Pages

Wednesday, August 18, 2010

Prinsip Thariqah Naqsybandi (3-8)

Abdul Khaliq al-Ghujdawani mengemukakan butiran-butiran renungan berikut yang kini dianggap sebagai Prinsip Thariqah Sufi Naqsybandi:


3. Perjalanan Pulang (“safar dar watan”)
Artinya perjalanan pulang ke kampung halaman. Artinya bahwa perjalanan para saalik dari dunia ciptaan menuju dunia Sang Pencipta. Ini diceritakan bahwa Sang Nabi berkata, “Aku akan mengunjungi Tuhan-ku dari satu tingkat ke tingkat yang lebih baik dan dari satu maqam ke maqam yang lebih tinggi.” Dikatakan bahwa para saalik harus melakukan perjalanan dari Keinginan yang cenderung kepada hal-hal terlarang ke Keingingan untuk Hadirat Illahiah.
Thariqah Sufi Naqsybandi membagi perjalan menjadi 2 buah kategori. Kategori pertama adalah perjalanan lahir dan yang kedua adalah perjalanan bathin. Perjalanan lahir adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain mencari seorang pembimbing yang sempurna untu membawa dan mengarahkan ke sasaran yang dituju. Ini memungkinkan para saalik untuk bergerak ke kategori kedua, yaitu perjalanan bathin. Saalik, sekali mendapatkan seorang pembimbing yang sempurna, maka terlarang baginya untuk melakukan perjalanan lahir lainnya. Dalam perjalanan lahir terdapat banyak kesulitan yang tidak sanggup ditanggung oleh para pemula tanpa jatuh dalam perbuatan-perbuatan terlarang (haram), karena mereka memang masih lemah dalam ibadahnya.
Kategori kedua adalah perjalanan bathin. Perjalanan bathin memerlukan para saalik untuk meninggalkan akhlaq buruk mereka dan meningkat ke akhlaq yang lebih tinggi, melempar keluar semua keinginan duniawi dari kalbunya. Dia akan dinaikkan dari sebuah keadaan yang tidak bersih ke keadaan bersih. Pada saat itu dia tidak lagi memerlukan perjalanan bathin lainnya. Dia telah menyucikan kalbunya, membuatnya jernih bagaikan air, transparan laksana kristal, mengkilap seperti sebuah cermin, memperlihatkan realitas dari seluruh hal penting dari kehidupan sehari-hari, tanpa memerlukan tindakan ekstenal dari sisinya. Dalam kalbunya akan muncul semua hal yang diperlukan bagi kehidupannya dan untuk kehidupan orang-orang yang ada disekelilingnya.


4. Menyendiri di tengah Keramaian (“khalwat dar anjuman”)
“Khalwat” berarti menyendiri. Itu artinya secara lahir bersama dengan orang-orang disekelilingnya sementara secara bathin bersama Allah. Terdapat juga 2 buah kategori “khalwat”. Pertama adalah “khalwat” lahir dan kedua “khalwat” bathin.
Penyendirian lahir memerlukan saalik untuk menyendiri dalam sebuah tempat pribadi yang tidak ada seorang pun. Tinggal sendirian, berkonsentrasi dan meditasi pada Dzikrullah -mengingat Allah- supaya meraih sebuah keadaan dimana Kerajaan Surgawi menjelma. Ketika kau mengekang indera-indera lahir, maka indera-indera bathinmu akan menjadi bebas dalam meraih Kerajaan Surgawi. Ini akan membawamu ke kategori kedua: penyendirian bathin.
Penyendirian bathin berarti menyendiri ditengah keramaian orang. Disitulah kalbu saalik akan hadir bersama Tuhan-nya dan absen dari makhluk sementara tubuh fisiknya berada ditengah-tengah mereka. Dikatakan, ‘Saalik akan begitu tenggelam dalam dzikir diam dihatinya, bahkan jika dia memasuki ke dalam kerumunan orang, dia tidak akan mendengar suara mereka. Keadaan dzikirnya telah menguasai dia. Perwujudan (tajalli) Hadirat Illahiah menarik dan membuatnya tidak sadar dengan segala hal kecuali Tuhan-nya. Inilah posisi tertinggi dalam khalwat, dan keadaan ini dianggap sebagai khalwat yang benar, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Suci Al Qur’an: “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah” [An Nuur 24:37]. Inilah cara Thariqah Naqsybandi.


