatikan apa yang telah diuraikan oleh Al-Imâm Ibn Al-Qayyim dalam kitabnya Jalâul Afhâm, katanya : "Telah bermufakat semua ulama Islam atas wajib bershalawat kepada Nabi, walaupun mereka berselisih tentang wajibnya di dalam sembahyang. Segolongan ulama tidak mewajibkan bershalawat di dalam sembahyang. Di antaranya ialah, Al-Thahawî, Al-Qâdhî al-'Iyâd dan Al-Khaththabî. Demikianlah pendapat para fuqaha selain dari Al-Syâfi'i."
Dengan uraian yang panjang Al-Imâm Ibn Al-Qayyim membantah paham yang tidak mewajibkan shalawat kepada Nabi Saw. di dalam sembahyang dan menguatkan paham Al-Syâfi'i yang mewajibkannya.

Al-Imâm Ibn Al-Qayyim berkata: "Tidaklah jauh dari kebenaran apabila kita menetapkan bahwa shalawat kepada Nabi itu wajib juga dalam tasyahhud yang pertama. Cuma hendaklah shalawat dalam tasyahhud yang pertama, diringkaskan. Yakni dibaca yang pendek.
Maka apabila kita renungkan faham-faham yang telah tersebut itu, nyatalah bahwa bershalawat kepada Nabi itu disuruh, dituntut, istimewa dalam sembahyang dan ketika mendengar orang menyebut nama Nabi Muhammad Saw.

Berkata Al-Faqîh Ibn Hajar Al-Haitamî dalam Al-Zawâjir: "Tidak bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. ketika orang menyebut namanya, adalah merupakan dosa besar yang keenampuluh."


"Apakah tidak lebih baik saya khabarkan ke-padamu tentang orang yang dipandang sebagai manusia yang sekikir-kikirnya? Menjawab sahabat : Baik benar, ya Rasulullah. Maka Nabi-pun bersabda : Orang yang disebut namaku dihadapannya, maka ia tidak bershalawat ke-padaku, itulah manusia yang sekikir-kikirnya." (HR. Al-Turmudzû dari 'Ali).
Kemudian hadis Nabi yang lain


"Kaum mana saja yang duduk dalam suatu majelis dan melamakan duduknya dalam majelis itu, kemudian mereka bubar dengan tidak menyebut nama Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi, niscaya mereka menghadapi kekurangan dari Allah. Jika Allah meng-hendaki, Allah akan mengadzab mereka dan jika Allah menghendaki, Allah akan memberi ampunan kepada mereka. " (HR Al-Turmudzî).
Dasar Hukum dan Dalil-dalil Shalawat
Dibawah ini adalah dalil-dalil tentang shalawat baik dari Al-Quran maupun Al-Hadis Nabi Saw., serta para ulama



AL-QUR'AN
Surat Al-Ahzâb ayat 43:

Artinya: "Dia-lah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang".
Surah Al-Ahzâb ayat 56:


Artinya: "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya".
Maksud Allah bershalawat kepada Nabi Saw. adalah dengan memberi rahmat-Nya; bershalawat malaikat kepada Nabi Saw. dengan memintakan ampunan; sedangkan bershalawatnya orang-orang mu'min kepada Nabi Saw. dengan berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan per-kataan "Allâhumma Shalli 'alâ Muhammad"
Adapun salam kepada Nabi Saw. adalah dengan mengucapkan "Assalâmu Alayka Ayyuh al-Nabiyy."


Al-Hadits

"Bershalawatlah kamu kepadaku, karena sha-lawatmu itu menjadi zakat (penghening jiwa pembersih dosa) untukmu." (HR. IbnMurdaweh)

"Saya mendengar Nabi Saw. Bersabda janganlah kamu menjadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan, dan janganlah kamu menjadikan kuburanku sebagai per-sidangan hari raya. Bershalawatlah kepadaku, karena shalawatmu sampai kepadaku dimana saja kamu berada." (HR. Al-Nasâ'i, Abû Dâud dan dishahihkan oleh Al-Nawâwî).
Diterangkan oleh Abû Dzar Al-Harawî, bahwa perintah shalawat ini terjadi pada tahun kedua Hijriyah. Ada yang berkata pada malam Isra' dan ada pula yang berkata dalam bulan Sya'ban. Dan oleh karena itulah bulan Sya'ban dinamai dengan "Syahrush Shalâti" karena dalam bulan itulah turunnya ayat 56, Surah ke-33 Al-Ahzâb.

Fadhilah dan Faedah Bershalawat


Fadilah (keutamaan) bershalawat atas nabi sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran bahwa Allah Swt. dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat atas Nabi Muhammad Saw., seperti terlihat dalam firman-Nya: "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersha-lawat untuk Nabi... ." (QS.33:56).
Penggalan ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt. melimpahkan rahmat bagi Nabi Muhammad Saw. dan para malaikat memintakan ampunan bagi Nabi Muhammad Saw. Karena itu, pada lanjutan ayat tersebut, Allah Swt. menyuruh orang-orang mukmin supaya bershalawat dan memberi shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.: "...Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."
Untuk mengetahui keutamaan apakah yang diperoleh orang-orang yang bershalawat, baiklah kita perhatikan maksud-maksud hadis yang di bawah lni.
Bersabda Nabi Saw.

"Barangsiapa bershalawat untukku sekali, niscaya Allah bershalawat untuknya sepuluh kali." (HR. Muslim dari Abû Hurairah).


"Bahwasanya bagi Allah Tuhan semesta alam ada beberapa malaikat yang diperintah berjalan di muka bumi untuk memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka me-nyampaikan kepadaku (sabda Nabi) akan segala salam yang diucapkan oleh ummatku." (HR. Ahmad. Al-Nasâ'i dan Al-Darimî).


"Barangsiapa bershalawat untukku dipagi hari sepuluh kali dan di petang hari sepuluh kali, mendapatlah ia syafa'atku pada hari qiamat." (HR. Al-Thabrânî)


"Manusia yang paling utama terhadap diriku pada hari qiamat, ialah manusia yang paling banyak bershalawat untukku." (HR. Al-Turmudzî).

"Jibril telah datang kepadaku dan berkata: 'Tidakkah engkau ridha (merasa puas) wahai Muhammad, bahwasanya tak seorang pun dari umatmu bershalawat untukmu satu kali, kecuali aku akan bershalawat untuknya sebanyak sepuluh kali? Dan tak seorang pun dari umatmu mengucapkan salam kepadamu, kecuali aku akan meng-ucapkan salam kepadanya sebanyak sepuluh kali?! (HR. Al-Nasâ'i dan Ibn Hibban, dari Abû Thalhah).


