Pages

Friday, June 11, 2010

Permohonan Istighatsa / Isti’ana “ Ya Syaikh, Madad!”

Dr. Gibril Fuad Hadad

‘Al-madad’ berarti ‘tolonglah’. Madad ini pernah diajukan kepada Nabi
Musa as oleh seorang dari kaumnya dengan istilah istighatsa, ‘dia
memohon pertolongan’ dalam surat al-Qashash (Qs. 28:15) dan oleh Dzulqarnain dengan istilah a’iinuni ‘tolonglah aku’ pada surat al-Kahfi (Qs. 18:95). Kedua kata tersebut mempunyai akar yang sama dengan nasta’iinu, ‘kami memohon pertolongan’ dalam surat al-Faatihah. Berikut ini adalah beberapa bukti dari Sunnah tentang ‘memohon pertolongan kepada seseorang yang tidak terlihat dalam situasi yang dibutuhkan.’

1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya bahwa, istri Nabi
Ibrahim as, Siti Hajar ketika berlari antara Safa dan Marwa untuk mencari air mendengar sebuah suara, lalu beliau memanggilnya, “Wahai engkau yang
suaranya dapat terdengar! Jika ada seorang ghawts (pertolongan/ penolong)
bersamamu, (maka tolonglah aku)!” Maka muncullah seorang malaikat di
tempat keluarnya air zamzam.

2. Abu Ya’la bin al-Sunni dan at-Tabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang darimu
kehilangan sesuatu atau mencari pertolongan atau seorang penolong (ghawts)
dan dia berada di suatu tempat di mana tidak ada orang lain untuk
dimintai pertolongan, maka katakanlah, “Wahai hamba Allah, tolonglah aku!
(Ya ‘ibad Allah, aghitsuni), karena sesungguhnya Allah swt mempunyai
hamba yang tidak terlihat.” Al-Haythami berkata dalam Majma’ al-Zawaid
(10:132), “Orang-orang dalam rantai transmisi (hadits) tersebut dapat
dipercaya walaupun ada kelemahan di antara mereka.”
3.al-Bayhaqi meriwayatkan dengan otoritas dari Ibnu ‘Abbas dalam Kitab
al-Aadaab (hal. 426) dan dengan mata rantai kedua yang mawquf dari Ibnu
‘Abbas dalam Syu’ab al-Iman (1:445-466=1:183#167;6:128 #7697) dan yang
ketiga dari Ibnu Mas’ud dalam Hayat al-Anbiya’ ba’da wafatihim (hal.
44), “Allah mempunyai malaikat-malaikat di bumi selain dari kedua
pencatat (amal) yang terus mencatat segala kejadian termasuk setiap daun yang jatuh ke tanah.

Oleh sebab itu jika salah seorang darimu mengalami lumpuh di tanah yang
gersang di mana tak ada seorang pun yang terlihat, katakanlah, a’iinuu
‘ibaad Allaah rahimakum Allaah, “Tolonglah aku wahai hamba Allah,
semoga Allah menyayangimu! Sesungguhnya dia akan tertolong jika Allah
menghendakinya.” Ibnu Hajar berkata bahwa rantai transmisi hadits tersebut
adalah baik (isnaduhu hasan) dalam Kitab al-amali.

Diriwayatkan oleh at-Tabarani dalam al-Kabir dengan rantai transmisi
yang baik (menurut Ibnu Hajar dalam al-Amali) dan menurut narator lisan
al-Haythami (10:32), al-Bazar (#3128) sebagaimana yang dinyatakan oleh
al-Syawkani dalam Tuhfa al-Dhakirin (hal. 219 dan hal. 155-156) dan oleh
Ibnu Abi Syayba (7:103).

4.Ibnu Abi Syayba menghubungkannya dalam kitab Musannaf (7:103) dari
Aban bin Salih bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang darimu
kehilangan hewan peliharaan atau untanya di tengah gurun di mana tidak
ada seorang pun yang terlihat, katakanlah, “Wahai hamba Allah,
tolonglah aku! (Yaa ‘ibaad Allaah a’iinuunii), sesungguhnya dia akan
tertolong.”

