Pages

Thursday, January 21, 2010

Kualitas Maskulin Feminin dalam Sifat-sifat Tuhan

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah (Q.S.Al-Zariyat/51:49)

Ayat ini mengisyaratkan segala sesuatu selain Tuhan diciptakan berpasang-pasangan (za­ja³n). Bukan hanya manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan mempunyai pasangan, laki-laki dan perempuan atau jantan dan betina, tetapi juga makhluk-makhluk lain seperti makhluk kosmologis. Di balik konsep berpasang-pasangan (azwaj) ini ada dua kualitas yang bekerja secara aktif dan mekanik, yaitu kualitas kejantanan dan ketegaran (masculinnity/struggeling) dan kualitas kelembutan dan kepengasihan (femininity/nurturing).


Al-Qur'an sering kali menyebutkan fenomena kosmologi yang berpasang-pasangan, seperti langit dan bumi , siang dan malam dan musim dingin dan musim panas, dunia dan akhirat , syurga dan neraka , alam gaib dan alam nyata . Yang lebih istimewa pasangan-pasangan makrokosmos ini mempunyai jumlah yang sama di dalam Al-Qur'an, meskipun masa turunnya Al-Qur'an berlangsung sekitar 23 tahun.

Kemahaesaan Tuhan dapat difahami melalui kenyataan bahwa seluruh makhluk Tuhan diciptakan berpasang-pasangan dan hanya Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya Dia yang tidak butuh pasangan. Dia Yang Esa, baik dalam Esensi maupun dalam sifat. Karena itu, Tuhan tidak dapat diperbandingkan dengan segala sesuatu, "Tiada sesuatu yang menyerupai-Nya" (Q.S.Al-Syura/42:11).

Pada makhluk biologis, setiap pasangan mempunyai hubungan fungsional, laki-laki dan perempuan, jantan dan betina. Masing-masing pasangan mempunyai ketergantungan antara satu dengan yang lain. Demikian pula makhluk-makhluk alam lainnya. Untuk menyatakan adanya siang diperlukan adanya malam, sulit dimengerti adanya sinar terang tanpa adanya kegelapan. Musim dingin baru dapat dimengerti setelah adanya musim panas. Seseorang tidak akan pernah memahami secara mendalam arti sebuah kesehatan jika tidak pernah sakit. Pengecualian terjadi dalam hal Pencipta (Al-Khaliq) dan ciptaan-Nya (al-makhl­q). Makhluk sangat tergantung kepada Khaliqnya, tetapi tidak sebaliknya.

Tuhan tidak masuk dalam konsep azwaj, karena Tuhan adalah Maha Mandiri, sebaliknya seluruh makhluk-Nya tidak ada yang mandiri secara paripurna. Eksistensi setiap makhluk ditentukan oleh hubungan horizontalnya dengan pasangannya dan secara vertikal oleh khaliq-nya. Termasuk manusia dan binatang, keutuhannya terletak pada hubungan interaktifnya dengan pasangannya, laki-laki dan perempuan atau jantan dan betina.

Dalam dunia tasawuf, konsep azwaj dikaji lebih mendalam. Menurut Nasafi, Tuhan Yang Maha Mandiri di mana segala sesuatu tergantung kepada-Nya , dianggap sebagai Zat Yang Wajib Wujudnya sementara makhluk-Nya disebut zat yang munkin wujudnya , karena keberadaannya sangat tergantung kepada kehendak-Nya dan keutuhan dan kelestariannya sangat tergantung kepada interaksi pasangannya. Dicontohkan langit dan bumi; langit memberi atau melimpahkan (al-faidl) dan bumi menerima atau menampung (istifadlah/. Menurut Jalaluddin Rumi, langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan. Hubungan antara keduanya sebagaimana layaknya hubungan antara laki-laki dan perempuan, atau menurut Murata hubungan antara keduanya dapat diterangkan melalui hubungan yang dan ying dalam Taoisme.

Ibn 'Arabi juga memberikan pernyataan yang hampir sama. Langit diumpamakan dengan suami dan bumi diumpamakan dengan isteri dalam kehidupan rumah tangga. Jika langit menurunkan airnya kepada bumi maka akan lahirlah berbagai makhluk biologis seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Demikian pula halnya manusia, penurunan air (sperma) kepada perempuan menyebabkan tumbuhnya janin dalam rahim dan selanjutnya lahir sebagai manusia.

Dan Allah menjadikan bumi bagaikan isteri dan langit bagaikan suami.Langit membeikan kepada bumi sebagian dari perintah yang diwahyukan Tuhan, sebagaimana laki-laki memberikan air ke dalam diri perempuan melalui "hubungan suami-isteri". Ketika pemberian itu berlangsung, bumi mengeluarkan seluruh tingkatan benda-benda yang dilahirkan yang disembunyikan Tuhan di dalamnya.