Sabda Rasulullah Saw. yang Artinya: "Barangsiapa -ketika mendengar azan dan iqamat mengucapkan: "Allâhumma Rabba Hâdzih al-Da'wât al-Tâmmah, wa al-Shalât al-Qâ'imati, shalli 'alâ muhammadin 'abdika wa Rasûlika, wa A'tihi al-Washîlata wa al-Fadhîlata, wa al-Darâjata al-Râfi'ata, wa al-Syafâ'ata yawm al-Qiyâmati (Artinya: "Ya Allah, ya Tuhannya seruan yang sempurna ini, serta shalat yang segera didirikan ini, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad, hamba dan rasul-Mu. Dan berilah ia wasilah dan fadilah serta derajat yang amat tinggi dan (izin untuk) bersyafaat pada hari Kiamat)..., maka (bagi siapa yang mengucapkan doa tersebut) niscaya akan beroleh syafaatku kelak."

Al-Ghazali didalam kitabnya Ihyâ 'Ulûm al-Dîn menceritakan seorang dari mereka (seorang dari kalangan ulama, sufi, ahli ibadah dsb.) pernah berkata: "Sementara aku menulis (catatan tentang) beberapa hadis, aku selalu mengiringinya dengan menuliskan shalawat untuk Nabi Saw., tanpa melengkapinya dengan salam untuk beliau. Malamnya aku berjumpa dengan beliau dalam mimpi, dan beliau berkata kepadaku: 'Tidakkah sebaiknya engkau melengkapi shalawatmu untukku dalam bukumu itu?' Maka sejak itu, tak pernah aku mengucapkan shalawat kecuali melengkapinya dengan ucapan salam untuk beliau."

Diriwayatkan dari Abû Al-Hasan, katanya: "Aku pernah berjumpa dengan Nabi Saw. dalam mimpi, lalu kukatakan kepada beliau: 'Ya Rasulullah, apa kiranya ganjaran bagi Al-Syâfi'i, ketika ia bershalawat untukmu dalam kitabnya: Al-Risâlah dengan ungkapan: 'Semoga Allah bershalawat atas Muhammad setiap kali ia disebut oleh para penyebut, dan setiap kali sebutan tentangnya dilalaikan oleh para pelalai?' Maka Nabi Saw. menjawab: 'Karena ucapannya itu, ia dibebaskan dari keharusan menghadapi perhitungan (hisab pada hari Kiamat).'"
Dalam kitab yang sama (Ihya) Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa sesungguhnya berlipatganda-nya pahala shalawat atas Nabi Saw. adalah karena shalawat itu bukan hanya mengandung satu kebaikan saja, melainkan mengandung banyak kebaikan, sebab di dalamnya ter-cakup :
1. Pembaharuan iman kepada Allah.
2. Pembaharuan iman kepada Rasul.
3. Pengagungan terhadap Rasul.
4. Dengan inayah Allah, memohon kemuliaan baginya.
5. Pembaharuan iman kepada Hari Akhir dan berbagai kemuliaan.
6. Dzikrullah.
7. Menyebut orang-orang yang shalih.
8. Menampakkan kasih sayang kepada mereka.
9. Bersungguh-sungguh dan tadharru' dalam berdoa.
10. Pengakuan bahwa seluruh urusan itu berada dalam kekuasaan Allah
Masih banyak keutamaan-keutamaan bagi orang-orang yang melakukan atau membaca shalawat atas Nabi. Namun penyusun hanya menukil beberapa hadis dan qawl (perkataan) ulama.
Adapun faedah atau manfaat bershalawat atas Nabi Muhammad Saw. sebagaimana dijelaskan hadis-hadis di atas terdapat sembilan belas perkara, yakni:
1. Memperoleh curahan rahmat dan kebajikan dari pada Allah Swt.;
2. Menghasilkan kebaikan, meninggikan derajat dan menghapuskan kejahatan;
3. Memperoleh pengakuan kesempurnaan iman, apabila kita membacanya 100 Kali;
4. Menjauhkan kerugian, penyesalan dan digolongkan ke dalam golongan orang-orang yang shalih;
5. Mendekatkan diri kepada Allah;
6. Memperoleh pahala seperti pahala memerdekakan budak;
7. Menghasilkan syafa'at;
8. Memperoleh penyertaan dari Malaikat rahmah;
9. Memperoleh hubungan yang rapat dengan Nabi; Seseorang yang bershashalawat dan bersalam kepada Nabi, shalawat dan salamnya itu disampaikan kepada Nabi;
10. Membuka kesempatan berbicara dengan Nabi Saw.;
11. Menghilangkan kesusahan, kegundahan dan meluaskan rezeki;
12. Melapangkan dada. Apabila seseorang membaca shalawat 100 kali, maka Allah akan melapangkan dadanya dan memberikan penerangan yang sinar seminarnya ke dalam hatinya;
13. Menghapuskan dosa. Apabila seseorang membaca dengan tetap tiga kali setiap hari, maka Allah akan menghapuskan dosanya;
14. Menggantikan shadaqah bagi orang yang tidak sanggup bershadaqah;
15. Melipatgandakan pahala yang diperoleh. Apabila seseorang bershalawat di hari Jumat, maka Tuhan akan memberikan kepadanya pahala yang berlipat ganda;
16. Mendekatkan kedudukan kepada Rasulullah di hari qiamat. Menyebabkan doa bisa diterima oleh Allah.
17. Menyebabkan doa bisa diterima oleh Allah;
18. Melepaskan diri dari kebingungan di hari qiamat. Apabila seseorang meninggalkan shalawat kepada Nabi, maka ia akan menghadapi kebingungan dan kekacauan di hari mahsyar;
Memenuhi satu hak Nabi, atau menunaikan suatu tugas ibadat yang diwajibkan atas kita Apabila sese-orang tidak bershalawat, berartilah ia enggan memenuhi suatu haq Nabi yang wajib ia penuhi.

Wednesday, July 21, 2010

50 MP3 Sholawat Habib Hasan Assegaf (MAJELIS NURUL MUSTHOFA)

kUMPULAN sholawat dari majelis nurul musthofa ini sangat menarik sekali dengan di asuh oleh seorang Habib. Beliau adalah Al Habib Hasan Assegaff. Majelis Sholawat ini berada di Jakarta ibu kota negara indonesia. Alhamdulillah Koleksi MP3 Sholawat ini kami genapi 50 jenis. Mudah-mudahan kami mampu mengumpulkan 50 MP3 sholawat lagi untuk Part ke 2nya.
Berikut ini Daftar lagu dan Link Download Gratisnya :
01. Habib Hasan - Ya Sayyidi Ya Rasulullah.mp3
02. Habib Hasan - Aqidatul Awam (Live).mp3
03. Habib Hasan - Farobbunal Maulah.mp3
04. Habib Hasan - Shalawat Majelis Old.mp3
05. Habib Hasan - Shalawat Majelis New.mp3
06. Habib Hasan - Majlis Nurul Musthofa (Live).mp3
07. Habib Hasan - Ya Robbama (Live).mp3
08. Habib Hasan - Ya Habibana.mp3
09. Habib Hasan - Ya Habibirrosul.mp3
10. Habib Hasan - Ya habibirosul (Live).MP3
11. Habib Hasan - Shalatullah Salamullah.mp3
12. Habib Hasan - Qul Ya Adzim (Live).mp3
13. Habib Hasan - Robbi Sholli Da'iman.mp3
14. Habib Hasan - Robbi Sholi Daiman (Live).mp3
15. Habib Hasan - Yaa Sayyidi (Live).mp3
16. Habib Hasan - Habibullah.mp3
17. Habib Hasan - Farobbunal Maula.mp3
18. Habib Hasan - Allah Allah Khaliquna.mp3
19. Habib Hasan - mahalul Qiyam - Asraqal.mp3
20. Habib hasan - Marhaban Ya ramadhan (Live).mp3
21. Habib Hasan - Allahuma Sholli (Live).mp3
22. Habib Hasan - Sholatullah (Live).mp3
23. Habib Hasan - Sholatullah 'Alaa Thohal Yamani.mp3
24. Habib Hasan - Sholawatullah Taghsya.mp3
25. Habib Hasan - Muhammadun AsyrofuN.mp3
26. Habib Hasan - Majlis Nurul Musthofa 2.mp3
27. Habib Hasan - Yabadrotim (Live).MP3
28. Habib Hasan - Yaa Thoybah (Live).mp3
29. Habib Hasan - Allahu Allah (Live).mp3
30. Habib Hasan - Ya Habibana Abdurrahman Seggaf.mp3
31. Habib Hasan - Waktusyahr (Live).mp3
32. Habib Hasan - Huwannur.mp3
33. Habib hasan - Ya Robbana.MP3
34. Habib Hasan - Ya robbi (Rowi).mp3
35. Habib Hasan - Sholatullah (Rowi).mp3
36. Habib Hasan - Fiquraidoh (Rowi).mp3
37. Habib Hasan - Syairilla Yaa ramadhan(Live).mp3
38. Habib Hasan - Ya Rasulullah Nurul Jamil.mp3
39. Habib Hasan - Hadrah (Rowi).mp3
40. Habib Hasan - Robbi Fajalna (Live).mp3
41. Habib Hasan - Ya Habibana Anis (Live).MP3
42. Habib Hasan - Ya Habiibi Ya Muhammad.mp3
43. Habib Hasan - Sayyidil Faqqihil Muqaddam.mp3
44. Habib Hasan - Alfa sholallah.mp3
45. Habib Hasan - Sholatulloh nurul musthofa.mp3
46. Habib Hasan - Ya Robbama (Live 2).MP3
47. Habib Hasan - Ya Robbama 2 (Live 3).MP3
48. Habib Hasan - Ya Rosululloh (Live).MP3
49. Habib Hasan - Allah Allah.mp3
50. Muqodimah Habib Hasan - abdullah Nurul musthofa.mp3

Sumber : nuryahman.blogspot.com

Kitab Kimyatusy- Sya'adah - Imam Al-Ghazali (3)

MENGENAL ALLOH SWT

Satu Hadis Nabi Muhammad SAW. yang masyhur ialah;
"Siapa yang mengenal dirinya, mengenal ia akan TuhanNya"
Ini berarti dengan mematuhi dan memikirkan tentang dirinya dan sifat-sifatnya, manusia itu bisa sampai mengenal Alloh. Tetapi oleh karena banyak juga orang yang memikirkan tentang dirinya tetapi tidak dapat mengenal Tuhan, maka tentulah ada cara-caranya yang khusus bagi mengenal ini.
Sebenarnya ada dua cara untuk mencapai pengetahuan atau pengenalan ini. Salah satunya sangat sulit dan sukar difahami oleh orang-orang biasa, maka cara yang ini tidak usahlah kita terangkan di sini. Yang satu cara lagi adalah seperti berikut:
Apabila seseorang memikirkan dirinya, dia tahu bahwa ada suatu ketika ia tidak berwujud, seperti tersebut dalam Al-Quran:
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu sesuatu yang dapat disebut?” (Al Insan:1)

Selanjutnya ia juga tahu bahwa ia dijadikan diri setitik air yang tidak ada akal, pendengar, penglihatan, kepala, tangan, kaki dan sebagainya, dari sini teranglah bahwa walau bagaimanapun seseorang itu mencapai taraf kesempurnaan, tidaklah dapat ia membuat dirinya sendiri meeskipun hanya sehelai rambut.

Kemudian pula jika ia setitik air, alangkah lemahnya ia? Demikianlah seperti yang kita lihat di bab pertama dulu, didapatinya dalam dirinya kekuasaan, kebijaksanaan dan kecintaannya terhadap Alloh terbayang dalam bentuk yang kecil. Jika semua manusia dalam dunia ini berkumpul dan mereka tidak mati, niscaya mereka tidak dapat mengubah dan memperbaiki bentuk walau satu bagian dari tubuhnya itu.
Misalnya, dalam penggunaan gigi depan dan gigi samping untuk menghancurkan makanan, penggunaan lidah, air liur, tengkuk, kerongkong, kita dapatinya penciptaan itu tidak dapat diperbaiki lagi. Begitu juga, fikirkan pula tangan dan jari kita. Jari ada lima dan tidak pula sama panjang, empat daripada jari itu mempunyai tiga persendian, dan ibu jari hanya ada dua persendian, dan lihat pula bagaimana ia bisa digunakan untuk memegang, mencincang, memukul dan sebagainya. Jelas sekali manusia tidak akan dapat berbuat demikian, meski hendak menambah atau mengurangkan jumlah jari itu dan susunannya .

Lihat pula makanan, tempat tinggal kita dan sebagainya. Semuanya cukup dikurniakan oleh Alloh yang maha kaya. Tahulah kita bahwa rahmat atau Kasih Sayang Alloh itu sama dengan Kekuasaan dan Kebijaksanaan-Nya, seperti firman Alloh Subhanahuwa Taala.
"RahmatKu itu lebih besar dari kemurkaanKu"
Dan sabda Nabi SAW:
"Alloh itu sayang kepada hamba-hambanya lebih dari sayang ibu kepada anaknya"
Demikianlah, dari makhluk yang dijadikanNya, manusia bisa tahu tentang wujud Alloh, dari keajaiban tubuhnya, ia dapat tahu tentang Kekuasaan dan Kebijaksanaanya Alloh; dan dari kurnia rezeki Tuhan yang tidak terbatas itu, nampaklah Cinta Alloh kepada hambaNya.
Dengan cara ini, mengenal diri sendiri itu menjadi anak kunci kepada pintu untuk mengenal Alloh Subhanawa Taala.

Sifat-sifat manusia itu adalah bayangan Sifat-sifat Alloh. Begitu juga cara wujud ruh manusia itu memberi kita sedikit pandangan tentang wujud Alloh, yaitu Alloh dan ruh itu tidak kelihatan, tidak bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan, tidak tunduk kepada ruang dan waktu, diluar kemampuan kuantitas (jumlah) dan kualitas, dan tidak bisa diperikan dengan bentuk, warna atau ukuran. Orang merasa sulit hendak membentuk satu konsep berkenaan hakikat-hakikat ini karena ia tidak termasuk dalam bidang kualitas dan kuantitas, dan sebagainya, tetapi coba perhatikan betapa susah dan payahnya memberi konsep tentang perasaan kita sehari-hari seperti marah, suka, cinta dan sebagainya.

