Friday, October 16, 2009

Berbagi cinta bersama Mawlana Syekh Hisyam Kabbani QS” NOV 09

Hadiri acara kedatangan Mawlana Syekh Hisyam Kabbani di Indonesia
39 Oktober 2009 - 8 November 2009

Kamis, 29 Oktober 2009
Ba’da Isya : Zikir di Masjid Baitul Ihsan

Jumat, 30 Oktober 2009
Salat Jumat di Masjid Baitul Ihsan
Ba’da Isya : Hadrah Nite di Masjid Al Bina, Senayan

Sabtu, 31 Oktober 2009
Ba’da Ashar – Magrib : Kunjungan ke Pesantren Daarus Syifa al-Fitrat Sukabumi

Senin, 2 November 2009
Ba’da Isya : Haqqani Bali Gathering


Selasa, 3 November 2009
Ba’da Isya : Tausyiah di Mesjid Al Ishan, Jl. Hang Tuah Sanur, Bali (sebelah bali beach hotel)

Rabu, 4 November 2009
Ba’da Isya : Zikir & Hadrah di Villa Kampungku. Kompleks Perumahan Batu Jimbar, 75A Jl. Danau Tambligan, Sanur 80228, Denpasar Bali (khusus undangan, pendaftaran di Yayasan Haqqani Indonesia, hanya untuk 50 orang)

Kamis, 5 November 2009
Ba’da Isya: Maulid bersama K.H. Amir Hamza di Pesantren Darul Islah, Warung Buncit, Jaksel

Jumat, 6 November 2009
Ladies dhikr bersama Hajjah Naziha Adil Kabbani di Brawijaya IA/16 (khusus wanita, mulai pukul 11.00 WIB)

Salat Jumat di Masjid Pondok Indah

Ba’da Isya : Tabligh Akbar di Masjid Al-Madina CBD Ciledug (bersama Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, K.H. Amir Hamza, Ust. Jefri Bukhori, Ust.Asfa Davi Bya)

Catatan:
Acara sewaktu-waktu dapat berubah
Ikuti terus perkembangannya melalui milis, fb, twitter dan website Yayasan Haqqani Indonesia

http://www.naqsybandi.web.id/
http://www.sufilive.com

Thursday, October 15, 2009

Crossroads of Sufi Islam, Past and Present New York Times Report

By ROBERT F. WORTH
Published: October 14, 2009

Tarim, Yaman - lembah kering terpencil ini, dengan tebing menjulang tinggi dan rumah-rumah kuno dari lumpur bata , mungkin paling dikenal orang luar negri sebagai tempat lahirnya ayah dari Osama bin Laden . Kebanyakan laporan tentang kota yaman di Barat merujuk pada berita yang tidak menyenangkan itu sebagai "tanah air nenek moyang" dari pemimpin Al-Qaeda, yang seakan-akan menunjukkan pembunuhan ideologi telah dibentuk di sini.

Namun pada kenyataannya, Tarim dan sekitarnya adalah pusat sejarah tasawuf, untaian mistik dalam Islam. Sekolah agama setempat, Dar al-Mustafa, adalah tempat multikultural yang penuh dengan mahasiswa dari Indonesia dan California yang berjalan-jalan di sekitar kampus kecil mengenakan kupluk putih dan selendang berwarna-warni.
"Kenyataannya adalah bahwa Osama bin Laden tidak pernah ke Yaman," kata sufi Syaikh Habib Omar Bin Hafeez, direktur yang dihormati di pesantren Dar al-Mustafa, saat ia duduk di lantai di rumahnya makan malam dengan sekelompok siswa. "menurutnya tidak ada hubungannya dengan tempat ini."

Akhir-akhir ini, Al-Qaeda telah menemukan tempat perlindungan baru di sini dan melakukan sejumlah serangan. Tapi kelompok sufi, Habib Omar mengatakan, mereka tidak berasal dari sini. Sebagian besar kelompok pengikut mereka telah tinggal di Arab Saudi - seperti Bin Laden - dan mereka itu di sana, atau di Afghanistan atau Pakistan, mereka mengadopsi Wahhabi dan pola pikir jihad.

Habib Omar ditetapkan 16 tahun lalu untuk mengembalikan warisan agama kuno Tarim. Ini adalah warisan yang luar biasa untuk sebuah tanah yang gersang, kota yang jauh di sudut tenggara Jazirah Arab.


Sekitar 800 tahun yang lalu, para pedagang dari Tarim dan bagian-bagian lain Hadramaut, sebagai wilayah yang lebih luas diketahui, mulai berjalan menyusuri pantai ke Laut Arab dan selanjutnya dengan perahu ke Indonesia, Malaysia dan India. Mereka membawa agama mereka dengan mereka. Sembilan khususnya laki-laki yang saleh, kini dikenang sebagai " sembilan sufi orang-orang suci atau wali songo," Habib Omar berkata, karena keberhasilan mereka dalam menyebarkan Islam di seluruh Asia.

"Ini kota, dengan seribu tahun tradisi, adalah pensyiar utama yang menyebabkan 40 persen di dunia Muslim menjadi muslim," kata John Rhodus, 32 tahun dari Arizonan yang telah belajar di Dar al-Mustafa off sejak tahun 2000. tradisi sufi di tarim juga tampaknya telah membantu membentuk Islam yang moderat dan relatif banyak dipraktikkan di Asia Selatan.

pedagang Hadrami terkenal luar biasa,berani dan memiliki jaringan yang sukses hingga memasuki abad ke-20. Beberapa mencari keberuntungan mereka di Arab Saudi - termasuk Muhammad bin Laden, ayah Osama, yang menjadi raja konstruksi - dan tinggal di sana. Beberapa yang lain kembali ke rumah dan membangun istana-istana flamboyan sebagai monumen untuk keberhasilan mereka. Puluhan istana tetap, dalam berbagai gaya - Mogul, modernis, kolonial Inggris - yang kontras aneh dengan memakai bata lumpur untuk rumah dan masjidnya

Sebagian besar pedagang melarikan diri setelah junta Komunis merebut kekuasaan setelah penarikan Inggris dari Yaman selatan pada tahun 1967. Sekarang mereka ditinggalkan dan istana yang tertinggal, terlalu besar bahkan bagi negara untuk menjaganya di negara miskin ini.
perkembangan Komunis berlangsung pada tahun 1990 sampai saatnya yaman Utara dan Yaman Selatan bersatu , bahkan lebih buruk bagi mereka yang menolak untuk menerima pemerintah baru diterapkan dengan sekularisme.
"Beberapa ulama disiksa, yang lain dibunuh," kata Habib Omar. "Beberapa diikat ke bagian belakang mobil dan didorong melalui jalan-jalan sampai mereka mati." Ayah Habib Omar , yang pernah menjadi guru agama terkenal di Tarim juga diculik dan dibunuh.
Pada tahun 1993, habib Omar mulai mengajar di pesantren agama di rumahnya. Tiga tahun kemudian, ia pindah ke lantai dua gedung sekolah putih, dengan sebuah masjid. Sekarang ada sekitar 700 siswa, setidaknya setengah dari mereka orang Asia Selatan, dengan meningkatnya jumlah orang Amerika dan ingris.

Sebagian besar mahasiswa adalah berusia antara 18 dan 25. Mereka biasanya menghabiskan empat tahun belajar di sini sebelum kembali ke rumah mereka. habib Omar mendorong mereka untuk mengejar karir dan menyebarkan agaman dan menjadi ulama.

Akan tetapi, perkembangan selanjutnya tumbuh sekolah yang lebih militan yaitu Islam Wahhabi yang memperoleh pengikut di seluruh wilayah. Arab Saudi memberikan pembiayaan untuk kelompok Salafi yang ultrakonservatif dalam upaya untuk menopang pengaruhnya di sini.
Pada tahun 1991 Raja Saudi marah karena dukungan dukungan publik Yaman untuk Saddam Hussein, satu juta pekerja Yaman tiba-tiba dikirim pulang , banyak di antaranya telah tinggal di Arab Saudi selama puluhan tahun.

Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh, menampung orang2 Saudi dan menyambut banyak pelaku jihad Arab yang telah berjuang di Afghanistan. Kemudian, ia merekrut para pelaku jihad untuk melawan musuh-musuh politiknya dinegaranya, menimbulkan utang politik yang rumit upayanya untuk memerangi Al-Qaeda.

Beberapa mantan pejuang kembali di Hadramaut. Dua tahun yang lalu, salah satu dari komandan regional Al-Qaeda dibunuh, bersama dengan dua letnan, dalam tembak menembak sengit dengan militer Yaman hanya beberapa blok dari pesantren Dar al-Mustafa.
Dan di bulan Maret seorang pembom bunuh diri mengenakan sabuk bom yang menewaskan empat wisatawan warga Korea dan seorang pemandu di kota dekat Shibam.
Al-Qaeda cabang Arab mengaku bertanggung jawab. .
Beberapa siswa di Dar al-Mustafa mengatakan ada kekhawatiran tentang kemungkinan konflik dengan garis keras Wahhabi di Hadramawt, meskipun sekolah itu sendiri tidak pernah diserang atau terancam.

Pada tur di Tarim, salah satu guru sekolah, Abdullah Ali, menunjukkan ke rumah di mana para pemimpin-Qaeda telah terbunuh. Mereka telah berada di sana selama beberapa waktu, dia berkata, mereka melarikan diri pengawasan dan menyamarkan sebagai perempuan dengan jubah hitam tebal. Terdapat bahan peledak dan senjata ditemukan di dalam rumahnya,

Habib Omar Bin Hafeez diakui, melakukan pendekatan yang lebih lembut terhadap musuh Islam di Hadramawt.

"Ada perbedaan," katanya. "Tapi kami menemukan cara yang tepat untuk berurusan dengan orang-orang ini adalah untuk mengingatkan mereka tentang prinsip-prinsip Islam, tidak berbicara buruk tentang mereka.

Sumber : New York Times Report

Monday, October 12, 2009

Kitab Sairul Salikin

Data ringkas kitab

Judul: Sair al-Salikin ila ‘Ibadati Rabbil ‘Alamin

Kategori: Tasawuf

Pengarang: Syaikh ‘Abdusshomad al-Falimbani رحمه الله تعالى

Sair al-Salikin adalah merupakan sebuah karya agung tasawwuf didalam bahasa Melayu. Sebuah karya yang sangat terkenal di Nusantara. Kitab ini terdiri daripada 4 juz yaitu sebagai berikut :

- Juz pertama membahas tentang ilmu ushuluddin dan segala perkara yangberkaitan dengan ibadat yang zahir – ditulis pada 1193H/1779M dan selesai pada awal tahun 1194H/1780M di Mekah
-Juz kedua membahas tentang adat yakni mengenai hukum dan adab yang berlaku pada adat seperti makan-minum dan sebagainya - mulai ditulis pada 1194H/1780M dan selesai pada hari Sabtu, 19 Ramadan 1195H/1781di Thaif.
-Juz ketiga membahas tentang muhlikat yaitu perkara-perkara yang membinasakan sekelian amal - mulai ditulis pada tahun 1195H/1781M dan diselesaikan pada 19 Safar 1197 H/1783 M di Makkah.
-Juz keempat membahas tentang munjiyat yaitu perkara-perkara yang menghilangkan amal - Syaikh Abdusshamad tidak menyebut tahun ia mulai menulisnya, tetapi beliau selesai menulisnya pada 20 Ramadan 1203H/1788 di Thaif

Manuskrip Kitab Sairus Salikin


Sebahagian besar isi kitab ini adalah merupakan terjemahan dari Lubabul Ihya yaitu mukhtasar (ringkasan) kitab Ihya Ulumiddin. Namun Syaikh Abdusshomad juga menaqalkan dari kitab-kitab lain. Antaranya yaitu :
- Kitab-kitab karangan Imam al-Ghazali seperti Ihya Ulumiddin, Bidayah al-Hidayah, Madhmun, Jawahirul Qur’an, Minhajul ‘Abidin, Arbai’in fi Ushuliddin dan sebagainya; -- Kitab al-Habib Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad, Al-Fushulul al-Ilmiyyah wa al-Ushuulul Hukmiyyah
Kitab Syaikh Hussin bin ‘Abdullah BaFadhal: Ghaits al-Mawahib al-‘Aliyah fi
Syarh al-Hikam al-‘Athoiyyah oleh Ibn ‘Abbad;
Al-Fusul al-Miftahiyyah wa al-Nafahat al-Ruhaniyyah oleh ; Sairus Suluk oleh Syaikh Qasim al-Halabi; Al-Durruts Tsamin fi Bayani al-Muhim min ‘Ilmiddin oleh al-Habib ‘Abdul Qadir al-‘Aidarus;
Iqna oleh Syaikh Khatib al-Syarbini; Minhajul Qawim oleh Syaikh Ibn Hajar al-Haithami; Al-Ghunyah oleh Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani; Syarh al-Raudhu al-Thalib oleh Syaikh Zakaria al-Anshari;
Tuhfatul Muhtaj oleh Syaikh Ibn Hajar al-Haithami; Hikam oleh Ibn ‘Athoillah; Raudhah al-Thalibin oleh Imam Nawawi;
Nashoih al-Diniyyah oleh Habib ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad;
Futuhatul Makkiyah oleh Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi;
Uhud al-Muhammadiah oleh Syaikh ‘Abdul Wahhab al-Sya’rani;
Hikam Ibn Ruslan; ad-Da'wah at-Tammah wa Tazkiratul 'Aammah oleh Habib ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad; Hikam Abi Madyan;
Risalah al-Makkiyah oleh Syaikh Tajuddin al-Naqsyabandi; Al-Nafahat al-Ilahiyyah fi Suluk al-Thariqah al-Muhamadiyah oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Karim al-Samman;
Hidayatul Ahbab Fima Lil Khalwati Minas Syuruthi wal Adab – Syaikh Musthafa al-Bakri; Adabul Murid oleh Abu al-Najib Abdul Qahhar bin ‘Abdullah bin Muhammad al-Sahruwardi;
Al-Fushul al-Fathiyyah oleh al-‘Arifbillah asy-Syaikh Hussin bin ‘Abdullah BaFadhal; Al-Minahus Saniyyah ‘ala al-Wasiyyah al-Matbuliyah oleh Syaikh ‘Abdul Wahhab al-Sya’rani;
Risalah Asrarul ‘Ibadah oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Karim al-Samman;
Risalah Anwarul Qudsiyah oleh Syaikh ‘Abdul Wahhab al-Sya’rani;
Madarij al-Salikin oleh Syaikh ‘Abdul Wahhab al-Sya’rani;
Fath al-Rahman Syarah Hikam Ibn Ruslan oleh Syaikh Zakaria al-Anshari;
Al-Yawaqit wa al-Jawahir fi Bayani ‘Aqaid al-Akhbar- Syaikh ‘Abdul Wahhab al-Sya’rani; Masyariqul Anwar al-Qudsiyah fi Bayani ‘Uhudil Muhammadiyah oleh Syaikh ‘Abdul Wahhab al-Sya’rani;
Zahrul Basim oleh Sayyid ‘Abdul Qadir; Al-Minan al-Kubra oleh Syaikh ‘Abdul Wahhab al-Sya’rani;
Al-Amin fi Intifa’il Mayyiti Bil Qur’anil ‘Adzim oleh Syaikh Abdurrahman al-Tahawi

Didalam kitab ini juga, Syaikh ‘Abdusshomad telah mengkategorikan kitab-kitab tasawuf kepada 3 tingkatan yaitu untuk dipelajari dan dikaji oleh golongan mubtadi, mutawassith dan muntahi. Adapun kitab yang beliau karang ini, beliau kagetorikan sebagai kitab lanjutan yang harus dikaji bagi murid yang mubtadi setelah mempelajari dan mengkaji kitab Hidayatus Salikin yang juga dikarang oleh beliau.

Walaupun kitab ini sudah berusia lebih 200 tahun, namun kandungan kitab ini bernilai tinggi dan bersifat ilmiyah tasawuf yang cukup mantap serta masih segar, relevan dan terkehadapan untuk dijadikan panduan generasi kini. Oleh kerana itu ia masih dicetak dan beredar dipasaran kitab.

Sumber " Alfanshuri

Sunday, October 11, 2009

Sufi Book : Canda Ala Sufi - Nashruddin

Dalam dunia lawak, kelucuan sering diidentikkan dengan kepandiran. Pabila seseorang bertindak bodoh, konyol, dan berani melakukan hal-hal yang dianggap tabu, maka orang-orang akan mencapnya sebagai pelawak yang sesungguhnya. Apalagi, kalau dia juga mau
mengenakan pakaian yang aneh, kedodoran, penuh warna, nyentrik, dan Iain-lain. Pendeknya, mengumpulkan segala sesuatu yang cenderung dibuat-buat...

Benar, antara dunia lelucon dengan dunia filsafat, misalnya, terdapat jurang dalam dan terjal yang tak mungkin dijembatani. Yang pertamaterlalu naif, dangkal, sepele, dan tak bermakna,sementara yang kedua cenderung serius, mendalam, universal, dan penuh makna.

Demikian pula antara dunia lawak dengan dunia hikmah (kebijaksanaan para arif), misalnya. Yang pertama bersifat duniawi, profan, melalaikan, dan Iain-lain, sementara yang kedua bersifat ilahiah, sakral, mengingatkan pada kematian dan
Iain-lain. Ya, antara dunia "tertawa" dengan dunia "serius" terdapat pertentangan tajam yang tak mungkin dirujukkan

Akan tetapi, Nashruddin (tokoh kita dalam buku lucu ini) mampu merujukkan dua hal yang tampak bertentangan tersebut. Dengan segala tingkah-polahnya, dia berhasil memadukan "dua dunia" yang mirip air dengan minyak itu. Dia adalah seorang filosof besar di masanya, juga seorang ulama dan ahli 'irfan (baca: sufi). Meski dituduh gila, dia mampu menjadi orang terdekat, penasihat, dan "penghibur" sang penakluk dari
Mongol, Taimurlank. Berkat jasanya, beberapa perpustakaan dan ulama besar di masa itu
berhasil diselamatkan dari amukan amarah dan penghancuran besar-besaran yang dilakukan.

berikut beberapa contoh Humour Sufi Ala Nazaruddin

Asal-usul Bintang
Suatu hari, Nashruddin ditanya oleh
beberapa orang. Jika bulan yang baru
tampak, maka di manakah bulan yang
lama? Nashruddin menjawab, "Mereka memotongnya
dan membuatnya menjadi bintangbintang
baru."

Bukan Pedagang Hari dan Bulan
Suatu saat, Nashruddin ditanya oleh
seseorang, "Sekarang ini hari apa dan
bulan apa?" Nashruddin menjawab, "Sejak kapan
aku menjadi pedagang hari dan bulan, sehingga
aku dapat menjawab pertanyaanmu itu?"

Sapi yang Mengetahui Kesalahannya
Tatkala Nashruddin sedang duduk
santai di kebunnya, tiba-tiba dia dikejutkan
oleh seekor sapi yang masuk ke tempat itu,
sehingga merusak segala tanaman yang ada di
sana. Lantaran marah, dia mengambil tongkat
dan kemudian mengejarnya. Namun, sapi itu lari
dari hadapannya.
Seminggu kemudian, Nashruddin melihat
sapi itu sedang menarik gerobak salah seorang
petani. Tanpa pikir panjang, Nashruddin menghampiri
sapi itu dan memukulinya dengan
sebatang tongkat yang dibawanya. Tentu saja,
sang petani terheran-heran melihat tindakan
Nashruddin terhadap sapi itu. Dia tidak habis
pikir.
Karena itu, dia bertanya kepada Nashruddin,
"Hai, mengapa engkau memukuli sapiku? Apa
kesalahannya?"
Nashruddin pun menjawab, "Hai bodoh,
jangan turut campur urusan yang tak kau
ketahui! Sapi ini tahu apa kesalahannya..."

Wafatnya Ayah Anakku
Suatu hari, Nashruddin mengenakan
pakaian serba hitam. Salah seorang
teman bertanya padanya, "Bukankah seseorang
mengenakan pakaian hitam ketika tertimpa
musibah?" Nashruddin menjawab, "Ya, aku
berkabung atas wafatnya ayah anakku."

Manfaat Pakaian di Hari Kiamat
Suatu waktu, Nashruddin memelihara
seekor kambing sebagai cadangan
makanan saat musim hujan tiba. Lantaran sangat
mencintai kambing itu, dia membuatkan untuknya
sebuah kandang yang bagus.
Melihat kambing nan elok itu, teman-teman
Nashruddin hendak merampasnya, namun
mereka tidak berhasil. Akhirnya, mereka sepakat
menipu Nashruddin.
Salah seorang di antara mereka mendatanginya
dan berkata, "Wahai Nashruddin, apa
yang akan kau lakukan dengan kambingmu itu?
Esok atau lusa kiamat akan segera tiba. Mari kita
sembelih kambing itu dan kami akan menjamumu
dengan dagingnya."
Nashruddin tak peduli akan ucapannya,
namun teman-temannya terus berdatangan satupersatu
sambil mengutarakan kalimat yang
senada. Nashruddin menjadi kesal dan marah.
Dia lalu berjanji pada mereka untuk menyembelih
kambing itu keesokan harinya dan
mengundang mereka untuk menghadiri pesta
jamuan yang mewah.
Esok harinya, Nashruddin menyembelih
kambing itu. Dia lalu menyalakan bara untuk
membakar dagingnya. Saat Nashruddin melakukan
semua aktivitas itu, mereka meninggalkan
Nashruddin dan pergi berekreasi ke tempat
yang jauh. Untuk meyakinkan Nashruddin,
mereka meninggalkan pakaian mereka masingmasing.
Karena tak seorang pun yang membantu,
pekerjannya menjadi kacau dan buruk.
Nashruddin lalu mengumpulkan pakaian mereka
dan memasukkannya ke dalam bara hingga
terbakar hangus. Ketika kembali, mereka
mendapatkan pakaian itu sudah menjadi abu.
Melihat itu, mereka serempak berusaha memukuli
Nashruddin. Ketika melihat mereka akan
memukulinya, Nashruddin menoleh kepada
mereka dan berkata, "Lalu, apa manfaat pakaian -
pakaian itu, bila kalian percaya bahwa kiamat
pasti akan tiba, baik hari ini ataupun esok?"

Keledai Akhirat
Suatu hari, Nashruddin berjalan di
pekuburan. Tiba-tiba, kakinya terperosok
dan jatuh ke sebuah liang lahat tua. Tatkala
berada di dalam, terlintas dalam benaknya untuk
mencoba kalau-kalau dia dapat melihat rupa
malaikat Munkar dan Nakir, yang katanya akan
mendatangi orang yang berada dalam kubur.
Tak lama kemudian, terdengar gemerincing
keras suara lonceng, mendekat ke arah kuburan
di mana Nashruddin berada. Dia mengira kiamat
telah tiba. Dengan terburu-buru, dia keluar dari
kuburan itu; hendak melarikan diri. Namun,
keledai-keledai yang menjadi penyebab suara
ribut dan bising itu sudah mendekat padanya.
Melihat Nashruddin yang setengah telanjang
dan berjalan tergopoh-gopoh, keledai-keledai itu
ketakutan dan lari tunggang-langgang, sehingga
satu sama lain saling bertubrukan. Akibatnya,
semua barang bawaan berharga di punggung
mereka jatuh berserakan dan rusak.
Pemilik keledai-keledai itu pun kaget.
Mereka terheran-heran melihat keadaan dan
tingkah laku Nashruddin. Lantas mereka
bertanya, "Hai, siapa kamu dan sedang apa di
sini?" Nashruddin menjawab, "Aku penduduk
akhirat, kedatanganku ke sini adalah untuk
melihat-lihat dunia...."
Mereka berkata, "Berhenti! Kalau begitu, aku
akan tujukkan padamu bagaimana caranya
berdarmawisata." Mereka lalu menghajar
Nashruddin hingga kepalanya memar dan wajah
serta bagian tubuh lainnya berdarah. Setelah itu,
mereka meninggalkannya dalam keadaan
pingsan.
Tengah malam, Nashruddin siuman. Dengan
sempoyongan, dia pulang ke rumah. Istrinya
kaget begitu membuka pintu dan me-lihatnya.
Dia lalu bertanya kepada Nashruddin, "Apa yang
terjadi padamu? Dari manakah engkau malammalam
begini?"
Nashruddin menjawab, "Aku jatuh terperosok
ke dalam kuburan dan aku berkumpul
dengan orang-orang yang sudah mati." Istrinya
kembali bertanya, "Lalu, apa yang kau lihat di
sana?" Nashruddin menjawab, "Di akhirat tidak
ada apa-apa, kalau saja keledai-keledai itu tidak
lari ketakutan."[]

Monday, October 5, 2009

Syeh Burhanudin Ulakan - gempa ditanah wali

Ulakan Menangis..
Pusat Gempa di tanah Syeh Burhanuddin

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, telah banyak kita melihat korban dalam gempa di bulan oktober ini di tanah minangkabau, terutama padang dan pariaman.
Apakah rahasia Allah dalam peristiwa yang dahsyat ini...

Berikut adalah biografi dari Syeh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman
Mudah-mudahan makam beliau selalu dijaga oleh Allah dari bencana alam ini

Syeikh Burhanuddin Ulakan ini, adalah murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri dari Aceh, Syeikh Burhanuddin Ulakan inilah orang pertama menyebarkan Thariqat Syathariyah di Minangkabau. Syeikh Burhanuddin Ulakan yang tersebut wafat pada tahun 610 H/1214 M. Menurut riwayat pula bahwa Syeikh Burhanuddin Ulakan datang bersama dengan Syeikh Abdullah Arif yang menyebarkan agama Islam di Aceh.
Syeikh Burhanuddin pertama datang ke Minangkabau mengajar di Batu Hampar sekitar 10 tahun lamanya. Sesudah itu, dia berpindah ke perkumpulan yang dekat dengan imam Bonjol, beliau mengajar di situ sekitar lima tahun. Kemudian dia meneruskan kegiatan dakwahnya ke Ulakan, Pariaman, mengajar selama 15 tahun. Dilanjutkan pula mengajar di Kuntu, Kampar Kiri, di sana dia mengajar selama 20 tahun, sehingga dia wafat pada 610 H/1214 M.
Diriwayatkan pula bahawa peninggalan-peninggalan Syeikh Burhanuddin Ulakan yang tersebut ialah berupa sebuah stempel yang diperbuat daripada tembaga tulisan Arab, sebilah pedang, kitab Fathul Wahhab karya Syeikh Abi Zakaria al-Ansari dan khutbah Jumaat tulisan tangan dalam bahasa Arab.

PENDIDIKAN
Namanya ketika masih kecil ialah Si Pono, ayahnya bernama Pampak. Ayahnya masih beragama Buddha, namun Si Pono dari Sintuk pergi ke Ulakan, pergi belajar kepada Angku Madinah yang berasal dari Aceh. Pada tahun 1032 H/1622 M atas anjuran gurunya, dia melanjutkan pelajaran agama Islam kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri di Aceh. Lalu Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri menukar namanya daripada Si Pono menjadi Burhanuddin. Tiga belas tahun lamanya dia belajar kepada ulama yang wali Allah itu. Ketika belajar berteman dengan beberapa orang, di antaranya Datuk Marhum Panjang dari Padang Ganting Tanah Datar, Tarapang dari Kubang Tiga Belas (Solok) dan lain-lain.
Beliau adalah seorang yang sangat patuh kepada gurunya, hal ini pernah diceritakan oleh Dr. Syeikh Haji Jalaluddin dalam salah satu bukunya sebagai berikut di bawah ini, “Dari sehari ke sehari tumbuhlah kasih sayang, takut dan malu kepada Syeikh tersebut. Pada suatu hari Syeikh itu mengunyah- nguyah sirih. Tiba-tiba tempat kapur sirihnya terlepas dari tangannya jatuh ke dalam kakus. Yang mana kakus (tandas,pen:) itu sangat dalam, telah dipakai berpuluh-puluh tahun”. Tuan Syeikh berkata: “Siapa antara kalian sebanyak ini sudi membersihkan kakus itu sebersih-bersihnya? Sambil untuk mengambil tempat sirih saya yang jatuh ke dalamnya?”.




Ramai murid yang merasa enggan dan malas mengerjakan yang diperintah Syeikh itu. Kemudian Burhanuddin bekerja berjam-jam membersihkan kakus itu sehingga bersih dan tempat kapur sirih pun ditemukan, lalu dibersihkannya dan dipersembahkannya kepada Syeikh tersebut. lalu tuan Syeikh berdoa dengan sepanjang-panjang doa. Selanjutnya Syeikh itu berkata: “Tanganmu ini akan dicium oleh raja-raja, penghulu-penghulu, orang besar di Sumatera Barat dan muridmu tidak akan putus-putusnya sampai akhir zaman, dan ilmu kamu akan memberkati dunia ini. Aku namai kamu Saidi Syeikh Burhanuddin”.

KEMBALI KE MINANGKABAU
Setelah dia berasa ilmu telah banyak dan telah pula mendapat izinan dari gurunya, Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri, beliau pun kembali ke tempat asalnya. Sebelumnya gurunya berkata, “Pulanglah kamu ke negerimu, ajarkanlah ilmu apa-apa yang ditakdirkan oleh Allah. Kalau kamu tetap kasih, takut, malu, patuh kepadaku nanti kamu akan mendapat hikmat kebatinan yakni seolah-olah ruhaniyah saya menjelma kepadamu. Kalau kamu berkata, seolah-olah itu adalah kataku. Kalau kamu mengajar seolah-olah itu adalah pengajaranku. Bahkan terkadang-kadang rupa jasadmu seolah-olah itu adalah jasadku. Kalau kamu sudah begitu rupa mudahlah bagi kamu mengajarkan agama Islam kepada siapa pun juga. itulah yang dikatakan Rabithah Mursyid.