Konsep perkawinan dalam pandangan sufi lebih luas dari pada sekedar apa yang dirumuskan dalam Fikih Perkawinan , yaitu peraturan perkawinan dan akibat-akibat hukum sebuah perkawinan. Kalangan sufi mengenal Perkawinan Makrokosmos (Macrocosmic Marriage), meliputi perkawinan hubungan-hubungan tertentu antara benda atau sifat yang berpasangan, seperti hujan mengawini tanah.

Komposisi ideal kualitas maskulin-feminin tergambar di balik 99 nama-Nya dalam Al-Asma` al-Husna, sebagaimana dapat di lihat sebagai berikut:

Kualitas Maskulin
1. Al-Jabbar (Yang Maha Pemaksa)
2. Al-Qawiy (Yang Maha Kuat)
3. Al-Muntaqim (Y.M. Penyiksa)
4. Al-Qahhar (Y.M.Menguasai)

Kualitas Feminin
1. Al-Rahim (Yang Maha Penyayang)
2. Al-Lathif (Y.M.Lembut)
3. Al-Gaf­r (Y.M.Pengampun)
4. Al-Hakim (Y.M.Bijaksana)

Orang-orang yang mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat maskulin Tuhan, akan didominasi rasa: aktif, progresif, kuasa, independen, jauh, dan dominan (struggeling). Sedangkan orang yang mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat feminin Than akan didominasi rasa: pasrah, berserah diri, dekat, kasih dan pemelihara (nurturing).

Orang yang lebih menekankan aspek maskulinitas Tuhan, ia seringkali membayangkan Tuhan transenden, jauh, dan lebih memilih untuk menakuti-Nya. Sedangkan orang yang lebih menekankan aspek feminin Tuhan, ia membayangkan Tuhan immanen, dekat, dan lebih memilih untuk mencintai-Nya.

Sikap yang pertama akan memberikan efek seseorang harus hati-hati dalam berbuat, karena Tuhan itu Maha Adil (al-'Adl). Sedangkan yang kedua akan memberikan efek optimisme dalam menjalani kehidupan, karena Tuhan itu Maha Pemaaf (al-'Afuw).

Pendekatan pertama bisa melahirkan sikap formalisme beragama, karena membayangkan Tuhan itu Maha Penuh Perhitungan (al-Hasib). Sedangkan yang kedua bisa melahirkan sikap permissif dan seberono, karena membayangkan Tuhan Maha Penyayang (al-Rahman) dan Maha Pengampun (al-Gafur).

Yang ideal ialah seperti sabda Rasulullah: berakhlaklah sebagaimana akhlak Tuhan, yaitu kombinasi ideal antara kualitas maskulin dan kualitas feminin, seperti yang dicontohkan Rasulullah sebagai uswah al-Hasanah, yang "akhlaknya adalah Al-Qur'an".

Nama-nama indah Tuhan (al-asma` al-Husna) yang berjumlah 99 menurut hitungan ulama sunni, dapat dirangkai secara kronologis begitu indah ibarat seuntai tasbih. Dimulai dengan lafz al-jalalah, Allah, dengan angka 0 (nol), yang biasa dianggap angka kesempurnaan, disusul dengan al-Rahman (Yang Maha Pengasih), al-Rahim (Yang Maha Penyayang), dan seterusnya sampai ke angka 99, al-Shabr (Yang Maha Sabar) dan kembali lagi ke angka nol, Allah (lafz al-jalalah), atau kembali ke pembatas besar dalam untaian tasbih. Simbol angka nol berupa lingkaran atau titik, menggambarkan siklus kehidupan bagaikan sebuah cyrcle, bermula dan berakhir pada satu titik, atau menurut istilah Al-Qur`an: inna li Allah wa inna ilaih raji'un (kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya).

Dalam perspektif tasawuf, nama-nama indah Tuhan bukan hanya menunjukkan sifat-sifat Tuhan, tetapi juga menjadi titik masuk (entry point) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap orang dapat mengidentifikasikan diri dengan nama-nama tersebut. Seseorang yang pernah berlumuran dosa lalu sadar, dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri dengan mengidentifikasi diri dengan nama al-Gafur (Maha Pengampun) dan al-Tawwab (Maha Penerima Taubat), sehingga yang bersangkutan tetap bisa eksis kembali dan tidak perlu kehilangan semangat hidup. Bukankah di antara 99 nama itu sifat-sifat kasih Tuhan lebih dominan?

