Pages

Wednesday, November 10, 2010

Sufi Road : Hakekat Tasawuf : wawancara dg KH. Said Aqil Siradj

Berikut adalah wawancara Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia Libya (KKMI) bersama , Bapak. Prof. Dr. K.H. Said Aqil Sirodj, MA. selaku sekjen organisasi internasional tersebut pada acara The Executive Bureau of the World Islamic People's Leadership (WIPL) dan International Bureau of Sufism 11-12 Oktober 2010 lalu di Tripoli, Libya.

Sejak dulu, tasawuf telah menuai pro-kontra di dunia Islam sendiri. Bagaimana sebenarnya tasawuf dalam pandangan Bapak ?
Sejak lahirnya, tasawuf memang sudah ada yang menyikapinya dengan pro dan kontra. Yang kontra terutama dari ulama hadits akibat perkataan ulama tasawuf yang menganggap tidak cukup mengurusi amaliah lahir (esoteric) tapi juga harus bersifat batin. Tetapi, asal mula tasawuf itu sendiri berangkat dari zuhud dalam menyikapi dunia. Ambisi kemewahan, hedonisme dan hawa nafsu disikapi dengan meninggalkan itu semua karena dianggap negatif. Bahkan, dianggap menghalangi kita menggapai hakikat kebenaran.

Seseorang tidak akan mencapai sesuatu yang sebenar-benarnya apabila masih terlalu memikirkan materi dan hawa nafsu. Makanya definisi tasawuf yang dimunculkan oleh Umar Ma’ruf at Karkhi (200 H) : “al ahkdzu bil hakoiq wal ya’su mimma fi aidil kholaiq” (mencari kebenaran dan menjauhi apa yang ada di tangan makhluk). Artinya, hal-hal tadi dianggap sebagai suatu kepalsuan jika tidak diimbangi dengan sikap batin yang bersih. Jadi, walaupun ia hafal Al-quran tapi masih sombong, dengki, maka tidak akan mencapai hakekat.
Dan tentang pro-kontra ini, beberapa ulama mencoba untuk mengharmoniskannya, seperti upaya yang dilakukan oleh Imam Ghozali, Imam Bushairi, Junaid. Mereka mensinergikan antara syariat dan hakekat, lahir dan batin. Kata ghozali, “lahir saja menjadi fasiq, dan batin saja menjadi zindiq”.

Karenanya, kalau ada seseorang yang kontra asalkan ia menyikapinya sesuai dengan argumentasi ilmiah dan tanpa mencaci maki, maka akan kita terima.

Pendapat bahwa tasawuf tidak ada dalam Islam karena merupakan hal baru?
Segala sesuatu tidak harus ada pada zaman Nabi. Dalam Al-qur’an sendiri, yang ada adalah ajaran untuk mendorong kita berpikir dan berilmu. Tapi ilmu spesifik apa itu tidak ada disana. Ilmu fikih, ushul, tafsir, nahwu, tajwid dan sebagainya baru ada berpuluh tahun atau abad setelah Nabi wafat. Ilmu tajwid baru ada pada abad kedua oleh Abu Ubaid Qosim bin Salam. Mustalah hadist pada akhir abad pertama oleh Sihabudin Ar Romahurmuzi atas perintah Umar bin Abd Aziz. Berbagai ilmu tersebut merupakan suatu kreatifitas yang tidak ada pada zaman Nabi.

Jadi argumentasi mereka?
Ya nggak tahu. Biasanya mereka cuma berargumen bahwa tasawuf itu tidak dikenal dalam Islam. Tapi, kita sendiri meyakini tasawuf ada sebagai subtansi dari Islam. Rosulullah kan mengajarkan tawadlu, sopan santun, sabar, toleran, pemaaf. Nah, itu semua merupakan ajaran tasawuf.

Terkait sikap zuhud serta tasawuf yang katanya menjadi sumber kemadegan dunia Islam?
Pada hakikatnya zuhud itu suatu sikap yang menganggap bahwa dunia bukanlah segalanya. Kita boleh kaya tapi jangan terlalu dipikirkan kekayaan itu. Nah, kalau ada yang merasa hidupnya susah karena melarat dan ia tidak mau memikirkan dunia, ya itu memang namanya melarat, bukan zahid.

Dalam hadits disebutkan salah satu sahabat bertanya pada Rosulullah: “tunjukkan pada kami amal apa yang menjadikan Allah dan manusia bisa mencintai kami?” Rosulullah bilang: “izhad ma fi aidin nas”. (zuhudlah dari apa yang dimiliki manusia). Zuhud ini bisa dicontohkan ketika kita beramal maka tidak untuk kepentingan pribadi tapi untuk kepentingan umum. Kita bisa lihat Abdul Halim Mahmud, salah satu Syakul Azhar. Beliau waktu itu digaji 500 Juneih. Maka, sebagian kecil dia ambil untuk dirinya, sisanya disedekahkan.

Nah, hakekat zuhud inilah yang juga ada dalam tasawuf. Tasawuf itu adalah mencari kebenaran melalui mujahadah atau olah hati agar kita tidak terlalu cinta dan berambisi terhadap harta; tidak terlalu sombong dan semacamnya. Inti tasawuf inilah yang disebutkan dalam surat al-hadid: 16, yaitu agar kita sebagai orang mukmin mempunyai hati yang bersih dan tidak seperti ahli kitab terdahulu, dimana mereka beragama tapi hatinya keras dan penuh kesombongan.

Lalu bagaimana dengan thoriqot?
Thoriqot itu sebenarnya merupakan madrasah, yaitu jalan untuk menuju jenjang tasawuf, dan bukan tasawuf itu sendiri. Jadi, belum tentu orang yang masuk thoriqot bisa dikatakan sufi.

Jadi, tasawuf lebih seperti sebuah prestasi?
Bahkan tasawuf itu merupakan akhir dari perjalanan spiritual. Kita tahu, bahwa menguasai ilmu pengetahuan itu harus. Karena ilmu akan menunjukkan kepada kebenaran yang bisa menjadikan kita benar-benar beriman. Dan kalau kita beriman dengan benar maka akan menghasilkan ihbatul qulub (hati yang bersih). Inilah puncak dari ilmu dan iman. Orang yang beriman itu selalu merasa hadir bersama Allah, atau minimal sadar bahwa Allah hadir bersama mereka. Nah, ini yang akan menjadikan mereka mempunyai takut dan harap hanya kepada Allah semata.

Kalau begitu, bagaimana sebenarnya peran tasawuf dalam kehidupan sosial?
Puncak tasawuf adalah ketika seorang sufi bisa berbicara dengan umat atas nama Allah dan ketika berbicara dengan Allah atas nama umat. Peran sufi ini adalah sebagai qudwah (panutan). Ketika berdoa dia tidak hanya berdoa untuk dirinya tapi juga untuk umat. Atau ketika dia berdakwah dia benar-benar mengajak umat kepada Allah, bukan untuk mencari popularitas dan semacamnya.

Makanya, sekarang ini sebenarnya kita sedang butuh orang-orang yang mempunyai hati bersih. Orang seperti inilah yang bisa jadi qudwah untuk memimpin karena mereka akan punya karisma yang datang dari Allah sebagai sebuah karomah.

Tentang perkembangan tasawuf di Indonesia ?
Dulu, Islam yang hadir di Indonesia itu Islam tasawuf yang menghadirkan pendekatan spiritual sufistik sambil sedikit dibungkus dengan mistisme.

Kalau pada level dunia?
Sangat luar biasa. Bahkan, Setiap Syeih Azhar pasti sufi. Ia pasti punya thoriqot.

Berkaitan dengan muktamar tasawuf yang diadakan di Libya sekarang, apa saja yang dihasilkan dari pertemuan ini?
Ini kan sebenarnya baru pertama kali. Ya, sebagai ajang ta’aruf dulu agar sufi Indonesia kenal dengan sufi Libya, Arfika dan negara-negara lainnya. Yang sama-sama masuk thoriqot juga biar saling mengetahui. Masak sesama yang mengamalkan Syadziliyah tidak kenal. Atau sesama Naqsyabandiyah tidak tahu? Jadi, perkenalan dulu.

Terus langkah ke depan setelah ta’aruf ini?
Kita bisa saling koordinasi, misalnya untuk mencegah atau mengimbangi extremisme dan radikalisme beragama yang sekarang lagi marak. Karena kita tahu Islam itu sama sekali tidak mengajarkan untuk jadi radikal. "Ahsanul amal husnul khuluq " (sebaik-baik amal adalah budipekerti yang baik). Jadi, “agama itu ya moral yang baik”. [Zak/Zie/Aad]

Sumber : /kkmi-libya.blogspot.com


No comments:

Post a Comment