Penyendirian yang utama dari syaikh Thariqah Naqsybandi adalah penyendirian bathin. Mereka bersama Tuhan mereka dan secara bersamaan bersama orang-orang. Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Sang Nabi , “Aku mempunyai 2 buah sisi: satu muka menghadap Pencipta-ku dan yang lainnya menghadap makhluk.” Shah Naqsyband menekankan kebaikan dalam berkumpul (majelis) ketika beliau mengatakan: Thariqatuna as-suhbat wa-l-khairu fil-jam’iyyat (“Jalan kita adalah Kebersamaan, dan Kebaikan berada dalam Kebersamaan”).
Dikatakan bahwa seseorang yang beriman yang dapat bergaul dengan orang lain dan mengangkat kesulitan mereka adalah lebih baik daripada seseorang yang menjauhkan diri dari orang lain. Terhadap hal yang peka ini Imam Rabbani pernah berkata,
“Hendaknya dikatehui bahwa saalik pada awalnya mungkin menggunakan penyendirian lahir untuk mengisolasi diri dari orang-orang, beribadah dan berkonsentrasi kepada Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, sampai dia meraih suatu tahap yang lebih tinggi. Pada saat itu dia akan dianjurkan oleh Syaikhnya, dalam ucapan dari Sayyid al-Kharraz, ‘Kesempurnaan bukan pada peragaan kekuatan menakjubkan, tapi kesempurnaan adalah duduk bersama orang-orang, berjual beli, menikah dan mempunyai anak; dan tidak pernah meninggalkan kehadiran Allah walau pun hanya sekejab.”

5. Dzikir Utama (“yad kard”)
Makna dari ‘Yad’ adalah Dzikir. Makna dari ‘kard’ adalah esensi Dzikir. Saalik harus melakukan dzikir dengan penyangkalan (negasi) dan penerimaan (afirmasi) pada lidahnya sampai dia mencapai keadaan tafakur (perenungan) dikalbunya (muraqaba). Keadaan tersebut akan diraih dengan membaca penyangkalan (LA ILAHA) setiap hari dnd penerimaan (ILLALLAH) pada lidah, antara 5.000 dan 10.000 kali, menyingkirkan dari kalbunya elemen-elemen yang akan mengotori dan membuatnya berkarat. Dzikir ini memoles kalbu dan membawa saalik ke keadaan Perwujudan (tajalli). Dia harus menjaga dzikir harian itu, baik dengan kalbu atau pun dengan lidah, mengulang-ulang ALLAH, nama Dzat Tuhan yang meliputi semua nama lain dan Atribut-atribut, atau dengan penyangkalan dan penerimaan melalui penyebutan LA ILAHA ILLALLAH.
Dzikir harian ini akan membawa saalik ke keadaan kehadiran sempurna dari Huwa Allahu Ahad (Dia-lah Allah yang Maha Esa).
Dzikir dengan penyangkalan dan penerimaan, dalam tata cara Syaikh Sufi Naqsybandi, dituntut agar saalik menutup mata, menutup mulut dan mengigit gigi, melekatkan lidah dilangit-langit mulut, dan menahan nafas. Dia harus melafalkan dzikir melalui kalbu, dengan penyangkalan dan penerimaan, dimulai dengan kata LA (“Tidak”). Dia mengangkat kata “Tidak” ini dari bawah pusar naik ke otaknya. Sampai di otak kata “Tidak” ini dikeluarkan dengan kata ILAHA (“tuhan”), bergerak dari otak ke bahu kiri, dan menabrak kalbunya dengan ILLALLAH (“kecuali Allah”). Bila kata itu menabrak kalbu, energi dan panasnya akan memancar ke seluruh bagian tubuh. Saalik yang telah menolak semua yang ada di dunia ini dengan kalimat LA ILAHA, menerima dengan kalimat ILLALLAH bahwa seluruh yang ada telah hilang, lenyap dalam Hadirat Illahiah.
Saalik mengulangi ini dengan setiap nafas, hirup dan hembuskan, selalu membuat nafas mencapai kalbu, sesuai dengan jumlah angka yang diinstruksikan oleh Syaikhnya. Saalik secara berkala akan mencapai keadaan dimana dalam satu nafas dia dapat mengulang LA ILAHA ILLALLAH sebanyak 23 kali. Seorang Syaikh sejati dapat mengulangi LA ILAHA ILLALLAH dalam jumlah tidak terhitung dalam setiap nafas. Arti dari praktek ini adalah bahwa tujuan satu-satunya hanya Allah dan bahwa tiada tujuan lain bagi kita. Untuk melihat Hadirat Illahiah sebagai satu-satunya yang Ada akan dimasukkan ke dalam kalbu murid kecintaan terhadap Sang Nabi dan pada saat itu dia mengucap, MUHAMMADUN RASULULLAH (“Muhammad adalah Rasul Allah”) yang merupakan jantung dari Hadirat Illahiah.

6. Kembali ("baz gasht")
Ini adalah sebuah keadaan dimana saalik yang melakukan dzikir dengan penyangkalan dan penerimaan sampai pada tahap memahami kalimat Sang Nabi Suci , ilaahi anta maqshuudi wa ridhaaka mathluibi (“Ya Allah, Engkau-lah puncak tujuanku dan hanya ridha-Mu yang kumohon.”). Pembacaan kalimat ini akan menaikkan kesadaran saalik dalam Ke-Esa-an Allah, sampai dia mencapai suatu keadaan dimana semua ciptaan lenyap dari matanya. Semua yang dia lihat, kemana pun dia memandang, adalah Allahu Ahad (Allah yang Maha Esa). Murid Naqsybandi membaca dzikir macam ini untuk menyaring dari kalbu mereka rahasia Ke-Esa-an, dan untuk membuka diri mereka ke Realitas Unik dari Hadirat Illahiah. Pemula tidak mempunyai wewenang untuk meninggalkan dzikir ini jika dia tidak menemukan kekuatan dzikir muncul dalam kalbunya. Dia harus tetap membaca dzikir ini dengan mengikuti Syaikhnya, karena Sang Nabi pernah berkata, “Barang siapa meniru suatu golongan maka dia akan menjadi bagian dari golongan tersebut.” Dan barang siapa meniru gurunya maka suatu hari akan ditemukan rahasia ini dibuka dalam kalbunya.
Makna dari kalimat “baz gasht” adalah kembali kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Kausa dengan memperlihatkan kepasrahan penuh dan tunduk kepada Kehendak-Nya, dan ke-tawadhu’-an penuh dalam menyampaikan semua pujian bagi-Nya. Inilah alasan Sang Nabi Suci menyebutkan dalam do’anya, ma dzakarnaka haqqa dzikrika ya Madzkur (“Kami tidak Mengingat Engkau sebagaimana seharusnya Engkau Diingat, Ya Allah”). Saalik tidak dapat datang ke Hadirat Allah dalam dzikirnya, dan tidak bisa mengungkapkan Rahasia-rahasia dan Atribut-atribut Allah dalam dzikirnya, jika dia tidak melakukan dzikir dengan Dukungan Allah dan jika Allah tidak mengingatnya. Sebagaimana Bayazid katakan: “Ketika aku mencapai Dia, aku melihat bahwa Dia mengingatku lebih dulu daripada ingatanku kepada-Nya.” Saalik tidak dapat melakukan dzikir dengan sendirinya. Dia harus mengetahui bahwa justru Allah-lah yang sedang melakukan dzikir melalui hamba-Nya itu.

7. Perhatian (“nigah dasht”)
“Nigah” berarti pandangan. Artinya bahwa saalik harus memperhatikan kalbunya dan melindunginya dengan cara mencegah masuknya pikiran-pikiran buruk. Kecenderungan buruk akan menghalangi masuknya kalbu bergabung dengan Illahi. Ini diakui dalam Naqsybandiyya bahwa bagi seorang saalik dapat melindungi kalbunya dari kecenderungan buruk selama 15 menit saja merupakan sebuah pencapaian besar. Untuk ini dia akan dipertimbangkan sebagai seorang Sufi sejati. Sufisme adalah kekuatan untuk melindungi kalbu dari pikiran-pikiran buruk dan menjaganya dari kecenderungan rendah. Barang siapa berhasil dengan 2 buah tujuan ini akan mengerti kalbunya, dan barang siapa mengetahui kalbunya maka akan mengenal Tuhan-nya. Sang Nabi Suci berkata, “Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhan-nya.”
Seorang Syaikh Sufi berkata, “Karena aku melindungi kalbuku selama 10 malam, kalbuku melindungiku selama 20 tahun.”
Abu Bakr al-Qaittani mengatakan, “Aku adalah penjaga pintu kalbuku selama 40 tahun, dan aku tidak pernah membuka kalbuku bagi siapapun juga kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, sampai kalbuku tidak mengenali siapapun kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.”
Abul Hassan al-Kharqani mengatakan, “Sudah 40 tahun Allah telah melihat kalbuku dan mendapati bahwa tidak ada seorang pun kecuali Dia. Dan memang tidak ada ruang dalam kalbuku tersisa bagi selain Allah.”

8. Mengumpulkan Lagi (“yada dasht”)
Artinya bahwa pembaca dzikir melindungi kalbunya dengan penyangkalan dan penerimaan dalam setiap nafas tanpa meninggalkan Hadirat Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi. Hendaknya saalik menjaga kalbunya dalan Hadirat Illahiah secara terus menerus. Hal ini akan membuatnya menyadari dan merasakan Cahaya Dzat yang Unik dari Allah(anwar adz-dzat al-Ahadiyya). Dia kemudian akan membuang 3 dari 4 buah bentuk pikiran, yaitu: pikiran egois, pikiran jahat, dan pikiran malaikatis, seraya mempertahankan dan membenarkan hanya bentuk pikiran keempat, yaitu haqqani atau pikiran kebenaran. Ini akan membimbing saalik menuju keadaan tertinggi dari kesempurnaan dengan membuang semua imajinasinya dan hanya merengkuh Realitas yaitu Ke-Esa-an Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.

‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani mempunyai 4 orang khalifah. Pertama adalah Syaikh Ahmad as-Siddiq, berasal dari Bukhara. Yang kedua adalah Kabir al-Awliya (“Wali Terbesar”), Syaikh Arif Awliya al-Kabir (q.s). Berasal dari Bukhara, beliau merupakan seorang ulama besar dalam Ilmu lahir dan bathin. Khalifah ketiga adalah Syaikh Sulaiman al-Kirmani (q.s). Khalifah keempat adalah ‘Arif ar-Riwakri (q.s). Kepada khalifah keempat inilah ‘Abdul Khaliq (q.s) mewariskan Rahasia Rantai Emas sebelum beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul-Awwal 575 H.

No comments:

Post a Comment