SANGKALAN TERHADAP WAHABISME

Al-Zahawi dalam al-Fajr al-Sadiq memberikan sangkalan terhadap
Wahhabisme, “Tidak dijelaskan apakah yang dimaksud dengan ‘hamba Allah’ dalam hadits di atas hanya dari golongan malaikat atau seorang Muslim atau
dari kalangan Jinn atau manusia dari alam yang tak terlihat tetapi yang
jelas mereka semua hidup.

Oleh sebab itu hadits tersebut tidak memberikan bukti bahwa seseorang
dianjurkan untuk memohon pertolongan kepada yang mati, tetapi bukan ini
kasusnya. Kami menyebutkannya karena tidak ada yang tertera secara
eksplisit dalam hadits bahwa yang dimaksud ‘hamba Allah’ adalah kategori
yang telah disebutkan tadi, bukan yang lain. Tetap saja bila kita ingin
meyakini hal ini, hadits tersebut tetap merupakan suatu bukti untuk
menentang Wahhabi dari sudut pandang yang lain, yaitu memanggil seseorang
yang tidak terlihat. Orang Wahhabi tidak lagi membolehkannya, dari pada
memanggil kepada orang yang telah meninggal.”

Al-Syawkani dalam Tuhfat al-Dhakirin (hal.155-156) juga membolehkan
memanggil seseorang yang tidak terlihat, “Dalam hadits (merujuk pada
a’iinu) ada suatu bukti yang menunjukkan bahwa memanggil atau memohon
pertolongan kepada orang yang tidak terlihat di antara hamba Allah, baik itu malaikat atau Jinn diperbolehkan dan tidak ada salahnya melakukan hal
itu, sebagaimana seseorang juga diizinkan untuk mencari pertolongan jika
kuda tunggangannya menjadi tidak terkontrol kemudian lari atau hilang.”
KALIAN BAHKAN MINTA PERTOLONGAN ORANG.

5.Ahmad menyatakan dalam Musnad-nya (4:217) bahwa pada saat datangnya
fitnah terbesar dari al-Masih Dajjal, ketika ummat Muslim berada pada
kondisi terlemah sebelum kedatangan Nabi ‘Isa bin Maryam, saat shalat
Subuh seorang penyeru berteriak tiga kali, “Wahai manusia, al-ghawts
(penolong) telah datang kepadamu!”

6.Ibnu Katsir dalam buku sejarahnya, al-Bidaya wal-Nihaya (7:91, tahun
18) meriwayatkan bahwa ‘Umar y mencari pertolongan dan terbebas dari
rasa haus dan lapar di Madinah dengan menulis kepada ‘Amr al-As dan Abu
Musa al-Asy’ari di Mesir dan Basra secara berturut-turut dengan ucapan,
“Yaa ghawtsaah li Ummati Muhammad e! =Tolong! Tolong! untuk ummat
Muhammad e!” Jika ini bukan istighatsa dan isti’aana maka tidak akan ada
istighatsa dan isti’aana.

Al-Zahawi berkata dalam al-Fajr al-Sadiq

al-Subki, al-Qastallani dalam al-Mawahib al-laduniyya, al-Samhudi dalam
Tarikh al-Madina, dan al-Haythami dalam al-Jawhar al-Munazzam berkata
bahwa mencari pertolongan kepada Rasulullah dan Rasul lainnya atau
kepada orang-orang shaleh, hanya merupakan salah satu jalan dalam mencari
pertolongan Allah demi kemuliaan dan martabat mereka (bi jahihim).
Orang yang meminta pertolongan, memohon kepada Allah, memohon agar Dia
memberi pertolongan baginya (ghawts) dari orang yang posisinya lebih
tinggi darinya. Pada kenyataannya orang yang dimintai pertolongan adalah
Allah. Dalam realitasnya Rasulullah hanya sebagai perantara (wasita)
antara orang yang memohon pertolongan dengan Yang dimintai pertolongan.

Oleh karena itu jelaslah bahwa pertolongan itu berasal dari-Nya baik
dalam hal penciptaan (khalqan) maupun kejadiannya (ijadan), sementara
pertolongan dari Rasulullah berhubungan dengan sebab sekunder (tasabbuban)
dan pemberian dari Allah SWT (kasban).Syaikh Khayr al-Din Ramli dalam Fatawa Khayriyya (hal.180-181) ditanya tentang, “mereka yang mengatakan, ‘Wahai Syaikh ‘Abd al-Qadir jAILANI! Wahai Syaikh Ahmad ! Wahai Rifa’i ! [Berikanlah kami] sesuatu demi Allah (syay’un lillah) Wahai ‘Abd al-Qadir ! Dan seterusnya.

Pada saat itu mereka menjadi sangat terpesona dan mengalami suatu
keadaan yang dapat membuat mereka melompat-lompat, naik dan turun.’ Dia
menjawab, semoga Allah memberi berkah kepadanya, Ketahuilah bahwa hal
terpenting di antara semua peraturan yang sudah lazim dan diterapkan secara
ketat dalam semua kitab para Imam Mahzab adalah peraturan yang
mengatakan bahwa sesuatu itu dinilai menurut keadaan akhirnya…sebagaimana yang diambil dari hadits Sahih al-Bukhari dan Muslim: segala perbuatan
tergantung niatnya… dan tak seorang pun yang menyangkal realitas para Sufi
kecuali orang-orang yang sangat bodoh dengan jiwa yang bodoh.”

1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa
Rasulullah saw bersabda,“Sesungguhnya matahari akan tertarik sangat dekat di Hari Kebangkitan sehingga keringat akan mencapai bagian tengah telinga,
kemudian (ISTIGHAATSUU bi aadam tsumma bi muusaa tsumma bi muhammadin
shallallaahu ‘alayhi wa sallama) mereka mencari pertolongan kepada Adam
, lalu Musa dan Muhammad saw yang akan menjadi perantara (fa yasyfa’u)


Dan pada hari itu Allah akan mengangkatnya ke tempat yang mulia
sehingga semua orang yang berdiri (termasuk orang-orang kafir) akan
memuliakannya (yahmaduhu ahlul-jam’I kulluhum). [Sahiih al-Bukhaarii (Qadiim Kutub Khaana, Karachi, 1381H), 1:199 (bandingkan dg. Prof. Tahir-ul-Qadri,‘Aqida-e-tawassul, p.)]

Sudah tentu mereka tidak akan lupa kepada Allah pada hari itu.
Orang-orang yang mencari pertolongan kepada para Rasul dan Anbiya sama saja
dengan menjadikan mereka sebagai jalan (wasila) kepada Allah dan hadits
tadi melanjutkan bahwa perantaraan Nabi Muhammad saw akan diterima.
Apakah mereka yang menentangnya di kehidupan ini akan mendapat keistimewaan
seperti itu di hari kemudian? Inilah alasannya mengapa Ala Hazrat
menyatakan, “aaj madad maang un se, aaj panaa le un se, qal na maanenge
qayaamat” “ambillah madad-nya sekarang, ambillah pana-nya, bisa jadi nanti
pada hari kiamat tidak diterima.”

2. Kutipan berikut berasal dari Syaikh ‘Ali Mahfuz yang wafat pada 1361
H (19420 dan merupakan salah satu ulama besar dari Jami’ al-Azhar
(Mesir), yang sangat menghormati Ibnu Taymiyya dan Muhammad ‘Abduh dalam
bukunya al-Ibada’. Namun demikian beliau mengatakan, Tidak benar untuk
mengatakan bahwa para Awliya (rahimahum-Allahu ta’ala) mengatur urusan
dunia setelah kematiannya, seperti menyembuhkan penyakit, menyelamatkan
orang yang hampir tenggelam, menolong orang yang sedang melawan musuh dan
menemukan sesuatu yang hilang.

Adalah salah bila mengatakan hal itu, sebab para Awliya sangat agung,
Allah telah meninggalkan tugas ini untuk mereka dengan kata lain mereka
mampu melakukan apa yang mereka inginkan atau mereka yang dekat
dengannya tidak akan pernah salah. Tetapi baik mereka telah meninggal atau pun masih hidup, Allah memberi berkah kepada mereka dan melalui karamat
mereka, Allah menyembuhkan penyakit, menyelamatkan orang yang hampir
tenggelam, menolong orang yang sedang melawan musuh dan menemukan sesuatu
yang hilang. Ini adalah hal yang logis.

Al-Qur’an al-karim juga menunjukkan fakta-fakta ini.” [Syaikh ‘Ali
Mahfuz, Al-Ibda’, hal.213, Kairo, 1375H (1956); Abdullah ad-Dasuqi dan
Yusuf ad-Djawi, professor di Jami’ al-Azhar, menulis pujian di bagian akhir
buku ini. (lihat The Sunni Path)]

3. Terakhir, Hadits asy-Syarif yang terdapat dalam Sahihayn, yaitu dua
kitab hadits yang orsinil, satu oleh al-Bukhari dan yang lainnya oleh
Muslim. Hadits itu menyatakan bahwa Rasulullah mengunjungi makam para
syuhada dalam perang Uhud tepat SATU TAHUN setelah mereka wafat. Sebuah
mimbar DIBANGUN di sana sebagai tempat Rasulullah menyampaikan pesannya.
‘Uqba bin Amir, yang meriwayatkan hadits ini berkata, Rasulullah
menaiki mimbar. Itu merupakan kali terakhir Aku melihat beliau menaiki
mimbar. Beliau menyatakan, “Aku tidak mengkhawatirkan kalian akan menjadi
politheis setelah Aku meninggal. Aku khawatir, karena ketertarikan
terhadap dunia, kalian akan saling membunuh dan musnah seperti suku-suku
terdahulu.”

Seorang ulama besar, Syaikh Sulayman bin ‘Abd al-Wahhab an-Najdi
(rahimah-Allahu ta’ala), penulis buku “as-sawaa’iq al-ilaahiyya” berkomentar terhadap hadits ini sebagaimana yang terdapat dalam sangkalannya terhadap adiknya Muhammad Abdul Wahab dan gerakan pembelotan yang dipeloporinya atas kerjasama dengan Inggris dan keluarga al-Saud, “Rasulullah telah meramalkan semua kejadian yang akan menimpa ummatnya sampai Hari Kebangkitan.

Hadits sahih ini menyatakan bahwa ummat Rasulullah tidak akan
menyembah berhala, dan beliau telah menjamin hal itu. Hadits asy-Syarif ini
dengan demikian memupuskan Wahhabisme sampai ke akar-akarnya, karena
mereka mengklaim bahwa Ummat al-Muhammadiyya menyembah berhala, bahwa
negara-negara Muslim penuh dengan berhala, makam adalah tempat menyembah
berhala. Mereka juga mengatakan bahwa seseorang menjadi kafir karena tidak
percaya bahwa mereka yang mengharapkan pertolongan atau perantaraan di
tempat-tempat keramat adalah kafir.

Tak satu pun ulama Islam yang menyatakan bahwa Muslim seperti itu
adalah politheis, mereka tetap menghormatinya sebagai Muslim.” [Sulaiman bin ‘Abd al-Wahhab an-Najdi, As-sawa’iq al-ilahiyya fir raddi
‘alal-Wahhabiyya (Nukhbat al-Akbar press, Baghdad, 1306 AH), hal.44 (Bandingkan dg. Nasihat untuk Muslim, bab.5)]. Lihat juga halaman yang relevan, di http://www.sunnah.org Oleh Raffiq Ahmed

No comments:

Post a Comment