Semua itu adalah konsep pikiran atau tanggapan khayalan, dan tidak dapat dikenali oleh indera. kualiti, kuantiti dan sebagainya dan itu adalah konsep indera (tanggapan pancaindera). Sebagaimana telinga kita tidak dapat megenal warna, dan mata kita tidak dapat mengenal bunyi, maka begitu jugalah mengenal Ruh dan Alloh itu bukanlah dengan inderanya.
Alloh itu adalah Pemerintah alam semesta raya ini. Dia tidak tunduk kepada ruang dan waktu, kuantiti dan kualiti, dan menguasai segala makhluknya. Begitu juga ruh itu memerintah tubuh dan anggotanya. Ia tidak bisa dilihat, tidak bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan dan tidak tunduk kepada tempat tertentu.
Karena bagaimana mungkin sesuatu yang tidak bisa dibagi-bagikan itu diletakan ke dalam sesuatu yang bisa dibagi atau dipecah?
Dari keterangan yang kita baca diatas itu, dapatilah kita lihat bagaimana benarnya sabda Nabi SAW.:

" Alloh jadikan manusia menurut rupanya".
Setelah kita mengenal Zat dan Sifat Alloh hasil dari bertafakur kita tentang zat dan sifat Ruh, maka sampailah pengenalan kita kepada cara-cara kerja dan pemerintahan Alloh Taala dan bagaimana ia mewakilkan kuasa-kuasaNya kepada malaikat-malaikat, dan lain-lain.
Dengan cara bertafakur tentang bagaimana diri kita memerintah alam kecil kita sendiri.
Kita ambil satu contoh:
Katakanlah seorang manusia hendak menulis nama Alloh. Mula-mulanya kehendak atau keinginan itu terkandung dalam hatinya. Kemudian dibawa ke otak oleh daya ruhani. Maka bentuk perkataan "Alloh" itu terdapat dalam khayalan atau pikiran otak itu. Selepas itu ia mengembara melalui saluran urat saraf, lalu menggerakkan jari dan jari itu mengerakkan pena. Maka tertulislah nama "Alloh" atas kertas, serupa seperti yang ada didalam otak penulis itu.
Begitu juga apabila Alloh Subahanahuwa Taala hendak menjadikan sesuatu hal, Ia mula-mulanya nampak dalam peringkat keruhanian yang disebut didalam Quran sebagai "Al-'Arasy". Dari situ ia turun dengan urusan Keruhanian ke peringkat yang di bawahnya yang digelar "Al-Kursi". Kemudian bentuknya nampak dalam "Al-Luh Al-Mahfuz". Dari situ dengan perantaraaan tenaga-tenaga "Malaikat" terbentuklah hal itu dan kelihatanlah di atas bumi ini dalam bentuk tumbuh-tumbuhan, pokok-pokok dan binatang, yang mewakilkan atau menggambarkan Iradat dan Ilmu Alloh.


Sebagaimana juga huruf-huruf yang tertulis, yang menggambarkan keinginan dan kemauan yang terbit dan terkandung dalam hati, dan bentuk itu dalam dalam otak penulis tadi.
Tidak ada orang yang tahu Hal Raja melainkan Raja itu sendiri. Alloh telah memberi kita Raja dalam bentuk yang kecil yang memerintah kerajaan yang kecil. Dan ini adalah satu salinan kecil Diri (Zat)Nya dan KerajaanNya. Dalam kerajaan kecil pada manusia itu, Arash itu ialah Ruhnya; ketua segala Malaikat itu ialah hatinya, Kursi itu otaknya, Luh Mahfuz itu ruang khazanah khayalan atau pikirannya. Ruh itu tidak bertempat dan tidak bisa dibagikan dan ia memerintah tubuhnya sebagaimana Alloh memerintah Alam Semester Raya ini. Pendeknya, tiap-tiap orang manusia itu diamanahkan dengan satu kerajaan kecil dan diperintahkan supaya jangan lengah dan lalai mengatur kerajaan itu.

Berkenaan dengan mengenal ciptaan Alloh Subhanahuwa Taala, ada banyak derajat pengetahuan. Ahli Ilmu Alam yang biasa adalah ibarat semut yang merangkak atas sekeping kertas dan memperhatikan huruf-huruf hitam terbentang di atas kertas itu dan merujukkan sebab kepada pena atau qalam itu saja.

Ahli Ilmu Falak adalah ibarat semut yang luas sedikit pandangannya dan nampak jari-jari tangan yang menggerakkan pena itu, yaitu ia tahu bahwa unsur-unsur itu adalah daya bintang-bintang, tetapi dia tidak tahu bahwa bintang itu adalah di bawah kuasa Malaikat.
Oleh karena berbeda-bedanya derajat pandangan manusia itu, maka tentulah timbul perbedaan hasil atau kesan. Mereka yang tidak memandang lebih jauh dari fenomena alam nyata ini adalah ibarat orang yang mengganggap hamba abdi yang paling rendah itu sebagai raja.
Walau bagaimanapun, adalah salah besar menganggap hamba itu tuannya.
Karena ada perbedaan ini, maka pertengkaran akan terus terjadi. Ini adalah ibarat orang buta yang hendak mengenal gajah. Seseorang memegang kaki gajah itu lalu dikatakannya gajah itu seperti tiang. Seorang lain memegang gadingnya lalu katanya gajah itu seperti kayu bulat yang keras. Seorang lagi memegang telinganya lalu katanya gajah itu macam kipas.
Tiap-tiap seorang mengganggap bagian-bagian itu sebagai keseluruhan. Dengan itu, ahli ilmu alam dan ahli ilmu Falak menyanggah hukum-hukum yang mereka dapat dari ahli-ahli hukum. Kesalahan dan sangkaan seperti itu terjadi juga kepada Nabi Ibrahim seperti yang tersebut dalam Al-Quran, Nabi Ibrahim menghadap kepada bintang, bulan dan matahari untuk disembah. Lama kelamaan beliau sadar siapa yang menjadikan semua-benda-benda itu, lalu bisa berkata,

"Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
Kita selalu mendengar orang merujuk kepada sebab yang kedua bukan kepada sebab yang pertama dalam hal apa yang digelar sakit. Misalnya; jika seseorang itu tidak lagi cenderung kepada keduniaan, segala keindahan tidak lagi dipedulikannya, dan tidak peduli apa pun, maka dokter mengatakan, "Ini adalah penyakit gundah gulana, dan ia perlu obat ini A"
Ahli fisika akan berkata "Ini adalah kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak dapat dilegakan kecuali udara menjadi lembab."
Ahli nujum akan mengatakan bahwa itu adalah pengaruh bintang-bintang.
"Hanya itulah kebijaksanaanya mereka" Kata Al-Quran, tidaklah mereka tahu bahwa sebenarnya apa yang terjadi ialah: Alloh Subahana Wataala memberi kebajikan orang yang sakit itu dan dengan itu memerintahkan hamba-hambanya seperti bintang-bintang atau unsur-unsur, mengeluarkan keadaan seperti itu kepada orang itu agar ia berpaling dari dunia ini mengadap kepada Tuhan yang menjadikannya.
Pengetahuan tentang hakikat ini adalah sebuah mutiara yang amat bernilai dari lautan ilmu yang berupa Ilham; dan ilmu-ilmu yang lain itu jika dibandingkan dengan Ilmu Ilham ini adalah ibarat pulau-pulau dalam lautan Ilmu Ilham itu.
Dokter, Ahli Fisika dan Ahli Nujum itu memang betul dalam bidang ilmu mereka masing-masing. Tetapi mereka tidak tahu bahwa penyakit itu bisa dikatakan sebagai "Tali Cinta" , yang dengan tali itu Alloh menarik AuliaNya kepadaNya. Berkenaan ini Alloh ada berfirman yang bermaksud;
"Aku sakit tetapi engkau tidak melawat Aku".
Sakit itu sendiri adalah satu bentuk pengalaman yang dengannya manusia itu bisa mencapai pengetahuan tentang Alloh sebagaimana firman Alloh melalui mulut Rasul-rasulNya,
"Sakit itu sendiri adalah hambaKu dan disertakan kepada orang-orang pilihanKu".
Dengan ulasan-ulasan yang terdahulu, dapatlah kita meninjau lebih mendalam lagi maksud kata-kata yang selalu diucapkan oleh orang-orang yang beriman yaitu,

"Maha Suci Alloh" (SubhanAlloh)
"Puji-pujian Bagi Alloh (Alhamdulillah)
"Tiada Tuhan Melainkan Alloh (La ilaha illAlloh)
"Alloh Maha Besar" (Allohu Akbar).
Berkenaan dengan "Allohu Akbar" itu bukanlah bermaksud Alloh itu lebih besar (secara fisik) dari makhluk, karena makhluk itu adalah penampakan-Nya sebagaimana cahaya memperlihatkan matahari. Tidaklah bisa dikatakan matahari itu lebih besar daripada cahayanya. Ia bermaksud yaitu Kebesaran Alloh itu tidak dapat diukur dan melampaui jangkauan kesadaran, dan kita hanya bisa membentuk gambaran yang tidak sempurna dan tidak nyata berkenaanNya.

Jika seorang anak-anak bertanya kepada kita untuk menerangkan enaknya mendapat pangkat yang tinggi, kita hanya dapat mengatakan seperti perasaan anak-anak itu tatkala sedang bermain bola, meskipun pada hakikat kedua-dua itu tidak ada persamaan langsung, kecuali hanya kedua-dua hal itu termasuk dalam jenis kesenangan.
Oleh yang demikian, kata-kata "Allohu Akbar" itu berarti Kebesaran itu melampaui semua kuasa pengenalan dan pengetahuan kita. Tidak sempurna pengenalan kita berkenaan Alloh itu, bukan dengan pikiran saja tetapi adalah disertai oleh ibadat dan pengabadian kita.
Apabila seorang itu mati, maka ia berhubungan dengan Alloh saja. Jika kita hidup dengan orang lain, kebahagiaan kita bergantung kepada derajat kemesraan kita terhadap orang itu.
Cinta itu adalah benih kebahagiaan, dan Cinta kepada Alloh itu dituju dan dibangun melalui ibadat.

Ibadat dan sentiasa mengenang Alloh itu memerlukan kita supaya bersikap sederhana dan mengekang kehendak-kehendak tubuh. Ini bukanlah berarti semua kehendak tubuh itu dihapuskan; karena itu akan menyebabkan punahnya manusia. Apa yang diperlukan ialah membatasi kehendak-kehendak tubuh itu. Oleh karena seseorang itu bukanlah Hakim yang paling bijak untuk mengadili dirinya sendiri tentang batas itu, maka ia lebih baik merundingi pemimpin-pemimpin keruhanian dalam hal ini, dan hukum-hukum yang mereka bawa melalui Wahyu Ilahi menentukan batas yang harus diperhatikan dalam hal ini.

…., Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang lalim. (Al-Baqarah; 229).
Walaupun Al-Qur'an telah memberi keterangan yang nyata, masih ada juga orang yang melanggar batas karena kejahilan mereka tentang Alloh dan kejahilan ini adalah karena beberapa sebab,
Pertama, ada golongan manusia yang terus mencari Alloh melalui pikiran, lalu mereka membuat kesimpulan dengan mengatakan tidak ada Tuhan dan alam ini terjadi dengan sendirinya atau wujudnya tanpa permulaan. Mereka ini seperti orang yang melihat surat yang tertulis dengan indahnya, dan mereka mengatakan surat itu sedia tertulis tanpa penulis atau ada begitu saja.Orang yang seperti ini telah jauh tersesat dan tidak berguna berhujah dan bertengkar dengan mereka. Setengah daripada orang-orang seperti ini adalah Ahli Fizika dan Ahli Bintang yang telah kita sebutkan di atas tadi.

Kedua, orang karena kejahilan tentang keadaan sebenarnya Ruh itu. Mereka menyangkal adanya hidup di Akhirat dan menyangkal manusia itu diadili di sana . Mereka anggap diri mereka itu satu taraf dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan dan akan hancur begitu saja.

Ketiga, orang yang percaya dengan Alloh dan Hari Akhirat, tetapi kepercayaan atau Iman mereka itu sangat lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri,
Pikiran mereka ini seperti orang sakit yang disuruh makan obat, tetapi ia berkata,
"Apa untung atau ruginya dokter itu jika aku makan obat atau tidak makan obat?" .
Memang tidak terjadi apa-apa kepada dokter itu tetapi orang itulah yang akan bertambah sakit karena bodohnya. Tubuh yang sakit berakhir dengan mati. Maka Ruh atau Jiwa yang sakit berakhir dengan kesusahan dan siksaan di akhirat nanti, seperti firman Alloh Taala dalam Al-Qur'an yang bermaksud :

"Hanya Dan barang siapa kafir maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (Luqman-23)

Keempat, ialah mereka yang berkata;
"Hukum Syariat menyuruh kita jangan marah, jangan menurut nafsu, jangan bersikap munafik. Ini tidak mungkin karena sifat-sifat ini memang telah ada semula jadi pada kita. Lebih baik tuan suruh saya membuat yang hitam itu jadi putih".
Mereka ini sebenarnya bodoh. Mereka jahil dengan hukum Syariat. Hukum Syariat tidak menyuruh manusia membuang sama sekali perasaan itu, tetapi hendaklah dikendalikan supaya tidak melanggar batas yang dibenarkan. Supaya terhindar dari dosa besar, dan kita bisa memohon keampunan terhadap dosa-dosa kita yang kecil. Sedangkan Rasulullah ada bersabda,
"Saya ini manusia juga seperti kamu, dan marah juga seperti orang lain".
Firman Alloh dalam Al-Qur'an:

Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Al-Imran:146)
Ini berarti bukan mereka yang tidak ada perasaan marah.

