Pages

Friday, November 19, 2010

Sufi Road : Argumentasi Syariah Pembelajaran Kaum Sufi


Disarikan dari pemikiran al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin
Oleh Juru Angon


Ketahuliah, bahwa seseorang yang mengetahui sesuatu – walaupun sesuatu yang sangat sederhana – dengan melalui ilham yang tiba-tiba saja ada dalam hatinya tanpa pernah menyadarinya, maka berarti ia telah mengetahui kebenaran jalan tersebut. Dan barang siapa yang belum pernah mendapatkan pengetahuan ilhami semacam ini, hendaklah dia mempercayai tentang kebenaran adanya, karena pengetahuan semacam ini merupakan pengetahuan yang sangat tinggi tingkatannya. Hal ini diperkuat dengan dalil-dalil syara’ dan pengalaman atau kisah-kisah mereka yang mengalaminya.

Di antara dalil-dalil itu adalah firman Allah Swt: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (Qs. Al-Ankabut; 69).

Semua hikmah itu muncul dari hati lantaran ketekunannya dalam beribadah dan bukan disebabkan karena belajar, dengan kata lain, melalui ilham dan kasyf.

Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang berbuat sesuai dengan apa yang diketahuinya, maka Allah Swt akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum pernah diketahuinya dan memberikan petunjuk atas apa yang dikerjakannya sehingga ia berhak mendapatkan surga. “Barang siapa yang tidak berbuat sesuai dengan apa yang diketahuinya, maka Allah Swt akan menyesatkan apa yang telah diketahuinya itu dan (Allah Swt) pun tidak memberikan petunjuk atas apa yang dikerjakannya, sehingga ia pantas masuk neraka.”

Allah Swt berfirman: “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah Swt, Allah Swt akan memberikan jalan keluar baginya (dari semua kesulitan dan ketidaktahuan), dan menganugerahkan rizki kepadanya dari jalan yang tidak terduga” (Qs.Al-Thalaq; 2-3). Maksudnya adalah; Allah Swt menganugerahkan ilmu tanpa melalui belajar dan memberikannya kecerdasan tanpa harus berlatih.

Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan” (Qs. Al-Anfal; 29).

Yang dimaksud dengan “furqan” dalam ayat diatas adalah cahaya atau nur yang bisa membedakan antara yang haq dan yang batil serta dapat mengeluarkankannya dari hal-hal yang syubhat atau tidak jelas status halal-haramnya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw dalam do’anya selalu memohon diberikan cahaya atau nur, sebagaimana nampak dalam do’a beliau berikut ini:
“Ya Allah, berilah aku nur, tambahilah aku nur dan jadikanlah nur berada dalam hatiku, dalam kuburku, dalam pendengarnku, dalam penglihatanku, dalam rambutku, dalam kulitku, dalam dagingku, dalam darahku dan dalam tulangku.”
Rasulullah Saw pernah ditanya tentang maksud kata “syaraha” dalam ayat: “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Al-Zumar; 22).

Jawab Rasulullah Saw: “Yakni “meluaskan atau melapangkan”, karena jika Allah Swt menempatkan nur dalam hatinya, maka dadanya akan menjadi luas dan lapang.”

Rasulullah Saw juga pernah mendo’akan Ibn Abbas:“Ya Allah, fahamkanlah ia dalam persoalan agama dan ajarkanlah ia ta’wil (kemampuan untuk menafsiri al-Qur’an-pen).”

Ali (semoga Allah Swt meridlainya) berkata: “Tidak ada sesuatu pun di sisi kami yang bisa mebuat Rasulullah Saw senang kepada kami, kecuali Allah Swt memberikan seorang hamba yang faham betul terhadap kitab suci-Nya.” Dan ini bukan diperoleh karena belajar.

Diriwayatkan, bahwa yang dimaksud dengan “hikmah” dalam ayat (“Barang siapa yang telah diberi hikmah, maka sesunggunya ia telah dikaruniai kebaikan yang sangan banyak”- Qs. Al-Baqarah; 269) adalah “pemahaman terhadap kitabullah”. Sedangkan maksud ayat (“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); Qs. Al-Anbiya; 79) adalah Allah Swt telah memberikan kasyf kepada Sulaiman ‘alaihi salam.

Abu Darda berkata: “Seorang mukmin adalah orang yang melihat dengan nur Allah Swt dari belakang hijab yang tipis. Demi Allah Swt, sesungguhnya Allah Swt telah menempatkan cahaya atau nur kebenaran dalam hati mereka dan lidah mereka.”

Salah seorang salaf berkata: “Seorang mukmin sering disangka sebagai “kuhan” atau paranormal.”

Rasulullah Saw bersabda: “Berhati-hatilah dengan “firasat” orang yang beriman, karena ia melihat dengan “nur” Allah Swt.”

Hal itu juga diisyratkan oleh Allah Swt dalam firmannya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda” (Qs. Al-Hijr; 75); dan dalam ayat:“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin” (Qs. Al-Baqarah; 118).

Al-Hasan meriwayatkan dari Rasulullah Saw, bahwa beliau bersabda: “Ilmu itu ada dua. Ilmu batin itu ada di dalam hati, dan itulah ilmu yang bermanfaat…”

Ketika salah seorang ulama ditanya tentang ilmu batin, dia menjawab: “Ilmu batin adalah salah satu rahasia Allah Swt yang diberikan ke dalam hati para kekasih-Nya. Allah Swt bahkan tidak memberikannya kepada malaikat dan manusia biasa”.

Rasulullah Saw bersabda: “Di antara umatku ada yang menjadi “muhdisin” guru dan mukallimin (ahli kalam). Sedangkan Umar adalah salah satu dari mereka.” Yang dimaksud dengan al-muhdis adalah al-mulham (orang yang diberi ilham), yakni orang yang hatinya telah dibukakan (al-kasyf) oleh Allah Swt, sehingga bisa mengetahui sesuatu tanpa menggunakan perantaraan panca indera sebagaimana orang kebanyakan.

Sedangkan al-Qur’an telah menjelaskan bahwa taqwa adalah kunci dari hidayah dan al-kasyf, yang berarti bahwa al-kasyf diperoleh tanpa harus belajar. Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa” (Qs. Yunus; 6).

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa hanya orang yang beriman saja lah yang diberi keistimewaan untuk mengetahui semua yang diisyaratkan dalam ayat di atas.

Dalam ayat lain, Allah Swt juga berfirman: “(Al Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (Qs. Ali Imran; 138).

Abu Yazid al-Busthami berkata: “Bukanlah dinamakan ‘alim orang yang menghafalkan kitab, karena jika ia lupa maka ia menjadi orang yang bodoh. Yang disebut ‘alim yang sesungguhnya adalah orang yang mendapatkan ilmunya langsung dari Allah Swt tanpa menghafal atau belajar. Inilah ilmu rabbani yang diisyaratkan Allah Swt dalam firmanya (“Lalu mereka (Musa dan pembantunya) bertemu dengan seorang hamba (Nabi Khidlir) di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” – Qs. Al-Kahfi; 65).

Meskipun semua ilmu adalah berasal dari Allah Swt, tetapi ada sebagian ilmu yang diperoleh harus dengan belajar-mengajar dan ini tidak disebut dengan ilmu ladunni. Adapun ilmu ladunni adalah ilmu yang ada dengan sendirinya di dalam hati tanpa sebab-sebab yang wajar, sebagaimana biasanya pengetahuan masuk dari luar.”

Itulah beberapa uraian tentang dalil-dalil naqliyah mengenai persoalan di atas. Sekiranya kami kumpulkan semua ayat, hadits dan perkataan sahabat atau tabiin niscaya akan sangat banyak.

Adapun bukti-bukti yang berupa pengalaman juga sangat banyak, dan itu banyak dialami oleh para sahabat, tabiin dan generasai sesudahnya. Abu Bakar Ashidiq, menjelang wafatnya, pernah berkata kepada puterinya, ‘Aisyah :”Engkau akan mempunyai adik perempuan.” Pada saat itu isteri Abu Bakar sedang hamil dan ternyata memang kemudian melahirkan seorang bayi perempuan. Abu Bakar telah mengetahui sebelumnya bahwa anak yang dikandung isterinya adalah perempuan.

Umar bin Khatab juga pernah berteriak di tengah-tengah khutbahnya: “Awas, berlindunglah kalian di balik bukit itu!” Umar saat itu mengalami kasyf, yakni mengetahui bahwa di atas bukit, musuh sedang mengawasi pasukan Islam, sehingga Umar memperingatkan pasukan Islam yang saat itu sedang berperang di suatu tempat, padahal beliau sedang berada di atas mimbar masjid, tetapi suara beliau terdengar sampai ke tengah-tengah pasukan Islam. Hal ini tentu merupakan salah satu bukti karamah beliau.

Anas bin Malik menceritakan pengalamannya: “Saya bertamu ke rumah Usman bin Afan. Sebelumnya, di tengah jalan, saya bertemu dengan seorang wanita. Saya sempat meliriknya dan membayangkan kecantikannya. Ketika saya masuk ke rumah Usman, beliau berkata: “Ada salah seorang di antara kalian yang masuk ke rumahku dan sisa-sia zina nampak di matanya! Tidakkah kamu tahu bahwa zina mata adalah memandang (pada sesuatu yang dilarang)? Kamu mau bertaubat, atau saya hukum kamu?” Saya bertanya kepadanya: “Adakah wahyu setelah nabi? Jawab beliau: “Tidak, tetapi saya tahu (kejadian tentangmu) berdasarkan firasat yang benar.”

Abu Said al-Harraz berkata: “saya memasuki masjidil haram dan melihat serang faqir yang mengenakan pakaian sobek-sobek. Aku pun berkata dalam hati: “Orang ini mungkin pura-pura miskin.” Lalu dia mengundangku dan berkata:
“Sesungguhnya Allah Swt mengetahui apa yang ada di hatimu, maka takutlah kepada-Nya”
(Qs. Al-Baqarah; 235). Kemudian, aku pun beristighfar dalam hati dan dia berkata lagi:
“Sesungguhnya Allah Swt menerima taubat dari hamba-hamba-Nya”
(Qs. Al-Syura; 25), lalu dia menghilang dan aku tidak pernah melihatnya lagi.

Zakariya bin Daud berkata: “Abu al-Abbas bin Masruq berkunjung ke rumah Abu al-Fadl al-Hasyimi yang sedang sakit. Al-Hasyimi mempunyai keluarga yang banyak dan Abu al-Abbas tidak mengetahui darimana al-Hasyimi menghidupi keluarganya. Al-Hasyimi berkata: “Ketika aku bertanya dalam hati, darimana laki-laki ini bisa memberi makan keluarganya, tiba-tiba al-Hasyimi menghardikku: “Hai Abu al-Abbas, hilangkanlah pikiran yang rendah itu, karena sesungguhnya Allah Swt memiliki rahasia yang tersembunyi.” @@@
==> Kampus Wong Alus ( Juru Argon)

No comments:

Post a Comment