Allah bukan hanya memiliki sifat-sifat maskulin ("The Father God"), tetapi juga memiliki, bahkan lebih dominan dengan sifat-sifat feminin ("The Mother God"). Ada kecenderungan di dalam masyarakat sifat-sifat maskulinitas Tuhan lebih ditonjolkan, seperti Tuhan Maha Besar (al-Kabir), Maha Perkasa (al-'Aziz), dan Maha Pembalas/Pendendam (al-Muntaqim), bukannya menonjolkan sifat-sifat femininitas-Nya, seperti Tuhan Maha Penyayang (al-Rahim), Maha Lembut (al-Lathif), dan Maha Pema'af (al-'Afuw), sehingga Tuhan lebih menonjol untuk ditakuti dari pada dicintai. Efek psikologis yang muncul karenanya, manusia menyembah dan sekaligus mengidealkan identifikasi diri dengan "The Father God", yang mengambil ciri dominan, kuasa, jauh, dan struggeling, bukannya dengan "The Mother God", yang mengabil ciri berserahdiri, kasih, dekat, dan nurturing. Idealnya, komposisi kualitas maskulin dan feminin menyatu di dalam diri manusia, sebagaimana halnya keutuhan kedua kualitas itu menyatu di dalam Diri Tuhan, seperti tercermin di dalam al-asma` al-Husna, dan sebagaimana juga dipraktekkan Rasulullah saw.

Allah swt, adalah Tuhan segala sesuatu, Tuhan makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia sebagai makhluk mikrokosmos merupakan bagian yang teramat kecil di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Ia bagaikan setitik air di tengah samudra. Bumi tempat ia hidup bagaikan sebuah titik di antara jutaan planet dalam galaksi bimasakti. Meskipun dipercaya oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi (khala`if al-ardl), manusia tidak sepantasnya mengklaim Allah swt, lebih menonjol sebagai Tuhan manusia dari pada Tuhan makrokosmos, karena pemahaman yang demikian dapat memicu egosentrisme manusia untuk menaklukkan, menguasai, dan mengekploitasi alam raya sampai di luar amban daya dukungnya; bukannya bersahabat dan berdamai sebagai sesama makhluk dan hamba Tuhan. Sepantasnya kita menyadari bahwa konsep al-asma` al-Husna adalah konsep alam semesta. Tuhan tidak hanya memperhatikan kepentingan manusia, atau Tuhan tidak hanya kepada manusia, sebagaimana kesan dan pemahaman sebagian orang terhadap konsep penundukan alam raya (taskhir) kepada manusia. Seolah-olah konsep taskhir adalah "SIM" untuk menaklukkan alam semesta. Padahal, konsep taskh³r sebenarnya bertujuan untuk merealisasikan eksistensi asal segala sesuatu itu bersumber dari Tuhan Yang Maha Bijaksana (al-Hakim), yang mengacu kepada keseimbangan kosmis dan ekosistem.

Manusia yang paling berkualitas di mata Allah swt ialah yang paling bertaqwa (Q.S. Al-Hujurat/49:13), yaitu "orang-orang yang menafkahkan (hartanya), naik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) oraang" (Q.S.Ali 'Imran/3:133). Dari ayat ini difahami bahwa kualitas sejati di sisih Allah swt ialah orang-orang yang mengaktifkan komposisi kualitas maskulin dan feminin. Sikap seperti inilah yang akan melahirkan kesejukan, ketenangan, dan kedamaian di dalam masyarakat.

Dalam menyukseskan kedua misi manusia di bumi, yaitu sebagai khalifah dan sebagai hamba ('abid), komposisi kedua sifat ini juga santa penting. Kualitas maskulin sangat membantu manusia dalam menjalankan misinya sebagai khalifah dan kualitas feminin sangat membantu manusia dalam menjalankan misinya sebagai abid. Namun, separasi ini tidak berarti pemisahan secara total, karena misi kekhalifahan hanya dijalankan dengan kualitas maskulin, maka kemungkinan besar yang akan terjadi ialah disrupsi dan kerusakan lingkungan alam dan lingkungan sosial, serta ketimpangan ekologis. Sebaliknya, mengeliminir kualitas maskulin dalam menjalankan misi manusia sebagai 'abid, maka kemungkinan besar yang akan terjadi adalah fatalisme keagamaan, yakni kesalehan individual yang tidak membawa dampak ke dalam kehidupan sosial.

Idealnya, jika komposisi kedua kualitas ini menyatu dalam diri setiap orang, maka yang akan terjadi adalah kedamaian kosmopolit (rahmatan li al-'alam³n) di tingkat makrokosmos dan negeri tenteram di bawah lindungan Tuhan (baldah Thayyibah wa Rab al-Gafur) di tingkat mikrokosmos

Sumber : Ustat Nasaruddin Umar

1 comment: