Tuesday, November 24, 2009

Ibnu Taimiyah : pengikut sufi yang ditenggelamkan WAHABI

Sebuah sejarah yang hilang dari ibnu taymiah
Para pengagum beliau menganggap bahwa ahli fikih dan hafiz hadis dari mazhab Hambali ini adalah musuh kaum sufi, dan beliau merupakan tokoh utama gerakan “Salafi” yang bertanggungjawab atas lahirnya gerakan masa sekarang yang mengarah pada ketidaktahuan sama sekali berkenaan dengan tasawuf. Padahal, Ibn Taymîyah sendiri sebenarnya adalah seorang sufi. Kaum “Salafi” berhati-hati sekali untuk tidak pernah memperlihatkan Ibn Taymîyah yang sufi, seakan beliau secara tegas menghalangi gerakan antisufi, yang mereka arahkan kepada beliau.
Perbincangan Ibn Taymîyah mengenai tasawuf penuh dengan hal-hal yang bertentangan dan membingungkan. Meskipun beliau menyamaratakan semua jenis tudingan terhadap kaum sufi, beliau tidak dapat mengingkari keagungan tasawuf seperti yang disepakati oleh umat, jauh sebelum beliau muncul. Walhasil, beliau sering tersaksikan merendahkan tasawuf, mempertanyakan orang-orang sufi sezamannya, dan membuat keutamaan kelompok kecil kaum Muslim ini menjadi kelompok biasa-biasa saja. Pada saat yang sama, beliau berbangga sebagai orang sufi dari tarekat Qâdiriyyah yang memiliki garis suksesi langsung ke Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâni, sebagaimana ditunjukkan dalam uraian berikut.

Hendaknya jelas bahwa alasan dikutipnya bukti-bukti berikut ini bukan karena pengarang menganggap Ibn Taymîyah sebagai tokoh yang merepresentasikan tasawuf. Labih tepatnya, beliau tidak merepresentasikan tasawuf lebih dari merepresentasikan akidah Islam arus utama. Pandangan beliau dikutip di sini hanya untuk menunjukkan bahwa penggambaran yang salah tentang beliau oleh para orientalis dan kaum “Salafi” sebagai musuh tasawuf tidaklah didasarkan pada penelitian yang cermat. Tanpa memerhatikan perasaan kelompok manapun, berbagai fakta jelas membuktikan bahwa Ibn Taymîyah tidak punya pilihan selain harus menerima tasawuf dan dasar-dasar ajarannya. Lebih jauh lagi, fakta-fakta menunjukkan bahwa beliau ini bukan hanya mengaku sebagai seorang sufi, akan tetapi juga suka mengenakan mantel (khirqah) ke-syekh-an dalam tradisi tarekat Qâdiriyyah.

Sebagaimana disebutkan di atas, Ibn Taymîyah sangat kagum sekali pada ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâni, orang yang digelarinya sebagai “Guru Sufi-ku” (syaikhunâ) dan “Tuan-ku” (sayyidî) secara eksklusif di dalam keseluruhan isi kitabnya Fatâwâ. Kecenderungan sufistik dari Ibn Taymîyah dan ketakzimannya kepada ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâni dapat juga dilihat dalam syarah seratus halamannya tentang Futûh al-Ghaib. Syarah itu sendiri hanya meliput lima khutbah dari keseluruhan tujuh puluh delapan khutbah, akan tetapi menunjukkan bahwa Ibn Taymîyah menganggap tasawuf sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat Islam.152
Dalam penjelasannya itu, Ibn Taymîyah menegaskan bahwa keharusan mendahulukan syariah membentuk suatu tradisi yang paling sahih dalam tasawuf. Untuk menegaskan hal ini beliau menyebutkan lebih dari selusin tokoh terdahulu, demikian juga syekh-syekh sufi yang lebih kini seperti rekannya dari mazhab Hanbali, yaitu al-Anshari al-Harâwî dan ‘Abd al-Qâdir, dan guru dari ‘Abd al-Qâdir sendiri, yaitu Hammad al-Dabbâs:


Orang-orang yang tulus di antara para pengikut mirip-Jalan mayoritas para syekh terdahulu (syuyûkh al-salaf) seperti Fudhail Ibn Iyadh, Ibrâhîm Ibn Adham, Ma`rûf al-Karkhi, al-Sârî al-Saqati, al-Junaid Ibn Muhammad, dan guru-guru sufi awal lainnya, seperti Syekh ‘Abd al-Qâdir, Syekh Hammâd, Syekh Abu al-Bayân dan yang lainnya di antara para tokoh sufi yang belakangan—tidak mengizinkan para pengikut jalan sufi meninggalkan perintah dan larangan syariah, bahkan sekalipun orang itu dapat terbang di udara atau berjalan di atas air.153

Di sana-sini, Ibn Taymîyah membela kaum sufi sebagai orang-orang yang mengikuti jalan sunah sebagaimana tergambarkan pada ajaran-ajaran dan tulisan-tulisan mereka:
Para syekh besar yang disebutkan oleh Abu ‘Abd al-Rahmân al-Sulâmî dalam Thabaqât al-Shûfiyyah, dan ‘Abd al-Qâsim al-Qusyayrî dalam al-Risâlah, adalah para penganut mazhab Suni dan mazhab ahli hadis, seperti Fudhail Ibn `Iyadh, al-Junaid Ibn Muhammad, Sahl Ibn Abdullah al-Tustari, Amr Ibn Utsman al-Makki, Abu ‘Abd Allah Muhammad Ibn Kafîf al-Sîrâzi, dan yang lain-lainnya. Perkataan-perkataan mereka didasarkan pada Sunah dan mereka mengarang buku-buku tentang Sunah.154

Dalam risalahnya tentang perbedaan antara bentuk-bentuk ibadah yang sunah dan yang bidah,155 Ibn Taymîyah menyatakan secara pas bahwa cara yang mengikuti sunah adalah metode dan cara yang dilakukan oleh “mereka yang mengikuti jalan sufi,” atau “jalan pengingkar nafsu” (zuhd), dan mereka yang mengikuti “apa yang disebut kaum fakir dan tasawuf (yaitu, fukara dan kaum sufi):
Yang sahih adalah cara yang dilakukan oleh orang yang berusaha mendekati Allah. Itulah jalan Allah. Itulah kesalehan, ketaatan, perbuatan baik, ihsan dan kebenaran. Itulah jalan dari orang-orang yang mengikuti jalan sufi (al-sâlikîn), dan metode yang digunakan oleh orang-orang yang menuju Allah dan menghamba kepada-Nya; itulah jalan yang ditempuh oleh setiap orang yang menghendaki Allah dan mengikuti jalan pengingkaran nafsu (zuhud) dan tuntunan agama, dan apa yang disebut dengan kefakiran dan tasawuf dan yang serupa dengannya.156

Berkaitan dengan ajaran ‘Abd al-Qâdir bahwa penempuh jalan sufi (sâlik), harus kosong dari keinginan-keinginan yang dibolehkan, Ibn Taymîyah menetapkan bahwa maksud ‘Abd al-Qâdir adalah bahwa seseorang seharusnyalah membuang hal-hal yang diperbolehkan yang tidak dilarang, karena mungkin di dalamnya ada bahaya. Sejauh mana? Apabila pada dasarnya Islam itu adalah mengetahui dan mengemban perintah-perintah Tuhan, maka harus ada cara bagi para pejuang di jalan itu untuk menetapkan kehendak Allah pada setiap situasi tertentu. Ibn Taymîyah mengakui bahwa Alquran dan Sunah tidaklah meliputi setiap peristiwa yang mungkin dalam kehidupan setiap orang mukmin. Meskipun demikian, apabila tujuan dari ketundukkan pada kehendak dan kemauan Allah harus dipenuhi oleh mereka yang mencari-Nya, maka harus ada cara buat orang-orang yang berusaha keras untuk memastikan perintah Tuhan itu dalam bentuk-bentuk khususnya.

Jawaban Ibn Taymîyah adalah menerapkan konsep ijtihad yang syah dalam tarekat, khususnya dalam penggunaan ilhâm, atau inspirasi. Dalam usaha menyatukan antara kemauannya dan kemauan Allah, seorang sufi yang benar mencapai suatu keadaan di mana ia tidak menginginkan apa pun lebih dari menemukan kebaikan yang lebih besar, yang paling menyenangkan dan paling disukai oleh Allah. Tatkala dasar-dasar hukum lahir tidak dapat mengarahkan dia dalam soal-soal semacam itu, ia dapat mengandalkan pandangan-pandangan sufi standar yang diperoleh dari inspirasi (ilhâm) perorangan dan persepsi yang bersifat perasaan (dzauq):

Apabila seorang penempuh jalan Sufi telah secara kreatif berupaya melihat indikasi syariah yang bersifat lahiriah dan melihat tidak adanya kemungkinan yang jelas sekaitan dengan tindakan yang lebih ia sukai, bisa jadi kemudian ia merasa mendapat ilham, selaras dengan kebaikan niat dan ketakwaanya kepada Allah, untuk memilih salah satu di antara dua tindakan yang lebih unggul dari yang lainnya. Ilham jenis ini merupakan petunjuk menuju kebenaran. Bahkan mungkin saja ia merupakan petunjuk yang lebih kuat dibandingkan dengan qiyas (analogi) yang lemah, hadis yang lemah, argumen-argumen harfiah yang lemah (zhawâhir), dan praduga kebersambungan yang lemah (istishhâb) yang digunakan oleh banyak orang yang mempelajari prinsip-prinsip, perbedaan-perbedaan, dan sistematisasi fikih.157

Ibn Taymîyah mendasarkan pandangannya ini pada prinsip bahwa Allah telah memberikan kecenderungan yang alami terhadap kebenaran pada umat manusia, dan apabila kecenderungan alami ini didasarkan pada hakikat iman dan disinari oleh ajaran Alquran, dan para pejuang di jalan ini tidak dapat menetapkan kemauan Allah secara persis dalam keadaan khusus, maka hatinya akan menunjukkan kepadanya arah tindakan yang harus ditempuh. Ilham semacam ini, yang ia dapatkan, merupakan sumber paling kuat yang mungkin dalam situasi demikian. Pejuang tersebut tentu saja kadang-kadang melakukan kesalahan, dibimbing secara salah oleh inspirasi atau persepsinya melalui intuisi tentang situasi tertentu, sebagaimana halnya seorang mujtahid kadang-kadang juga melakukan kesalahan. Meskipun demikian, Ibn Taymîyah mengatakan, bahkan kalau seorang mujtahid atau pejuang yang mendapat ilham itu salah sekalipun, ia telah melakukan ketaatan.

Mengikuti ilham atau dzauq bukanlah berarti mengikuti hawa nafsu atau kesukaannya sendiri.158 Dalam suratnya kepada Nasr al-Manbiji, Ibn Taymîyah mengkualifikasikan intuisi ini sebagai “al-dzauq al-îmânî” (yang diberitahu oleh rasa keimanan). Yang ingin beliau tegaskan, sebagaimana termuat di dalam penjelasannya mengenai al-Futûh, adalah bahwa pengalaman yang bekaitan dengan ilham menurut sifat dasarnya adalah meragukan, dan perlu dikualifikasi dan diberi keterangan dengan kriteria-kriteria Alquran dan Sunah. Dalam pandangannya ilham tidaklah juga menggiring pada kebenaran. Yang dapat dilakukan oleh ilham hanyalah memberikan landasan-landasan yang kokoh bagi orang beriman dalam memilih arah tindakan yang mungkin lebih benar dalam suatu keadaan tertentu dan membantunya dalam menyesuaikan kemauannya, dalam hal-hal kecil yang spesifik dalam kehidupannya, dengan kemauan Penciptanya dan Pemberi perintah kepadanya.159

Karya-karya Ibn Taymîyah yang lainnya juga penuh dengan pujian kepada ajaran sufi. Sebagai contoh, dalam kitabnya al-Ihtijâj bi al-Qadar, beliau lebih membela penekanan kaum Sufi terhadap cinta kepada Allah dan sikap ikhlas mereka terhadap agama daripada pendekatan intelektual, selama sesuai dengan ajaran-ajaran Alquran, hadis sahih, dan ijmâ` al-salaf:
Adapun kaum sufi, mereka menegaskan cinta (kepada Allah), dan hal ini lebih nyata di kalangan mereka daripada semua masalah lainnya. Dasar dari Jalan mereka adalah tidak banyak kemauan dan cinta. Penegasan cinta kepada Allah begitu dikenal dalam pembicaraan tokoh-tokoh mereka, baik yang terdahulu atau yang sekarang, sebagaimana ditegaskan dalam Alquran, Sunah dan kesepakatan ulama salaf.160

Ibn Taymîyah juga terkenal karena pengingkarannya terhadap Ibn ‘Arabî. Meski demikian, apa yang dia ingkari bukanlah Ibn ‘Arabînya, tetapi bukunya yang sangat kecil yang berjudul Fushûsh al-Hikam, yang hanya terdiri dari satu jilid yang sangat tipis. Adapun mengenai magnum opus atau karya besarnya, yaitu al-Futûhât al-Makkiyyah, Ibn Taymîyah mengangumi karya besar ini tidak kurang dari semua orang lain di kalangan umat Islam yang melihatnya. Perasaannya diungkapkan dalam suratnya kepada ‘Abd al-Fath Nasr al-Maunaiji (w. 709H):
Saya adalah salah seorang di antara orang-orang yang, sebelumnya, suka mengambil pandangan terbaik dari Ibn ‘Arabî dan memberikan pujian kepadanya, karena banyak manfaat yang saya lihat dalam kitab-kitabnya, sebagaimana yang ia katakan dalam banyak kitabnya, sebagai contoh: al-Futûhât, al-Kanh, al-Muhkam al-Marbûth, al-Durrat al-Fâkhirah, Matâl al-Nujûm, dan karya-karya lainnya yang sejenis.161

Ibn Taymîyah selanjutnya mengatakan bahwa beliau mengubah pendapatnya, bukan karena sesuatu hal dalam kitab-kitab ini, akan tetapi hanya karena membaca kitab Fushûsh.
Sekarang marilah kita beralih pada bukti yang menunjukkan afiliasi Ibn Taymîyah dengan Tarekat Sufi Qâdiriyah dan pengakuan beliau sendiri bahwa beliau telah menerima khirqah, atau mantel kewenangan Qâdiriyyah dari ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâni melalui satu rantai yang terdiri dari tiga syekh.162 Ketiga syekh ini tiada lain adalah tiga Ibn Qudâmah yang termasuk sumber rujukan yang diakui dalam mazhab Hambali.163

Dalam sebuah manuskrip Yusuf Ibn ‘Abd al-Hâdi al-Hanbali, Ibn Taymîyah dimasukkan dalam satu silsilah spiritual sufi bersama ulama-ulama Hambali terkenal lainnya. Mata rantai dari silsilah ini, secara menurun, adalah:
1. ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâni (w. 561H)
2. a. Abu `Umar Ibn Qudâmah (w. 607H)
2 b. Muwaffaq al-Dîn Ibn Qudâmah (w. 620H)
3. Ibn Abi `Umar Ibn Qudâmah (w. 682H)
4. Ibn Taymîyah (w. 728H)
5. Ibn Qayyîm al-Jawziyyah (w. 751H)
6. Ibn Rajab (w. 795H)

Kedua Abu Umar Ibn Qudâmah dan saudaranya Muwaffaq al-Dîn Ibn Qudâmah menerima khirqah secara langsung dari ‘Abd al-Qâdir.
Ibn Taymîyah kemudian dikutip oleh Ibn ‘Abd al-Hâdi ketika menegaskan afiliasi sufinya pada tarekat Qâdiriyyah dan tarekat-tarekat sufi lainnya.
Saya mengenakan mantel sufi dari sejumlah syekh dari berbagai tarekat (labitstu khirqat al-tashawwuf min thuruqi jamâ`atin min al-syuyûkhi), di antara mereka adalah syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jîli [=al-Jîlâni], yang tarekatnya merupakan tarekat paling agung di antara tarekat-tarekat yang terkenal.

Lebih jauh beliau mengatakan:
Tarekat yang paling agung (ajall al-thuruq) adalah tarekat majikanku (sayyidî) ‘Abd al-Qâdir al-Jîli [al-Jîlâni], semoga Allah memberikan rahmat kepadanya.165

Bukti lebih jauh yang membenarkan hal ini datang dari Ibn Taymîyah dalam salah satu karyanya sendiri:
Aku mengenakan mantel sufi yang diberkati dari ‘Abd al-Qâdir, antara beliau denganku ada dua syekh (labist al-khirqat al-mubârakata li al-syaikh ‘Abd al-Qâdir wa bainî wa bainahû itsnâni)166

Ibn Taymîyah, karena itu, membenarkan bahwa beliau adalah seorang pembaca serius kitab al-Futûhât al-Makkiyyah Ibn ‘Arabî, beliau menganggap ‘Abd al-Qâdir al-Jîlaâni sebagai guru sufinya, dan beliau merupakan bagian dari jamaah Qâdiriyyah dan jamaah-jamaah sufi lainnya. Apa komentarnya tentang tasawuf dan kaum sufi pada umumnya?167
Dalam tulisannya yang berjudul al-Shûfiyyah wa al-Fuqarâ’ dan kitabnya Majmû`at Ffatâwâ Ibn Taimiyyah al-Kubrâ, beliau menyatakan:
Kata sufi tidak dikenal pada tiga abad pertama tapi penggunaannya menjadi sangat dikenal setelah itu. Lebih dari sejumlah imam dan syekh membicarakan tentangnya, seperti Ahmad Ibn Hanbal, Abu Sulaiman al-Dârâni, dan yang lainnya. Diceriterakan juga bahwa Shufyan al-Tsauri menggunakan istilah ini. Ada juga yang menyebutkan istilah itu berkenaan dengan Hasan al-Basri.168

Ibn Taymîyah kemudian menarik kesimpulan bahwa tasawuf berasal dari Bashrah di tengah beberapa generasi setelah tabiin, karena beliau mendapatkan bahwa kebanyakan dari kaum sufi awal berasal dari sana dan beliau tidak menemukan bukti-bukti keberadaannya di tempat lain. Dalam hal ini, beliau telah membatasi tasawuf secara salah pada suatu tempat dan waktu khusus tertentu, seraya memutusnya dari mata rantai yang berhubungan dengan masa Nabi saw. dan para sahabat. Ini merupakan salah satu penyimpulan yang tidak benar yang telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan, di antara kaum “Salafi” masa sekarang, seperti “Di manakah tasawuf disebutkan di dalam Alquran dan Sunah?” Kepada para penanya semacam ini, Ibn `Ajîbah menjawab:
Pembangun dari ilmu tasawuf ini adalah Nabi saw. sendiri yang diajarinya oleh Allah melalui wahyu dan ilham.169

Dengan kemurahan Allah, kami telah memaparkan masalah ini dalam uraian yang panjang lebar mengenai dalil-dalil tentang tasawuf pada halaman-halaman sebelumnya.
Ibn Taymîyah melanjutkan:
Tasawuf meliputi haqâ’iq (hakekat-hakekat) dan ahwâl (keadaan pengalaman rohani) yang diungkapkan oleh para sufi dalam ilmu mereka … Sebagian orang mengatakan bahwa sufi adalah orang yang membersihkan dirinya dari segala sesuatu yang mengganggu dirinya dari ingat kepada Allah dan menyibukkan dirinya dengan perenungan tentang hari akhirat, sampai-sampai antara emas dan batu akan sama saja nilainya bagi mereka. Sebagian lain mengatakan bahwa tasawuf adalah memelihara nilai-nilai yang mulia dan meninggalkan keinginan-keinginan terhadap kemasyhuran dan hal yang tak berguna, dan yang sejenisnya. Oleh karena itu, makna dari sufi bersentuhan dengan makna shiddîq atau seseorang yang telah mencapai kepercayaan sempurna, karena sebaik-baiknya umat manusia setelah para nabi adalah shiddîqîn, sebagaimana Allah telah sebutkan di dalam ayat: Dan barangispa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama-sama dengan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, shiddîqîn (para wali yang berkepercayaan penuh), syuhada, dan orang-orang yang saleh. Betapa indahnya pertemanan dengan mereka! (Q.S. al-Nisâ [4]: 69).
Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa setelah para nabi tidak ada lagi seseorang yang lebih mulia daripada seorang sufi, dan seorang sufi, pada hakekatnya, adalah sejenis shiddîqîn tersebut, yang mengkhususkan diri dalam zuhud dan ibadah (al-Shûfi huwa fi al-haqîqati nau`un min al-shiddîqîna fa huwa al-shiddîq al-ladzî ikhtashsha bi al-zuhdi wa al-`ibâdat) Seorang Sufi adalah “seorang saleh dari kalangan tarekat,” sebagaimana yang lain-lainnya disebut dengan “orang-orang saleh dari kalangan ulama” dan “orang-orang saleh dari kalangan penguasa”…

Sebagian orang mengkritik para pengikut sufi dan mengatakan bahwa mereka adalah ahli bidah dan keluar dari sunah … tapi yang sebenarnya adalah mereka itu melakukan ijtihad dalam rangka menaati Allah sebagaimana telah dilakukan juga oleh lainnya yang taat kepada Allah. Maka dari mereka kamu akan menemukan al-sâbiq al-muqarrab (orang yang paling unggul dalam kedekatan) sebagai hasil dari perjuangannya…., sementara sebagian dari mereka adalah dari Golongan Kanan … dan di antara mereka yang mengaku-aku berafiliasi dengan mereka, ada yang tidak jujur pada dirinya sendiri, dengan durhaka kepada Tuhannya. Mereka inilah kelompok ahli bidah dan berfikiran bebas (zindiq) yang mengaku-aku berafiliasi dengan kaum sufi akan tetapi dalam pandangan para sufi sejati, mereka tidak termasuk ke dalamnya, contohnya adalah al-Hallâj.170

Tasawuf telah bercabang dan berbeda-beda, sedangkan para sufi terbagi ke dalam tiga jenis:
1. Shûfiyyat al-haqâ’iq: kaum sufi sejati, yakni mereka yang kami sebutkan di atas;
2. Shûfiyyat al-arzâq: kaum sufi pencari rezeki yang hidup dengan infak-infak dari rumah-rumah singgah dan madrasah-madrasah sufi; tidak selayaknya mereka masuk ke dalam golongan haqâ’iq, yang merupakan kelompok paling jarang…
3. Shûfiyyat al-rasm: kaum sufi dalam penampilan fisik saja, yang hanya tertarik untuk menonjolkan nama dan menampakkan pakaian, dst.171

Adapun tentang fanâ’ (fana), yaitu istilah yang digunakan oleh kaum sufi secara harfiah untuk menunjukkan peluruhan atau peluruhan-diri, dan syathahât, atau pernyataan-pernyataan para sufi yang mengungkapkan perasaan ketuhanannya, Ibn Taymîyah mengatakan:
Keadaan cinta ini merupakan ciri khusus dari banyak para Pecinta Allah dan para Pencari (Ahl al-irâdah). Seseorang lenyap dalam dirinya sendiri karena tujuan cintanya—yaitu Allah—melalui kedalaman cintanya. Dia akan menghadirkan Allah, bukan menghadirkan dirinya, mengingat Allah dan melupakan dirinya, mempersaksikan Allah dan tidak mempersaksikan dirinya, berada dalam Allah dan tidak berada untuk dirinya. Apabila ia telah mencapai tingkatan ini, ia tidak lagi merasakan keberadaan dirinya. Itulah sebabnya mengapa dalam keadaan ini ia bisa saja mengatakan, ana al-haqq (saya adalah Yang Benar), atau subhânî (Mahasuci Aku), dan mâ fi al-jubbat illâ Allâh (Tidak ada sesuatu pun di dalam mantelku selain Allah), karena ia sedang mabuk kepayang dalam cinta kepada Allah dan ini merupakan sejenis kesenangan dan kebahagiaan yang tidak dapat dikontrol olehnya ….

Persoalan ini mengandung kebenaran sekaligus kesalahan. Apabila seseorang, melalui kegairahannya, memasuki keadaan dimabuk cinta (`isyq) kepada Allah, ia akan meninggalkan pikirannya, dan apabila ia memasuki keadaan tidak sadar diri, ia akan mendapatkan dirinya seolah-olah sedang menerima konsep ittihâd (penyatuan dengan Allah). Saya tidak menganggap bahwa hal ini adalah suatu dosa, karena orang tersebut dimaafkan dan tidak seorangpun boleh menghukumnya karena ia tidak sadar atas apa yang ia lakukan. Pena tidak menyalahkan seorang yang hilang ingatan, kecuali apabila ia telah pulih kesadarannya (dan melakukan tindakan yang sama). Meskipun demikian, apabila ia dalam keadaan tersebut dan melakukan tindakan salah, maka ia akan termasuk ke dalam orang yang dimaksud oleh firman Allah: Wahai Tuhan kami, janganlah engkau menghukum kami apabila kami bertindak lupa atau berbuat salah (Q.S. al-Baqarah [2]: 286). Tidak ada cela atasmu apabila kamu tidak berniat melakukan suatu kesalahan.172
Ada sebuah kisah tentang dua orang yang saling mencintai begitu kuat sehingga pada suatu hari, tatkala salah seorang di antara keduanya jatuh ke laut, yang satunya ikut menceburkan diri, kemudian yang pertama bertanya: “Apa yang membuatmu jatuh ke sini seperti aku?” Temannya itu menjawab, “Aku sudah luruh di dalam dirimu dan tidak lagi melihat diriku. Aku kira engkau ini adalah aku dan aku adalah engkau”… Oleh karena itu, selama seseorang tidak mabuk karena sesuatu yang dilarang, tindakannya itu dapat diterima, akan tetapi apabila ia mabuk karena sesuatu yang dilarang (jadi niatnya adalah buruk) maka ia tidak dapat dimaafkan.173

Kutipan-kutipan di atas menunjukkan keluasan yang sesungguhnya dari keakraban Ibn Taymîyah dengan jalur-jalur tasawuf yang begitu luas. Pengetahuan seperti ini tak lain hanyalah bagian dari pendidikan seseorang yang menyatakan memiliki pengetahuan, pada masa Ibn Taymîyah dan sebelum masanya. Tasawuf bukanlah hal di luar dari dan tak dikenal dalam struktur besar ilmu-ilmu keislaman. Namun demikian, dalam hubungannya dengan akidah yang diurai di atas, kesalahfahaman Ibn Taymîyah jauh lebih besar daripada pemahamannya tentang tasawuf. Hal ini dijelaskan dengan kecermatan yang mirip pembedahan oleh seorang syekh sufi besar Ibn ‘Athâ’ Allah dalam perdebatannya dengan Ibn Taymîyah di mesjid al-Azhar, Kairo.

Sumber : Tasawuf dan Ihsan : Syeikh Muhammad Hisyam Al Kabbani

Monday, November 23, 2009

Let Go Of This World! Rumi Poem

RumiPersian/Farsi to English translation by Sologak

Ini adalah sebuah puisi Rumi sebagai undangan kepada siapa saja yang sudah muak dengan dunia materialistis ini yang penuh dengan kekosongan,serta untuk para pencari kerinduan untuk perjalanan spiritual yang pasti. Rumi adalah penulis puisi pendek terbaik dengan karya yang penuh dengan cerita-cerita mistis dan keajaiban dari sebuah perjalanan spiritual Sufi dalam mencari kesatuan dengan yang Maha pencipta. Mudah-mudahan dapat menangkap kedalaman ajaran-ajaran mistis Rumi ini.

ای دل زجان گزر کن تا جان جانان ببینی
بگزراین جهان را تا آن جهان ببینی
تا نگزری ز عقبی هر گزرسی به عقبی
آزاد شو ازاینجا تا بیگمان ببینی
گر تو نشان بجویی ای یار اندرین ره
از خویش بی نشان شو تا تو نشان ببینی
از چهار و پنج بگزر در شش و هفت بنگر
چون از زمین برآیی هفت آسمان ببینی
هفت آسمان چو دیدی در هشتمین فلک شو
پا بر سر مکان ده تا لامکان ببینی
در لامکان چو دیدی جانهای نازنینان
بی تن نهاده سر ها در آستان ببینی
بربند چشم دعوی بگشا چشم معنی
یکدم زخود نهان شو او را عیان ببینی
ای نا نهاده گامی در راه نامرادی
بی رنج گنج وحدت کی رایگان ببینی
های های شمس تبریز خاموش باش ناحق
تا جان خویش را زان شادمان ببینی




O hati
Lepaskan jiwa
Sehingga Anda dapat melihat
kedalaman dari jiwa.
lepaskan dunia
Sehingga Anda dapat melihat
dunia yang sebenarnya

Jika Anda tidak melepaskan dunia ini
Anda tidak akan pernah melihat kehidupan sesudah nanti
Tetapkan diri Anda bebas dari tempat ini
Sehingga Anda dapat melihat
Satu yang tak diragukan lagi.

Temanku,
Jalan ini
Jika Anda sedang mencari tanda
Lepaskan diri Anda , menjadi kosong
Sehingga Anda dapat melihat
tanda yang sebenarnya.

Melewati surga keempat dan kelima
Dan mencari yang keenam dan ketujuh
Lepaskan bumi ini
Sehingga Anda dapat melihat
Ketujuh Surga....

Setelah Anda melihat yang Ketujuh
pergilah ke surga yang kedelapan
Tapi lepaskan juga yang terlalu
Sehingga Anda dapat melihat
Tempat yang sebenarnya kosong

Sekali di dalam kehampaan ruang
Anda akan melihat jiwa-jiwa surgawi
Menundukkan kepala mereka ke bawah
Di Ambang-Nya.
Pejamkan mata kesulitan dalam pencarian
Dan buka mata mistik yang satu
Sembunyikan dari diri sendiri hanya untuk sekali
Sehingga Anda dapat melihat
Terlihat Selalu Satu.

Hai orang yang bahkan belum menetapkan kaki
Di jalan kegagalan
Tanpa rasa sakit dan penderitaan
Anda tidak akan pernah mudah menemukan
Harta Nya.

Hey Hey Syams Tabriz!
Jadilah Diam Anda yang banyak bicara satu!
Jadi, Anda juga dapat melihat
Yang Menemani jiwamu
Satu-satunya yang akan menyenangkanmu



Sumber : Sologak

Thursday, November 19, 2009

Beautiful Mahallul Qyam in Mawlidun Nabi

Mawlid bersama Mawlana Syaikh Hisham Kabbani dan Habib Syech AbdulQadir Assegaf
di Masjid Agung Surakarta akhir Mei 2009

Wednesday, November 18, 2009

Mengenal Ihsan....

Karena rahmat Allah itu sungguh dekat kepada orang-orang yang baik (muhsinîn) (Q.S. al-A’râf [7]: 56).

Siapa pun yang menyerahkan dirinya kepada Allah sepenuhnya dan ia dalam keadaan ihsân ……… kepada Allahlah segala sesuatu akan kembali (31:21)


Ayat-ayat tentang keadaan ihsân ini begitu banyak, tetapi beberapa ayat yang telah dikutip sudah mencukupi sebagai bukti. Makna dari ihsân, sebagaimana Nabi saw. mendefinisikannya, adalah beribadah dengan penuh kerendahan hati dan kehadiran hati (khudhû’ dan khusyu’) seolah-olah kita sedang melihat Allah dan sadar bahwa Dia melihat kita.
Al-Jurjani (w. 816H), dalam Kitâb al-Ta`rîfât-nya mengatakan:
Al-Ihsân: kata benda verbal (mashdar) yang menunjuk pada apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dengan cara yang sebaik-baiknya. Dalam syariah, kata ini berarti beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat Dia, dan apabila kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu. Makna ini merupakan pencapaian sejati dari ibadah seorang hamba yang didasarkan pada penyaksian hakikat ketuhanan dengan cahaya penglihatan spiritual (al-tahaqquq bi al-`ubûdiyyah `alâ musyâhadati hadhrat al-rubûbiyyat bi nûr al-bashîrah). Yakni: penyaksian Allah sebagaimana Dia digambarkan dengan sifat-sifat-Nya dan melalui sifat-sifat-Nya itulah seseorang akan menyaksikan-Nya dengan keyakinan, bukan secara maknawi (fa huwa yarâhu yaqînan walâ yarâhu haqîqatan). Itulah sebabnya mengapa Nabi saw. mengatakan, “Seolah-olah kamu sedang melihatnya,” karena seseorang menyaksikan-Nya dari balik hijab sifat-sifat-Nya.3

Dalam kamus, kata ihsân dan kata bentukannya memiliki beberapa makna berikut:
Hasuna: “menjadi, tampak, menjadikan sempurna, indah, bagus”
Ihsânan: “(berbuat secara) sempurna”
Ahsana: “ia melakukan suatu kebaikan yang besar”
Ihsân: “kebaikan”
Husnâ: “hadiah” atau “balasan baik”
Hasan: “sempurna, indah, bagus”
Hisânun: “sesuatu yang indah sempurna”

“Menjadi indah” dalam makna yang pertama berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat yang baik, untuk memperelok diri secara batin dan lahir. Apabila digunakan sebagai kata sifat, maka kata ini berarti kebaikan sebagai suatu ciri atau sikap batin dan juga kesabaran atau ketenangan.

Mulai sekarang akan semakin jelaslah bahwa keadaan ihsân yang disebutkan di dalam Alquran itu merupakan suatu keadaan yang sangat tinggi, yang ditunjukkan oleh malaikat Jibril sebagai bagian hakiki dari agama, dan dia meletakkannya pada tingkatan yang sama dengan keadaan islam (ketundukkan) dan iman (kepercayaan). Agama terdiri dari tiga keadaan: islam, iman dan ihsan, yang masing-masing memiliki definisinya sendiri-sendiri. Itulah sebabnya, mengapa di dalam Alquran hal ini disebutkan pada banyak sekali tempat, dan mengapa Nabi saw., ketika ditanya oleh Jibril mengenai ihsan, memberikan penekanan yang sama pentingnya dengan islam dan iman.

Karena sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang taqwa dan orang-orang yang baik (Q.S. al-Isrâ’ [16]: 128)

Adakah lagi balasan bagi kebaikan (ihsan) selain dari Kebaikan? (Q.S. al-Rahmân [55]: 60)

Dan Ia membalas mereka yang berbuat baik dengan apa yang lebih baik (53:31)

Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat baik (ihsân), dan memberi kepada kerabat, dan Ia melarang perbuatan keji dan buruk dan berlaku zalim; Ia mengajari kalian agar kalian menjadi ingat. (Q.S. al-Isrâ’ [16]: 90)

Tidak, siapa saja yang menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah dan ia seorang yang muhsin (yang melakukan ihsân), ia mendapatkan balasannya di sisi Tuhannya, kepada mereka tidak ada rasa takut juga mereka tidak akan bersedih (Q.S. al-Baqarah [2]: 112).

Siapa pun yang menyerahkan dirinya kepada Allah sepenuhnya dan ia dalam keadaan ihsân ……… kepada Allahlah segala sesuatu akan kembali (31:21)

Siapa lagi yang dapat lebih baik dalam agama daripada orang berserah diri kepada Allah sepenuh dirinya dan melakukan kebaikan dengan cara yang Allah sukai … (4:125)

Inilah makna dari keseluruhan ilmu tasawuf. Mereka yang menentangnya, silakan saja mengubah istilah ini apabila sesuai dengan keinginannya, karena istilah apa pun tidak akan mengubah sifat dasar atau hakikat fundamental dari sesuatu. Sebagaimana peribahasa mengatakan, “bunga ros dengan nama lain apa pun akan tetap harum baunya.”[]

Catatan:
1. Ibnu Qayyîm, Raudhat al-Muhibbîn wa Nuzhat al-Musytâqîn, (Beirut: Dar al-kutub al-‘ilmiyyah, 1983) h.406-409.
2. Pandangan al-Ghazâlî disebutkan di dalam The Reliance of the Traveller, h.12. Untuk Suyuti, lihat di bawah, Bab 4: Perkataan dan Tulisan Para Imam dan Ulama.
3. Al-Syarîf ‘Alî Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitâb al-ta`rîfât (Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyyah, 1408/1988) h. 12

by Sufi Road

Tuesday, November 17, 2009

Ibn Arabi's Thursday Morning Prayer


Bismillahirrohmanirrohim
Ini adalah kutipan dari Al-Awrad al-Yawmiyya (awrat Harian Shalat) Syekh Muhyiddin Ibn al-Arabi (1165-1240 Masehi). yang diterjemahkan oleh Pablo Beneito dan Stephen Hirtenstein in engglish, Anqa Publishing 2000.
Karya-karya Ibnu Arabi yang dikenal sebagai karya yang kompleks. Do'anya adalah Do'a yang tidak biasa, ini sarat dengan mutiara haqiqah dan makrifah. Bahkan, untuk benar-benar bisa mengerti doanya harus terlebih dahulu mengerti tauhid di tingkat tinggi. Meskipun demikian, saya coba menerjemahkan mujajat doa beliauagar kita bisa memperoleh manfaat dari Sheikhul ini al-Akbar, bi-iznillah
--------------------------------------------------------------------------

Ya Allah, Engkau Berdiri diDzat-Mu sendiri; meliputi dengan semua KualitasMu; Terungkap melalui NamaMu; terwujud dalam tindakan-tindakanMu, dan tersembunyi berdasarkan apa yang hanya diketahui Oleh Mu! Engkau Esa dan Mulia, sebagaimana Engkau adalah Satu, yang Unik, dan tak ada yang menyamaiMu, sebagaimana Engkau tetap bertahan dalam keabadian tanpa awal atau akhir. Engkau,Engkau adalah Tuhan, yang berdasarkan Penyatuan adalah Hanya Satu dimaksud dalam iyyaka na'budu. Dengan Kau di sana tidak ada yang lain dari Kau; pada Engkau tidak ada yang lain Kecuali Engkau
Aku bertanya tentang Engkau, ya Allah, untuk penihilan didalam eksistensiMu, dan untuk subsisten melalui Engkau, bukan dengan Engkau. Tidak ada Tuhan selain Engkau!

Ya Allah, Sesungguhnya Engkau adalah ada, sedangkan aku pada dasarnya tidak ada. Subsistensi Engkau berdasarkan hakikat Mu; aku hanyalah sebuah kebetulan. Jadi, Tuhan, Sungguh Maha sempurna Engkau atas dasar ketidak adaan aku, sungguhpun bahwa aku dapat menjadi seperti aku adalah tidak sama sekali, dan Engkau adalah seperti Engkau, sebagaimana Engkau telah ada! Tidak ada Tuhan selain Engkau!

Engkau adalah Yang menyelesaikan apa pun yang Engkau inginkan, sementara aku seorang pelayan untuk Engkau, salah satu di antara beberapa dari para pelayan Mu. Allahku, Engkau Maha Berkehendak dan Engkau telah berkehendak melalui aku - dengan demikian aku adalah kehendakmu dan Engkau adalah Maha Berkehendak. Tidak ada Tuhan selain Engkau!

Ya Allah, Engkau adalah yang tersembunyi dalam semua yang gaib; nyata dalam setiap realitas ; terdengar di setiap tempat, baik itu benar atau salah; dikenal di tingkat Persatuan dan Duality. Anda adalah Satu nama oleh Nama-nama yang telah dibawa turun melalui wahyu, sehingga Anda terselubung dari terlihat oleh mata, dan tersembunyi dari yang ditangkap oleh indra

Ya Allah, seberapa sering aku menangis kepada Mu sebagai hamba yang meminta, ketika (dalam kebenaran) Engkau adalah Tempat Meminta untuk orang yang meminta. Seberapa sering saya diam-diam berbisik kepada-Mu sebagai orang yang mengadu kedekatan kepadaMu, Engkau adalah Tuhan tempat semua makhluk mengadu kepada Mu
Ya Allah, jika persatuan adalah inti dari keterpisahan, dan kedekatan jiwa yang sangat jauh, jika pengetahuan menjadi situs kebodohan, apa kemudian tujuan dan di mana titik awal dari jalan menuju Mu?

Ya Allah, Engkau adalah apa yang dicari di balik tujuan setiap pencari, Pengetahuan yang diakui di mata para penolakMu, Sungguh dekat dengan orang-orang yang memisahkan diri dari Mu. Namun di sini pemahaman telah salah arti- siapa yang menjauhkan dari siapa? Yang disukai oleh siapa? Kecantikan berkata, "Kau sendiri", sementara kehinaan nerkata "Dia yang membuat baik dan indah semua yang Dia telah ciptakan". Yang pertama yang berakhir pada perjalanan yang datang dan berhenti, dan yang terakhir adalah cadar yang membayangkan ada yang lain (selain Anda).

Ya Allah, ketaatanku tidak menguntungkan Mu, ketidaktaatanku juga tidak membahayakan Mu. Di tangan Mahakuasa Mu terletak Kedaulatan perintah hati dan jiwaku, dan untuk Mu aku kembalikan seluruh urusan, tanpa membedakan antara taat atau tidak taat

Ya Allah, untuk Engkau bukti rasional tidak membenarkan Mu, atau bukti logis memverifikasi MuYa Allah, Apakah ini "Kau" dan "aku"Apakah ini "Dia (lk) dan "dia(pr)

Ya Allah, seharusnya aku mencari mu dalam pluralitas atau dalam kesatuan? Berapa lama aku harus menunggu untuk Mu? Dan bagaimana hal ini dapat dilakukan ketika seorang hamba tidak memiliki kesiapan maupun dukungan tanpa Mu?

Ya Allah, subsistensiku melalui Mu terletak pada penihilan diriku, dari diriku sendiri, atau dari Mu melalui Engkau? Apakah dengan demikian pemusnahan diwujudkan melalui Mu, atau membayangkan melalui saya, atau sebaliknya, atau bahkan keduanya sekaligus? Dan apakah subsisten-ku sama dengan Mu?

Ya Allah, Kebisuanku adalah sebuah keharusan kekeluan dan ketulian, dan berbicara adalah sebuah keharusan kekeluan dan ketulian! Kebingungan dalam semua, namun tidak ada kebingungan (kepada-Mu)

Dalam Nama Tuhan, Tuhanku adalah Allah. Dalam Nama Tuhan, Allah sudah cukup bagiku. Dalam Nama Tuhan, itu adalah oleh Allah. Dalam Nama Tuhan, aku menempatkan kepercayaan pada Allah. Dalam Nama Tuhan, aku minta Allah. Dalam Nama Tuhan, tidak ada kekuasaan atau kekuatan menabung melalui Allah.

ya Allah, kepadamu kami tempatkan kepercayaan kami, untuk Mu kami berpaling; untuk Mu kami kembali
Ya Allah, aku meminta Anda untuk memberikan saya misteri dari perintahMu dan kemegahan Keputusan Mu; dari yang merangkul semua yang bisa memahami Pengetahuan Mu, dari semua hak-hak istimewa dalam kebijaksanaanmu; dan dari Kemahadahsyatan kekuatanmu

Ya Allah, ya Allah, ya Allah! O yang Pertama, O yang Terakhir! O yang Ada, O yang tersembunyi ! O yang maha menerangi, O Kebenaran, ! Ya Allah, yang membedakan rahasia hatiku dengan rahasia Keesaan-Mu! Menyucikan jiwaku dengan ayat-ayat dikuduskan Mu! Memurnikan hatiku dengan pengetahuan murni didalam singgasanaMu!

Ya Allah, instruksikan intelek ku dalam PengetahuanMu, dan aroma jiwaku dengan kebaikan MuliaMu! Yakinkan aku dengan memperluas menerangi indra sinar dari kehadiran-Mu

Ya Allah, pindahkan aku dari tangga menurun sebagai makhluk ciptaanMu kedalam kepada cahaya dalam Realitas KebenaranMu. Kau adalah Teman dan Master ku: kepada-Mu aku mati dan dari Kau Aku hidup. Engkau lah tempat ku memmuja dan memohon perlindungan
Lihatlah aku, ya Allah, mudah2an Engkau berkenaan mengatur semua tahapan perkembangan yang harmonis, dan dari Mu Kau sucikan batin rahasia hati di mana aku hidup, di mana Engkau menaikkan roh zikir ku ke Majelis Tertinggi, dan dimana engkau menerangiku dengan cahayamu.
Ya Allah, jauhkanlah aku dari seluruh ciptaan-Mu dan persatukanlah aku dalam spiritualMu.

Ya Allah, KepadaMu aku berpaling untuk meminta bantuan; KepadaMu Aku palingkan wajahku ; kepada Mu aku meminta, dan Engkau, dan tidak ada selain Engkau, bahwa aku sungguh-sungguh menginginkan Mu! Aku tidak meminta dari Anda selain dari Engkau, aku juga tidak meminta dari Anda apa pun selain Anda sendiri!

Ya Allah, aku mohon kepadamu sebagai tempatku memohon, melalui syafaat mu, yang paling mulia, yang terdekat tercinta, teman yang paling pelindung, Muhammad umat pilihan, yang tenang benar-benar murni dan setuju untuk (oleh Allah), melalui nabi Muhammad yang Kau pilih. Bagi dia aku bertanya bahwa Engkau memberkati dia dengan Berkat yang kekal abadi tanpa awal atau akhir, yang terus-menerus memberkahi. sedemikian rupa sehingga Engkau membuat aku menyaksikan realitas kesempurnaan-Nya, Tidak ada kekuasaan atau kekuatan tersimpan melainkan melalui keAgunganMu, Yang Maha Tinggi, aku memuji Mu, Tuhan dari seluruh alam

.___________________________________________________________
* Purchase 'The Seven Days of the Heart' from Anqa Publishing (£13.95)
* New from Anqa: 'The Four Pillars of Spiritual Transformation' - Ibn 'Arabi's Hilyat al-abdal, on the value of silence, seclusion, hunger and vigilance.
* lisanaldin.blogspot.com

"Sleepless Nights" Of Rumi


Sebuah karya besar dan mulia dari seorang Sastrawan Persia yaitu Rumi, yang dalam kesedihan dan penderitaan atas kehilangan kekasih mistisnya, Syams dari Tabriz, menyelami ajaran-ajaran sufi di Zawiahnya di kota Konya Turki, dan memulai tarian berputar dan membacakan puisi yang terdengar lantang di jalan-jalan kota di malam hari.
Lyric berikut yang diterjemahkan hanyalah beberapa ratus dari lyrik-lysrik spontan Rumi yang telah diucapkan saat menyeru di jalan sepanjang malam, mencari kekasihnya yang hilang. Begadang semalaman, Rumi tidak hanya menulis puisi dan merenungkan kehidupan dalam kesendiriannya setelah kepergian Syam, tetapi ia juga menggunakan heningnya malam untuk terlibat dalam gemerlap spiritual dalam dialog-dialog yang paling dicari dan dihargai: Sebuah Percakapan dengan Kebenaran.

*********************
بحمد اله که خلقان جمله خفتند---و من بر خالقم برکار امشب
زهی کرو فر و اقبال بیدار---که حق بیدار و من بیدار امشب
اگر چشمم بخسپد تا سحرگر---زچشم خود شوم بیزار امشب

Terima kasih Tuhan
Semua orang lain sudah tertidur
Dan aku sendirian
Dengan Pencipta saya malam ini.
Terima kasih Surga
Untuk rahmat ini dan keberuntungan
Kebenaran adalah terjaga
Begitu juga aku malam ini.
Saya lebih suka menyerahkan mataku
Jika mereka untuk menutup malam ini
*********************

امشب شب من بسی ضعیف و زار است---امشب شب پرداختی اسرار است

Malam ini,
Saya mengalami hal yang sangat
Sengsara dan malam yang sunyi
Malam ini adalah malam
Memecahkan Misteri

*********************


شب گردم گرد شهر چون باد چون آب---از گشتن گرد شهر کس ناید خواب


Seperti air dan angin
Aku sedang berkeliaran di sekitar kota
di malam hari.
Tidak ada yang bisa tertidur
Dengan semua yang berputar-putar di sekitar

*********************


گر آب حیات خوشگواری ایخواب---امشب برما کار نداری ایخواب


O tidur,
Bahkan jika Anda adalah yang terbaik
Air Kehidupan
Anda tidak ada hubungannya
Bersamaku malam ini.
*********************


صد شب خفتی حاصل آن دیدی---از بهر خدا امشب تا روز مخسب


Kau sudah tidur seratus malam sebelumnya
Dan melihat dengan hasil.
demi Tuhan,
Tetaplah terjaga
Sepanjang malam malam ini

*********************


با یار بچرخم و بدل میگویم---یارب که کلید صبح گم بادا امشب



Aku berputar-putar dengan Cintaku
Dan berbicara dengan hati
Ya Tuhan
akankah kunci untuk fajar
Akan hilang malam ini.

*********************
Persian/Farsi to English translations & brief explanation by Sologak

Habib Abdul Qadir bin Ahmad As-Saqqaf

Habib Abdul Qadir bin Ahmad As-Saqqaf dilahirkan di Kota Seiwun, Hadramaut pada tahun 1331/1911. Ayahanda beliau Habib Ahmad bin Abdur Rahman As-Saqqaf adalah seorang ulama terkemuka di Hadhramaut yang menjadi pengganti kepada Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, penyusun Simthud Durar. Selain belajar daripada ayahandanya sendiri, beliau juga belajar dengan Syeikh Taha bin Abdullah Bahmid. Beliau juga belajar di Madrasah an-Nahdhatul Ilmiyyah dan telah menghafal al-Quran serta menguasai qiraah as-sab'ah daripada gurunya Syeikh Hasan bin Abdullah Baraja'.

Lihat bagaimana pemuka habaib menuntut ilmu bukan saja daripada kalangan mereka saja, tetapi kepada ulama lain yang alim walaupun tidak senasab dengan mereka. terkadang ada sikap segelintir ulama yang hanya mahu belajar daripada ulama yang sama senasab dengan mereka, jalan siapa yang kamu turuti sebenarnya. Sungguh para salaf kamu terdahulu menuntut ilmu daripada ulama tanpa melihat asal keturunan mereka hatta Imam al-Haddad mempunyai guru daripada kalangan masyaikh.



Antara guru-guru beliau lagi ialah Habib Umar bin Hamid As-Saqqaf, Habib Abdullah bin Alwi Al-Habsyi, Habib Umar bin Abdul Qadir As-Saqqaf, Habib Abdullah bin Aidrus Al-Aidrus dan ramai lagi. Habib Abdul Qadir adalah seorang ulama dan dai yang menjalankan dakwahnya dengan penuh kebijaksanaan. Akhlaknya yang tinggi mampu menawan hati sesiapa sahaja, ilmu, warak dan akhlaknya menyebabkan beliau dikasihi dan dihormati. Khabarnya Buya Hamka pernah ziarah kepada beliau sewaktu di Jeddah, dan setelah berbincang dengan beliau, akhirnya Buya Hamka mengakui bahawa Baitun Nubuwwah Bani Zahra min Ali masih wujud dan berkesinambungan dalam darah para saadah Bani Alawi.


Dakwah Habib Abdul Qadir tidak terhad kepada bumi kelahirannya saja, tetapi beliau juga memperluaskan medan dakwahnya sehingga ke Singapura dan Indonesia. Akhirnya atas permintaan beberapa ulama Hijaz, beliau menetap di Hijaz dengan bermukim di Makkah, Madinah dan Jeddah untuk mengasuh majlis-majlis taklim. Dalam usia yang sudah hendak mencapai seabad, beliau menghabiskan masanya di Jeddah dan masih menerima ziarahnya para penziarah. Mudah-mudahan Allah memberkahi usia dan segala usaha beliau dan membalasinya dengan sebaik-baik balasan.

Sumber:
bahrusshofa - Taman habaib


Sufi Book : Dua Pendidik Sejati

Penulis : Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladdawilah
Pustaka : Basma

Sebuah biografi dua ulama besar kebanggaan Ahlisunah wal jamaah

Ini adalah sebuah buku yang cukup baik dibaca oleh para muhibbun dan ahli tariqa. Beliah adalah dua Quthb Alawiyyin yang cukup mashur di kota malang. Semoga Allah selalu meridhai beliau dan kita semua.
Habib Abdullah bin ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih al-’Alawi adalah ulama yang masyhur alim dalam ilmu hadits. Beliau menggantikan ayahandanya Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih sebagai penerus mengasuh dan memimpin pesantren yang diasaskan ayahandanya tersebut pada 12 Rabiulawal 1364 / 12 Februari 1945 di Kota Malang, Jawa Timur.
Pesantren yang terkenal dengan nama Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pesantren ini telah melahirkan ramai ulama yang kemudiannya bertebaran di segenap pelusuk Nusantara. Sebahagiannya telah menurut jejak langkah guru mereka dengan membuka pesantren-pesantren demi menyiarkan dakwah dan ilmu, antaranya ialah Habib Ahmad al-Habsyi (PP ar-Riyadh, Palembang), Habib Muhammad Ba’Abud (PP Darun Nasyi-in, Lawang), Kiyai Haji ‘Alawi Muhammad (PP at-Taroqy, Sampang, Madura) dan ramai lagi.
Bapak dan anak sama-sama ulama besar, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik ulung dan bijak. Merekalah Habib Abdul Qadir dan Habib Abdullah. Masyarakat Malang dan sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama kharismatik, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik yang bijaksana.
Mereka adalah bapak dan anak: Habib Abdul Qadir Bilfagih dan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Begitu besar keinginan sang ayah untuk “mencetak” anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadis – mewarisi ilmunya. Buku ini berusaha untuk menguak sedikit atsar dan biografi dari kedua tokoh tersebut
Sumber: tamanhabaib

Qasidah Qad Kafaani

QASIDAH ALHABIB ABDULLAH BIN ALWI ALHADDAD

قَدْ كَفَانِيْ عِلْـمُ رَبِّـيْ مِنْ سُؤَالِيْ وَاخْتِيَـارِيْ

فَدُعَائِيْ وَابْتِـهَـالِـيْ شَاهِدٌ لِيْ بِانْكِسَـارِيْ

Sungguh telah cukup bagiku, segala ilmu Allah Tuhanku, dari segala permintaan dan ikhtiarku, Maka segala do'a dan pujianku, semata-mata hanya menunjukkan kebutuhanku.

فَلِهَـذَا السِّـرِّ أَدْعُـوْ فِيْ يَسَارِيْ وَعَسَـارِيْ

أَنَاعَبْدٌ صَارَ فَـخْـرِيْ ضِمْنَ فَقْرِيْ وَاضْطِرَارِيْ

Dengan cara beginilah aku berdo'a, dalam kemudahan dan kesulitanku, Aku hanyalah budak yang hanya bisa bangga, padahal didalamnya penuh dengan kefaqiran dan keterpaksaan


قَدْ كَفَانِيْ عِلْـمُ رَبِّـيْ مِنْ سُؤَالِيْ وَاخْتِيَـارِيْ
Sungguh telah cukup bagiku, segala ilmu Allah Tuhanku, dari segala permintaan dan ikhtiarku,


يَا إِلَهِيْ وَمَـلِـيْـكِيْ أَنْتَ تَعْلَمْ كَيْفَ حَـالِيْ

وَبِمَا قَدْ حَلَّ قَلْـبِـيْ مِنْ هُمُوْمٍ وَاشْتِـغَـالِ

Wahai Tuhanku, Wahai Yang Memilikiku, Engkau mengetahui bagaimana keadaanku ini, Dan mengetahui apa-apa yang telah menimpa hatiku, berupa kesusahan dan kesibukanku.


فَتَدَارَكْنِـيْ بِلُـطْـفٍ مِنْكَ يَامَوْلَى الْمَوَالِـيْ

يَاكَرِيْمَ الْوَجْهِ غِثْنِـيْ قَبْلَ اَنْ يَفْنَى اصْطِبَارِيْ


Tolonglah aku dengan kelembutanMu Ya Allah, Wahai Yang Memiliki seluruh makhluq, Wahai Yang Maha Dermawan, tolonglah aku. Sebelum hilang kesabaranku.


قَدْ كَفَانِيْ عِلْـمُ رَبِّـيْ مِنْ سُؤَالِيْ وَاخْتِيَـارِيْ

Sungguh telah cukup bagiku, segala ilmu Allah Tuhanku, dari segala permintaan dan ikhtiarku,


يَاسَرِيْعَ الْغَوْثِ غَوْ ثًـا مِنْكَ يُدْرِكْنِيْ سَرِيْـعًـا

يَهْزِمُ الْعُسْرَ وَيَـأْتِـيْ بِاللَّذِيْ أَرْجُوْ جَمِيْـعًـا


Wahai Dzat yang cepat pertolongannya, datangkanlah pertolonganMu kepadaku secepatnya, Yang akan menghilangkan segala kesulitanku, dan mewujudkan semua keinginanku.


يَاقَرِيْـبًا يَامُـجِيْـبًـا يَاعَلِيْمًـا يَاسَمِـيْـعًـا

قَدْ تَحَقَّقْتُ بِعَجْـزِيْ وَ خُضُوْعِيْ وَ انْكِسَارِيْ


Wahai Yang Maha Dekat, dan Maha Mengabulkan Doa-doa, Wahai Yang Maha Mengetahui dan Mendengar. Sungguh telah benar-benar kunyatakan kelemahanku, segala kerendahan dan
kepedihan hatiku.

قَدْ كَفَانِيْ عِلْـمُ رَبِّـيْ مِنْ سُؤَالِيْ وَاخْتِيَـارِيْ

Sungguh telah cukup bagiku, segala ilmu Allah Tuhanku, dari segala permintaan dan ikhtiarku,


لَمْ أَزَلْ بِالْبَابِ وَاقِـفْ فَارْحَمَنْ رَبِّي وُقُوْفِـيْ

وَبِوَادِي الْفَضْلِ عَاكِفْ فَأَدِمْ رَبِّيْ عُكُـوْفِـيْ


Aku senantiasa berdiri didepan pintuMu, maka kasihanilah aku yang berdiri ini Ya Allah. Dan di lembah anugerahMu aku menetap, maka kekalkanlah penetapanku ini Ya Allah.


وَ لِحُسْنِ الظَّـنْ أُلاَزِمْ فَهُوَ خِلِّي وَحَلِـيْـفِـيْ

وَ أَنِيْسِيْ وَجَلِـيْسِـيْ طُوْلَ لَيْلِيْ وَنَـهَـارِيْ


Wajib bagiku senantiasa berprasangka baik padaMu, karena hal itu sebagai kekasih dan teman setiaku, Yang selalu menghibur dan menemaniku, sepanjang malam dan siangku.


قَدْ كَفَانِيْ عِلْـمُ رَبِّـيْ مِنْ سُؤَالِيْ وَاخْتِيَـارِيْ

Sungguh telah cukup bagiku, segala ilmu Allah Tuhanku, dari segala permintaan dan ikhtiarku,


حَاجَةً فِي النَّفْسِ يَـارَبْ فَاقْضِهَا يَاخَيْرَ قَـاضِـيْ

وَأَرِحْ سِرِّيْ وَقَـلْبِـيْ مِنْ لَظَاهَـا وَالشُّـوَاظِ


Segala keinginan nafsu yang ada dalam diriku Ya Allah, putuskanlah Wahai sebaik-baik Dzat yang memutuskan, Tentramkanlah jiwa dan hatiku, dari panasnya (godaan) dan berkobarnya nafsu.

فِيْ سُـرُوْرٍ وَحُبُـوْرٍ وَإِذَا مَاكُنْـتَ رَاضِـيْ

فَالْهَنَا وَالْبَسْطُ حَالِـيْ وَشِـعَـارِيْ وَدِثَـارِيْ


Kebahagiaan dan kegembiraanku, adalah apabila Engkau Ridho kepadaku. Maka keadaanku penuh dengan ketenangan dan kelapangan, sebagai harapan dalam batin dan lahirku.


قَدْ كَفَانِيْ عِلْـمُ رَبِّـيْ مِنْ سُؤَالِيْ وَاخْتِيَـارِيْ

Sungguh telah cukup bagiku, segala ilmu Allah Tuhanku, dari segala permintaan dan ikhtiarku,



Monday, November 16, 2009

Hikam Al Haddad : Mencintai Ahlul-Bait dan Menasihati Sebagian Mereka yang Menyimpang

[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]

Ada sebagian orang yang apabila dikatakan kepada mereka bahwa si fulan-yang termasuk anggota ahlul-bait (keluarga dan keturunan Rasulullah Saw)-melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari agama atau mencampurbaurkan antara yang halal dan haram, mereka lantas berkata, "Biarlah, ia adalah seorang dari ahlul-bait. Rasulullah Saw. pasti akan ber-syafa'at1 untuk anak-cucunya, dan mungkin pula dosa-dosa yang bagai¬manapun tak akan menjadi mudarat atas mereka." Sungguh ini adalah ucapan yang amat buruk, yang menimbulkan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi orang lain yang tergolong kaum jahil. Betapa seseorang akan berkata seperti itu, sedangkan dalam Al-Quran, Kitab Allah yang mulia, terdapat petunjuk bahwa anggota keluarga Rasulullah Saw. dilipatgandakan bagi mereka pahala amal baiknya, demikian pula hukuman atas perbuatan buruknya, yaitu dalam firman Allah:

Hai istri-istri Nabi, barang siapa di antara kamu melakukan per¬buatan keji yang nyata, dilipatgandakan baginya siksaan dua kali lipat dan itu adalah mudah bagi Allah. Barang siapa di antara kamu tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal saleh, kepadanya Kami beri pahalanya dua kali dan Kami sediakan baginya rezeki yang melimpah. (QS Al-Ahzab [33] 30-31)

Istri-istri Rasulullah Saw. adalah bagian dari keluarga rumah tangga beliau. Oleh sebab itu, siapa saja yang mengatakan atau mengira bahwa meninggalkan perbuatan ketaatan atau mengerja¬kan kemaksiatan tak mendatangkan mudarat bagi seseorang disebabkan kemuliaan nasabnya atau karena kebaikan amal serta pekerti leluhumya, orang itu sesungguhnya telah membuat dusta keji tentang Allah Swt. serta menyalahi ijmaa' (kesepakatan) seluruh kaum Muslim.

Namun, ahlul-bait Rasulullah Saw. memang memiliki kemuliaan khusus, dan beliau pun telah menunjukkan perhatiannya yang amat besar kepada mereka. Pada masa hidupnya, beliau berulang-¬ulang mengimbau agar umatnya mencintai dan menyayangi mereka. Dengan itu pula, Allah Swt. telah memerintahkan dalam firman-Nya:
Katakanlah wahai Muhammad, "Tiada aku minta suatu balasan melainkan kecintaanmu kepada kerabatku." (QS Al-Syura [42]: 23)


Oleh karena itu, sudah sepatutnya seluruh kaum Muslim me¬menuhi hati mereka dengan kecintaan dan kasih sayang kepada ahlul-bait serta menghormati dan memuliakan mereka, demi kekerabatan mereka dengan Rasulullah Saw, tanpa berlebih-¬lebihan dan sikap keterlaluan.

Selain itu, siapa saja dari kalangan ahlul-bait yang perilakunya menyamai atau hampir seperti perilaku salaf (leluhur) mereka yang saleh dan menempuh jalan mereka yang diridhai, maka ia adalah imam yang cahayanya dijadikan pelita penerang dan teladannya diikuti, seperti halnya para leluhur mereka yang berjalan di atas jalan hidayah. Sebab, dan merekalah imam-imam besar pada masa-¬masa lalu, seperti Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan dan Al-Husain (kedua cucu Rasulullah Saw). Juga, seperti Ja`far bin Abi Thalib (Al-Thayyar)2, Hamzah (Sayyid Al-Syuhada)3, demikian pula Abdullah bin 'Abbas dan ayahandanya, Al- Abbas(paman Nabi Saw), Imam Ali Zain Al-Abidin bin Husain4, Imam Muhammad Al-Baqir5 dan putranya, Imam Ja'far Al-Shadiq6 'alaihimus-salam, dan imam-imam lainnya dari ahlul-bait yang disucikan, dari yang terdahulu hingga keturunan mereka yang datang kemudian.

Adapun mereka yang berasal dari keluarga rumah tangga ahlul-bait ini, tetapi tidak menempuh jalan leluhur mereka yang disucikan, lalu mencampuradukkan antara yang baik dan buruk disebabkan kejahilannya, seyogianyalah mereka pun tetap dihormati sewajarnya, semata-mata disebabkan kekerabatan mereka dengan Nabi Saw. Namun, siapa saja yang memiliki ke¬ahlian atau kedudukan untuk memberi nasihat, hendaknya tidak segan-segan menasihati mereka dan mendesak agar mereka kembali menempuh jalan hidup para pendahulu mereka yang baik-baik, yang berilmu, beramal saleh, berakhlak mulia, dan ber¬perilaku luhur. Juga, menegaskan bahwa mereka sebenarnya lebih utama dan lebih patut berbuat seperti itu, dan bahwa ke¬muliaan nasab saja tak akan bermanfaat dan tak akan meninggikan derajat, selama mengabaikan ketakwaan, mencurahkan sepenuh perhatian pada dunia, meninggalkan amalan-amalan ketaatan, serta menistai diri dengan berbagai maksiat. Para ahli syair pun, apalagi para imam dan ulama, sering kali menandaskan makna ini seperti yang diucapkan seorang dari mereka:
Demi Allah, manusia hanyalah "putra" agamanya,
karenanya jangan meninggalkan takwa demi mengandalkan nasab.
Islam memuliakan Salman si orang Parsi,
sementara kemusyrikan menghempas Abu Lahab sang bangsawan.

Al-Mutanabbi berkata:
'Apabila jiwa sang bangsawan menyimpang dari leluhurnya, dada manfaat diperoleh walau tinggi kedudukannya."

Seorang penyair lain mengatakan:
Tiada berguna asal usul dari Hasyim, Bila jiwa dan semangatnya dari Bahilah.7

Pembicaraan tentang putra-putra para shalihin (di luar kalang¬an ahlul-bait) sama seperti pembicaraan tentang ahlui-bait juga. Maksudnya, siapa saja dari mereka yang menempuh jalan leluhur¬nya, maka ia pun seorang saleh seperti mereka, patut dimuliakan dan diharapkan barakah8-nya. Dan, siapa saja dari mereka yang menempuh jalan kejahilan dan kelengahan, hendaknya dinasihati dan dibimbing ke jalan kebenaran, juga dihormati sewajarnya, semata-mata demi mengingat para salafnya yang shalihin. Betapa tidak, sedangkan Allah Swt. telah berfirman tentang kedua orang anak kecil dan kebun peninggalan ayah mereka:
"Adapun tembok itu adalah kepunyaan dua anak muda yatim piatu di dalam kota; di bawah tembok itu ada harta kepunyaan keduanya dan ayah mereka seorang yang saleh. Maka, Tuhanmu ingin supaya mereka mencapai usia dewasa dan mengeluarkan hartanya sebagai rahmat dari Tuhanmu." (QS Al-Kahfi [18]:82)

Menurut sebagian ahli tafsir, ayah yang dimaksud dalam ayat ini ialah ayah mereka ketujuh dari silsilah ibu mereka. Kedua anak tersebut (berkat kesalehan ayah mereka) telah memperoleh penjagaan Allah dalam urusan duniawi mereka, apalagi-tentu¬nya-dalam urusan akhiramya.

Ketahuilah dan pahamilah. Letakkan segala sesuatu di tempatnya yang tepat dan berikan hak setiap orang kepadanya. Mintalah pertolongan Allah selalu, Anda akan beroleh kebaha¬giaan dan bimbingan. Sungguh, segala-galanya adalah milik Allah semata.



Sunday, November 1, 2009

The Sufi Meditation Center: Importance of the Breath part 2

www.sufimeditationcenter.com

Sufi Meditation

ILUSTRASI LANGKAH DEMI LANGKAH
MENGENAI MEDITASI SUFI

oleh: as-Sayyid Nurjan Mirahmadi


www.Nurmuhammad.com
www.sufimeditationcenter.com/

Conversation with God, a poem by Rumi

Ya Allah
Kau Tuhan semesta alam,
Kau Tuhan Langit dan Bumi.
Kau Tuhan Timur dan Barat,
Tanah dan Laut, yang atas dan bawah,
Para Manusia dan jiwa-jiwa.
Kau Awal dan Akhir.

Seluruh Dunia-Mu akan binasa,
Anda akhirat Satu.
Tak satu pun dari ciptaanMu
Akan bertahan di semesta-Mu,
Kau adalah Satu.
Kau adalah Tuhan
yang bertempat dan yang tidak bertempat
Kau adalah Raja yang tak tertandingi .

Untuk Satu Nabi (Musa),
Kau memberikan-Nya takhta Mesir
Nabi lain (Isya),
Kau mengirim dia sebagai "Gembala yang Baik"
Untuk Nabi Muhammad,
Kau memberikan dia ribuan perkumpulan malaikat
untuk "Perjalanan Malam" dan "malam mi'raj ".

Untuk orang -orang,
Kau sirami dengan harta dan kebahagiaan,
Kau memenuhi semua mimpi-mimpinya, memberikan kepadanya yang terbaik dari keberuntungan.

Kepada orang lain,
Kau membuat dia berkeliaran di seluruh dunia kelaparan,
Pencarian untuk sepotong roti.
Ya Allah
Selama aku hidup
Kau adalah Raja dan Alasanku
Kau adalah Jalan dan Tujuanku.

Rumi

خداوندا خداوند جهانی
خداوند زمین و آسمانی
خدای شرق و غرب و بر و بحری
خدای فوق و تحت و انس و جانی
جهان اول نبود آخر تو بودی
جهان آخر نماند تو بمانی
نماند زنده در عالم خلایق
تویی لایموت جاودانی
منزه پادشاه بی نظیری
خداوند مکان و لامکانی
یکی پیغمبری را تخت در مصر
یکی پیغمبری سازی شبانی
محمد را شب معراج یک شب
هزاران شربت وصلش چشانی
یکی راگنج بی رنجی دهی تو
نیازو نعمتش می پروانی
یکی را از برای یک شکم نان
بگرد جمله عالم میدوانی
خدایا تا زنده ام شاهم تو باشی
دلیل و منزل و راهم تو باشی
مولانا

O God
You're the Lord of the Universe,
You're the Lord of the Heaven and the Earth.
You're the Lord of the East and the West,
The Land and the Sea, the Above and the Under,
The Humans and the Souls.
You're the Beginning and the End.

This entire World of Yours will perish,
You're the Everlasting One.
None of Your Creatures
Will survive in this Universe of Yours,
You're the Immortal One.
You're the Lord of
The Place and the Place-less,
You're the Unparalleled King.

To one Prophet (Moses),
You grant him the throne of Egypt
To another Prophet (Jesus),
You send him as the "Good Shepherd"
To prophet Muhammad,
You bestow him a thousands tastes of Union
On his "Night Journey" and "Ascension Night".

To one person,
You shower him with treasures and happiness,
You fulfill all his dreams, granting him the best of lucks.
To another person,
You make him roam around the world starving,
Searching for a piece of bread.
O God
As long as I live
You're my King and my Reason
You're my Path and my Destination.
Rumi

sumber : Persian/Farsi to English translation by Sologak