Kelima, ialah mereka yang menekankan Kemurahan Tuhan saja tetapi menepikan KeadilanNya, lalu mereka berkata kepada diri mereka sendiri,
"Kami buat apa saja karena Alloh itu Maha Pemurah dan Maha Penyayang".
Mereka tidak ingat meskipun Alloh itu Pengasih dan Penyayang, namun beribu-ribu manusia mati kelaparan dan karena penyakit. Meraka tahu, barang siapa hendak hidup atau hendak kaya, atau hendak belajar, mestilah jangan hanya berkata, "Alloh itu Kasih Sayang". tetapi perlulah ia berusaha sungguh-sungguh. Meskipun ada firman Alloh dalam Al-Qur'an :

Dan tidak ada suatu mahluk pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam mahluk itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz). (Hud:06)
tetapi hendaklah juga ingat Alloh juga berfirman :

Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha. (Furqon:47)
Sebenarnya mereka yang berpendapat di atas itu adalah dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka berkata di mulut saja, bukan di hati.

Keenam, pula menganggap mereka telah sampai ke taraf kesucian dan tidak berdosa lagi. Tetapi kalau anda layani mereka dengan kasar dan tidak hormat, anda akan dengar mereka marah dan bertahun-tahun mencela anda. Dan jika anda ambil makanan sesuap saja yang patut, seluruh alam ini kelihatan gelap dan sempit pada perasaan mereka. Kalau pun mereka itu telah dapat menakluki hawa nafsu mereka, mereka tidak berhak menganggap dan mengatakan diri mereka itu tidak berdosa lagi, karena Nabi Muhammad SAW. sendiri, manusia yang paling tinggi darajatnya, sentiasa mengaku salah dan memohon ampun kepada Alloh. Setengah daripada Rasul-rasul itu sangat takut berbuat dosa sehingga pada hal- hal yang halal pun mereka menghidarkan diri .
Diriwayatkan, suatu hari Nabi Muhammad SAW. telah diberi sebiji Tamar. Beliau enggan memakannya kerena beliau tidak pasti Tamar itu didapati secara halal atau tidak. Tetapi mereka menelan arak berbotol-botol banyaknya dan berkata mereka lebih mulia daripada Nabi. (Saya gemetar semasa menulis ini) . Pada hal sebutir Tamar pun tidak disentuh oleh Nabi jika belum pasti sama ada halal atau tidak. Sesungguhnya mereka telah diseret dan disesatkan oleh Iblis.
Aulia Alloh yang sebenarnya mengetahui bahwa orang yang tidak menundukkan hawa nafsunya tidak patut dipanggil "orang" dan orang Islam yang sebenarnya ialah mereka yang dengan rela hati, tidak mahu melanggar Syariat.
Mereka yang melanggar Syariat adalah sebenarnya dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka ini sepatutnya bukan dinasihati dengan pena, tetapi adalah sewajarnya dengan pedang.
Sufi-sufi yang palsu ini kadang-kadang berpura-pura tenggelam dalam lautan keheranan atau tidak sadar, tetapi jika anda tanya mereka apakah yang mereka heirankan itu, mereka tidak tahu. Sepatutnya mereka disuruh menungkan keheranan sebanyak-banyak yang mereka suka, tetapi di samping itu hendaklah ingat bahwa Alloh Subhanahuwa Taala itu adalah Pencipta mereka dan mereka itu adalah hamba Alloh saja

Kitab Sirrul Assrar-Syeikh Abdul Qadir Jailani (3)

4.MANUSIA KEMBALI KE KAMPUNG HALAMAN, KEPADA ASAL USUL / PERMULAAN MEREKA

Manusia dipandang daripada dua sudut; wujud lahiriah dan wujud rohani. Dalam segi kewujudan lahiriah keadaan kebanyakan manusia adalah berlebih kurang saja di antara satu sama lain. Oleh yang demikian peraturan kemanusiaan yang umum boleh digunakan untuk sekalian manusia bagi urusan lahiriah mereka. Dalam sudut kewujudan rohani yang tersembunyi di sebalik wujud lahiriah, setiap manusia adalah berbeda. Jadi, peraturan yang khusus mengenai diri masing-masing diperlukan.

Manusia boleh kembali kepada asalnya dengan mengikuti peraturan umum, dengan mengambil langkah-langkah tertentu. Dia mestilah mengambil peraturan agama yang jelas dan mematuhinya. Dengan demikian dia boleh maju ke hadapan. Dia boleh meningkat dari satu peringkat kepada peringkat yang lebih tinggi sehingga dia sampai dan memasuki jalan atau peringkat kerohanian, masuk ke daerah makrifat. Peringkat ini sangat tinggi dan dipuji oleh Rasulullah s.a.w, “ Ada suasana yang semua dan segala-galanya berkumpul di sana dan ia adalah makrifat yang murni”.

Untuk sampai ke peringkat tersebut Perlulah dibuang kepura-puraan dan kepalsuan yang melakukan kebaikan kerana menunjuk-nunjuk. Kemudian dia perlu menetapkan tiga matlamat. Tiga matlamat tersebut sebenarnya adalah tiga jenis syurga.


Yang pertama dinamakan Ma'wa – syurga tempat kediaman yang aman. Ia adalah syurga duniawi. Kedua, Na'im – taman keredaan Allah dan kurniaan-Nya kepada makhluk-Nya.
Ia adalah syurga di dalam alam malaikat. Ketiga dinamakan Firdaus – syurga alam tinggi. Ia adalah syurga pada alam kesatuan akal asbab, rumah kediaman bagi roh-roh, medan bagi nama-nama dan sifat-sifat. Kesemua ini adalah balasan yang baik, keelokan Allah yang manusia berjasad akan nikmati dalam usahanya sepanjang tiga peringkat ilmu pengetahuan yang berturut-turut; usaha mematuhi peraturan syariat; usaha menghapuskan yang berbilang-bilang pada dirinya, melawan penyebab yang menimbulkan suasana berbilang-bilang itu, iaitu ego diri sendiri, bagi mencapai peringkat penyatuan dan kehampiran dengan Pencipta; akhirnya usaha untuk mencapai makrifat, di mana dia mengenali Tuhannya. Peringkat pertama dinamakan syariat, kedua tarekat dan ketiga makrifat.

Nabi Muhammad s.a.w menyimpulkan keadaan-keadaan tersebut dengan sabda baginda s.a.w, “ Ada suasana di mana semua dan segala-galanya dikumpulkan dan ia adalah hikmah kebijaksanaan (makrifat)”. Baginda s.a.w juga bersabda, “Dengannya seseorang mengetahui kebenaran (hakikat), yang berkumpul di dalamnya sebab-sebab dan semua kebaikan. Kemudian seseorang itu mesti bertindak atas kebenaran (hakikat) tersebut. Dia juga perlu mengenali kepalsuan dan bertindak ke atasnya dengan meninggalkan segala yang demikian”. Baginda s.a.w mendoakan, “Ya Allah, tunjukkan kepada kami yang benar dan jadikan pilihan kami mengikuti yang benar itu. Dan juga tunjukkan kepada kami yang tidak benar dan permudahkan kami meninggalkannya”. Orang yang kenal dirinya dan menentang keinginannya yang salah dengan segala kekuatannya akan sampai kepada mengenali Tuhannya dan akan menjadi taat kepada kehendak-Nya.

Semua ini adalah peraturan umum yang mengenai diri zahir manusia. Kemudian ada pula aspek diri rohani atau diri batin manusia yang merupakan insan yang tulen, suci bersih dan murni. Maksud dan tujuan diri ini hanya satu iaitu kehampiran secara keseluruhan kepada Allah s.w.t. Satu cara sahaja untuk mencapai suasana yang demikian, iaitu pengetahuan tentang yang sebenarnya (hakikat). Di dalam daerah wujud penyatuan mutlak, pengetahuan ini dinamakan kesatuan atau keesaan.

Matlamat pada jalan tersebut harus diperolehi di dalam kehidupan ini. Di dalam suasana itu tiada beza di antara tidur dengan jaga kerana di dalam tidur roh berkesempatan membebaskan dirinya untuk kembali kepada asalnya, alam arwah, dan dari sana kembali semula ke sini dengan membawa berita-berita dari alam ghaib. Fenomena ini dinamakan mimpi. Dalam keadaan mimpi ia berlaku secara sebahagian-bahagian. Ia juga boleh berlaku secara menyeluruh seperti israk dan mikraj Rasulullah s.a.w. Allah berfirman: “Allah memegang jiwa-jiwa ketika matinya dan yang tidak mati, dalam tidurnya, lalu Dia tahan yang dihukumkan mati atasnya dan Dia lepaskan yang lain”. (Surah Zumaar, ayat 42).

Nabi s.a.w bersabda, “Tidur orang alim lebih baik daripada ibadat orang jahil” . Orang alim adalah orang yang telah memperolehi pengetahuan tentang hakikat atau yang sebenar, yang tidak berhuruf, tidak bersuara. Pengetahuan demikian diperolehi dengan terus menerus berzikir nama keesaan Yang Maha Suci dengan lidah rahsia. Orang alim adalah orang yang zat dirinya ditukarkan kepada cahaya suci oleh cahaya keesaan. Allah berfirman melalui rasul-Nya: “Insan adalah rahsia-Ku dan Aku rahsianya. Pengetahuan batin tentang hakikat roh adalah rahsia kepada rahsia-rahsia-Ku. Aku campakkan ke dalam hati hamba-hamba-Ku yang baik-baik dan tiada siapa tahu Keadaannya melainkan Aku.”

“Aku adalah sebagaimana hamba-Ku mengenali Daku. Bila dia mencari-Ku dan ingat kepada-Ku, Aku besertanya. Jika dia mencari-Ku di dalam, Aku mendapatkannya dengan Zat-Ku. Jika dia ingat dan menyebut-Ku di dalam jemaah yang baik, Aku ingat dan menyebutnya di dalam jemaah yang lebih baik”.
Segala yang dikatakan di sini jika berhasrat mencapainya perlulah melakukan tafakur – cara mendapatkaan pengetahuan yang demikian jarang digunakan oleh orang ramai. Nabi s.a.w bersabda, “Satu saat bertafakur lebih bernilai daripada satu tahun beribadat”. “Satu saat bertafakur lebih bernilai daripada tujuh puluh tahun beribadat”. “Satu saat bertafakur lebih bernilai daripada seribu tahun beribadat”.
Nilai sesuatu amalan itu tersembunyi di dalam hakikat kepada yang sebenarnya. Perbuatan bertafakur di sini nampaknya mempunyai nilai yang berbeda.

Sesiapa merenungi sesuatu perkara dan mencari penyebabnya dia akan mendapati setiap bahagian mempunyai bahagian-bahagian sendiri dan dia juga mendapati setiap satu itu menjadi penyebab kepada berbagai-bagai perkara lain. Renungan begini bernilai satu tahun ibadat.
Sesiapa merenungi kepada pengabdiannya dan mencari penyebab dan alasan dan dia dapat mengetahui yang demikian, renungannya bernilai lebih daripada tujuh puluh tahun ibadat.
Sesiapa merenungkan hikmah kebijaksanaan Ilahi dan bidang makrifat dengan segala kesungguhannya untuk mengenal Allah Yang Maha Tinggi, renungannya bernilai lebih daripada seribu tahun ibadat kerana ini adalah ilmu pengetahuan yang sebenarnya.

Pengetahuan yang sebenarnya adalah suasana keesaan. Orang arif yang menyintai menyatu dengan yang dicintainya. Daripada alam kebendaan terbang dengan sayap kerohanian meninggi hingga kepada puncak pencapaian. Bagi ahli ibadat berjalan di dalam syurga, sementara orang arif terbang kepada kedudukan berhampiran dengan Tuhannya. Para pencinta mempunyai mata pada hati mereka mereka memandang sementara yang lain terpejam sayap yang mereka miliki tanpa daging tanpa darah mereka terbang ke arah malaikat Tuhan jualah yang dicari!

Penerbangan ini terjadi di dalam alam kerohanian orang arif. Para arifbillah mendapat penghormatan dipanggil insan sejati, menjadi kekasih Allah, sahabat-Nya yang akrab, pengantin-Nya. Bayazid al-Bustami berkata, “Para Pemegang makrifat adalah pengantin Allah Yang Maha Tinggi”.

Hanya pemilik-pemilik ‘pengantin yang pengasih' mengenali mereka dengan dekat dan secara mesra.. Orang-orang arif yang menjadi sahabat akrab Allah, walaupun sangat cantik, tetapi ditutupi oleh keadaan luaran yang sangat sederhana, seperti manusia biasa. Allah berfirman melalui rasul-Nya: “ Para sahabat-Ku tersembunyi di bawah kubah-Ku. Tiada yang mengenali mereka kecuali Aku”.

Kubah yang di bawahnya Allah sembunyikan sahabat-sahabat akrab-Nya adalah keadaan mereka yang tidak terkenal, rupa yang biasa sahaja, sederhana dalam segala hal. Bila melihat kepada pengantin yang ditutupi oleh tabir perkahwinan, apakah yang dapat dilihat kecuali tabir itu?

Yahya bin Muadh al-Razi berkata, “ Para kekasih Allah adalah air wangi Allah di dalam dunia. Tetapi hanya orang-orang yang beriman yang benar dan jujur sahaja dapat menciumnya”. Mereka mencium keharuman baunya lalu mereka mengikuti bau itu. Keharuman itu mengwujudkan kerinduan terhadap Allah dalam hati mereka. Masing-masing dengan cara tersendiri mempercepatkan langkahnya, menambahkan usaha dan ketaatannya. Darjah kerinduannya, keinginannya dan kelajuan perjalanannya bergantung kepada berapa ringan beban yang dibawanya, sejauh mana dia telah melepaskan diri kebendaan dan keduniaannya. Semakin banyak seseorang itu menanggalkan pakaian dunia yang kasar ini semakin dia merasakan kehangatan. Penciptanya dan semakin hampirlah kepada permukaan akan muncul diri rohaninya. Kehampiran dengan yang sebenar (hakikat) bergantung kepada sejauh mana seseorang itu melepaskan kebendaan dan keduniaan yang menipu daya.

Penanggalan aspek yang berbilang-bilang pada diri membawa seseorang hampir dengan satu-satunya kebenaran. Orang yang akrab dengan Allah adalah orang yang telah membawa dirinya kepada keadaan kekosongan. Hanya selepas itu baharulah dia dapat melihat kewujudan yang sebenarnya (hakikat). Tidak ada lagi kehendak pada dirinya untuk dia membuat sebarang pilihan. Tiada lagi ‘aku' yang tinggal, kecuali kewujudan satu-satunya iaitu yang sebenarnya (hakikat). Walaupun berbagai-bagai kekeramatan yang muncul melalui dirinya sebagai membuktikan kedudukannya, dia tidak ada kena mengena dengan semua itu. Di dalam suasananya tidak ada pembukaan terhadap rahsia-rahsia kerana membuka rahsia Ilahi adalah kekufuran.
Di dalam buku yang bertajuk “Mirsad” ada dituliskan, ‘Semua orang yang kekeramatan zahir melalui mereka adalah ditutup daripadanya dan tidak memperdulikan keadaan tersebut. Bagi mereka masa kekeramatan muncul melalui mereka dianggap sebagai masa perempuan keluar darah haid. Wali-wali yang hampir dengan Allah perlu mengembara sekurang-kurangnya seribu peringkat, yang pertamanya ialah pintu kekeramatan. Hanya mereka yang dapat melepasi pintu ini tanpa dicederakan akan meningkat kepada peringkat-peringkat lain yang lebih tinggi. Jika mereka leka mereka tidak akan sampai ke mana-mana

5: PENURUNAN MANUSIA KE PERINGKAT RENDAH YANG PALING BAWAH

Allah Yang Maha Tinggi menciptakan roh suci sebagai ciptaan yang paling sempurna , yang pertama diciptakan, di dalam alam kewujudan mutlak bagi Zat-Nya. Kemudian Dia berkehendak menghantarkannya kepada alam rendah. Tujuan Dia berbuat demikian ialah bagi mengajar roh suci mencari jalan kembali kepada yang sebenar di tahap Maha Kuasa, mencari kedudukannya yang dahulu yang hampir dan akrab dengan Allah. Dihantarkan-Nya roh suci kepada perhentian utusan-utusan-Nya, wali-wali-Nya, kekasih-kekasih dan sahabat-sahabat-Nya. Dalam perjalanannya, Allah menghantarkannya mula-mula kepada kedudukan akal asbab bagi keesaan, bagi roh universal, alam nama-nama dan sifat-sifat Ilahi, alam hakikat kepada Muhammad s.a.w. Roh suci memiliki dan membawa bersama-samanya benih kesatuan. Apabila melalui alam ini ia dipakaikan cahaya suci dan dinamakan ‘roh sultan'. Apaabila melalui alam malaikat yang menjadi perantaraan kepada mimpi-mimpi, ia mendapat nama ‘roh perpindahan'. Bila akhirnya ia turun kepada dunia kebendaan ini ia dibaluti dengan daging yang Allah ciptakan untuk kesesuaian makhluk-Nya. Ia dibaluti oleh jirim yang kasar bagi menyelamatkan dunia ini kerana dunia kebendaan jika berhubung secara langsung dengan roh suci maka dunia kebendaan akan terbakar menjadi abu. Dalam hubungannya dengan dunia ini ia dikenali sebagai kehidupan, roh manusia.

Tujuan roh suci dihantar ke tempat ciptaan yang paling rendah ini ialah supaya ia mencari jalan kembali kepada kedudukannya yang asal, makam kehampiran, ketika ia masih di dalam bentuk berdaging dan bertulang ini. Ia sepatutnya datang ke alam benda yang kasar ini, dan dengan melalui hatinya yang berada di dalam mayat ini, menanamkan benih kesatuan dan menunbuhkan pokok keesaan di dalam dunia ini. Akar pokok masih berada pada tempat asalnya. Dahannya memenuhi ruang kebahagiaan, dan di sana demi keredaan Allah, mengeluarkan buah kesatuan. Kemudian di dalam bumi hati roh itu menanamkan benih agama dan bercita-cita menumbuhkan pokok agama agar diperolehi buahnya, tiap satunya akan menaikkannya kepada peringkat yang lebih hampir dengan Allah.

Allah membuatkan jasad-jasad atau tubuh-tubuh untuk dimasuki oleh roh-roh dan bagi roh-roh ini masing-masing mempunyai nama yang berbeza-beza. Dia bena ruang penyesuaian di dalam tubuh. Diletakkan-Nya roh manusia, roh kehidupan di antara daging dan darah. Diletakkan-Nya roh suci di tengah-tengah hati, di mana dibena ruang bagi jirim yang sangat seni untuk menyimpan rahasia di antara Allah dengan hamba-Nya. Roh-roh ini berada pada tempat yang berbeda-beda dalam tubuh, dengan tugas yang berbeda, urusan yang berbeda, masing-masing umpama membeli dan menjual barang yang berlainan, mendapat faedah yang berbeda. Perniagaan mereka sentiasa membawakan kepada mereka banyak manfaat dalam bentuk nikmati dan rahmat Allah.
“Daripada apa yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terang, (mereka) mengharapkan perniagaan yang tidak akan rugi”. (Surah Fatir, ayat 29).

Layaklah bagi setiap manusia mengetahui urusannya di dalam alam kewujudan dirinya sendiri dan memahami tujuannya. Dia mestilah faham bahawa dia tidak boleh meminda apa yang telah dihukumkan sebagai benar untuknya dan digantungkan dilehernya. Bagi orang yang mahu meminda apa yang telah dihukumkan untuknya, yang terikat dengan cita-cita dan dunia ini Allah berkata: “Tidaklah (mahu) dia ketahui (bagaimana keadaan) apabila dibongkarkan apa-apa yang di dalam kubur? Dan dizahirkan apa-apa yang di dalam dada?” (Surah ‘Aadiyat, ayat 9). “Dan tiap-tiap manusia Kami gantungkan (catatan) amalannya pada tengkuknya…” (Surah Bani Israil, ayat 13).