Seseorang yang mendapat Rabithah Mursyid orang itu akan terus mendapat taufik dan hidayah Allah. Dan diberi ilmu hikmah, terbuka rahsia Allah dan berbahagialah orang itu dunia akhirat, insya-Allah. Kita hanya bercerai pada lahir, pada batin kita tidak bercerai,” demikian Dr. Syeikh Haji Jalaluddin yang ditulis dengan gaya tasawuf bersifat propaganda.
Prof. Dr. Hamka menulis dalam bukunya Ayahku bahawa Syeikh Burhanuddin Ulakan murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri kembali ke kampung halamannya pada tahun 1100 H bersamaan tahun 1680M. Sejarah mencatat bahawa beliau meninggal dunia di Ulakan pada 1111 H atau 1691 M, lalu dimashyurkan oranglah namanya dengan “Syeikh Burhanuddin Ulakan”.
Mengenai riwayat hidup yang pernah diterbitkan, yitu buah pena Tuan Guru Haji Harun At-Thubuhi Rafinayani. Bahawa dalam buku kecil itu menyebut Syeikh Burhanuddin itu adalah berasal daripada suku Guci. Buya K.H. Sirajuddin Abbas juga menulis demikian. Terakhir sekali tentang tokoh sufi ini dapat pula dibaca dalam tulisan Drs. Sidi Gazalba yang dimuat dalam buku Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam.

KETURUNAN
Menerusi tulisan Dr. Syeikh Haji Jalaluddin, dapat juga disimpulkan keterangan bahawa Syeikh Burhanuddin kembali dari Aceh dengan berjalan kaki. Mula-mula dia sampai ke negeri Tiku, Kabupaten Agam sekarang. Di Tiku itu dia berkahwin dengan seorang perempuan setempat. Dari perkahwinan itu dia mendapat anak lelaki yang bernaman “Sidi Abdullah Faqih”,. Beliau ini kemudian meneruskan ajaran orang tuanya.
Sidi Abdullah Faqih mendapat anak bernama “Sidi Abdul Jabbar”. Syeikh Abdul Jabbar mendapat anak bernama "Sidi Syeikh IIyas”. Sidi Syeikh Ilyas mendapat anak bernama “Sidi Yusni”. Sidi Yusni adalah murid Dr. Syeikh Jalaluddin dan sangat patuh kepada gurunya. Mungkin ayahnya Sidi Ilyas adalah keturunan Syeikh Burhanuddin Ulakan yang pertama mengamalkan Thariqat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, kerana sebelumnya semuanya mengamalkan Thariqat Syathariyah. Diketahui pula bahawa Sidi Syeikh Ilyas tersebut adalah cicit Syeikh Burhanuddin Ulakan, beliau inilah baru mempersatukan antara tarekat dengan ilmu pencak silat, sebagai alat mempertahankan diri.
Manakala yang ditulis oleh Dr. Syeikh Jalaluddin tersebut agak berbeda dengan cerita masyarakat, yang meriwayatkan bahawa Syeikh Burhanuddin Ulakan tidak mempunyai zuriat. Diriwayatkan bahawa ketika dia belajar di Aceh pada suatu hari kerana syahwatnya naik, dia telah memukul kemaluannya sendiri, sehingga kemaluannya mengalami kecederaan dan menyebabkan tidak berfungsi lagi untuk melakukan hubungan seks.

TRADISI HARI RABU AKHIR BULAN SAFAR

Hingga kini kubur Syeikh Burhanuddin Ulakan masih diziarahi orang, terutama pada hari Rabu akhir bulan Safar. Dr. Syeikh Haji Jalaluddin selaku Ketua Umum Seumur Hidup P.P.T.I (Persatuan Pembela Thariqat Islam) mengajak seluruh pengikutnya setelah selesai Kongres P.P.T.I yang ke-16 mengadakan ziarah ke makam Syeikh Burhanuddin di Ulakan.
Semua mereka mengi'tiqadkan bahawa Syeikh Burhanuddin Ulakan adalah seorang Wali Allah yang banyak karamahnya. Kalau bertawassul kepadanya selalu dimustajabkan. Salah satu tradisi yang terjadi di makam di Ulakan itu yang terkenal sampai sekarang ialah Basapa. Tentang ini kita ikuti tulisan Sidi Gazalba, sebagai berikut, “Syeikh Burhanuddin wafat 10 Safar 1111 Hijrah. Kerana 10 Safar itu tidak tentu jatuh pada hari Rabu, maka ziarah ke makam pembangun Islam di Minangkabau itu yang dilakukan serempak hampir dari tiap pelosok Minangkabau, dilakukan dari hari Rabu sesudah 10 Safar itu setiap tahun.
Berziarah ini terkenal dengan sebutan basapa (bersafar) yang dilakukan serempak oleh puluhan ribu orang sebelum perang Pasifik. Maka jalan di antara Pariaman dan Ulakan penuh oleh iringan orang-orang pulang ziarah, yang jumlah panjangnya sampai kira-kira 10 kilometer. Kaum Muda di Minangkabau menolak basapa. demikian menurut Drs. Sidi Gazalba.
Ramai orang menuduh yang melakukan basapa terutamanya terdiri dari golongan tasawuf, lebih-lebih golongan Thariqat Syathariyah. Akan tetapi kalau kita selidiki lebih jauh, bukti dan kenyataannya bukan golongan Syathariyah saja, namun demikian golongan Thariqat Qadiriyah, golongan Thariqat Naqsyabandiyah, juga pengikut Mazhab Syafie bahkan orang-orang yang mengaku berdasarkan al-Quran dan hadis (tegasnya kaum muda) pun tidak kurang pula mengerjakan basapa di kubur Syeikh Burhanuddin di Ulakan itu.
Upacara basapa/bersafar adalah merupakan tradisi nasional kerana dia juga dilakukan di tempat lain di seluruh Nusantara. Penulis belum yakin bahawa dikeranakan Syeikh Burhanuddin itu wafat hari Rabu bulan Safar dijadikan sebab maka terjadinya basapa. Di Kalimantan Barat misalnya, orang bersafar ke kubur Upu Daeng Menambon di Sebukit Raya (di hulu Mempawah). Orang menduga bahawa Upu Daeng Menambon meninggal dunia pada 16 Safar 1174 H, iaitu tepat pada hari Rabu di akhir bulan Safar. Di Tanjung Katung, Singapura, pada zaman dulu ramai orang mandi-mandi Safar di sana, ini diakibatkan dengan meninggalnya siapa? Dan meninggalnya siapa pula jika dikerjakan perkara itu di tempat lain-lainnya?
Sebenarnya dalam kitab-kitab Islam banyak yang menyebut memang ada dinamakan bala pada akhir Safar. Seumpama Syeikh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathani menyalin perkataan ulama, yang beliau muat dalam kitabnya Al-Bahyatul Mardhiyah, kata beliau, “Kata ulama disebut dalam kitab Al-Jawahir, diturunkan bala pada tiap-tiap tahun 320,000 (tiga ratus dua puluh ribu) bala. Dan sekalian bala pada hari Rabu yang akhir pada bulan Safar. Maka hari itu terlebih payah daripada setahun”. Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani menulis juga seperti demikian di dalam kitabnya, Jam'ul Fawaid.
Demikian juga ulama-ulama lainnya, baik yang berasal dari dunia Melayu mahu pun bukan. Jelas bahawa memang ada ulama yang mengakui pada hari Rabu akhir Safar itu ada bala yang turun. Bahawa Islam meyakini memang ada yang dinamakan bala, ada yang dinamakan taun, ada yang dinamakan wabak dan sebagainya. Sebaliknya sebagai perimbangannya ada yang dinamakan rahmat, ada yang dinamakan berkat, ada yang dinamakan hidayat dan sebagainya.
Tentang bila Tuhan menurunkan yang tersebut itu tiada siapa yang mengetahuinya. Dalam Islam ada nama-nama yang tersebut itu semua, bahkan telah menjadi keyakinan adanya. Sungguh pun turunnya bala, wabak atau sebaliknya tiada siapa yang mengetahuinya. Namun dalam menyambut hari yang bersejarah bolehlah akhir Safar, Rabunya dimasukkan dalam kategori ini ramai orang membuat kaedah-kaedah baru yang kadang-kadang berlebih-lebihan sifatnya. Selalu pula terjadi bidaah dan khurafat yang dicela oleh Islam itu sendiri.

Sebagai contoh, bersuka ria pada akhir Safar itu dengan melakukan mandi-mandi secara berkelompok, berkumpul lelaki dan perempuan adalah satu pekerjaan bidaah mazmumah yang sangat dilarang oleh syarak. Akan tetapi berdoa minta perlindungan daripada bala atau memohon rahmat atau lainnya adalah diajarkan oleh agama Islam. Meminta sesuatu kepada Allah boleh dilakukan setiap saat baik pada akhir Safar atau waktu lainnya lebih-lebih waktu yang dianggap berkat. Doa-doa dan perbuatan meminum air Safar pun tidak pula dapat dinafikan kerana banyak ulama yang telah menulis wafaq Safar itu di dalam kitab-kitab mereka, yang salahnya adalah perbuatan si jahil yang selalu melakukannya berlebih-lebihan.
Hingga di sini penulis tutup mengenai Syeikh Burhanuddin Ulakan, ulama besar mazhab Syafiie, pengikut fahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah, penyebar Thariqat Syathariyah di daerah Minangkabau yang telah mencurahkan seluruh hidupnya untuk Islam semata-mata bukan kepentingan lainnya. Usaha-usahanya belakang hari akan diikuti oleh ulama-ulama yang berasal dari Sumatera Barat secara berantai yang tiada akan putus-putusnya hingga waktu sekarang.
Kita mengenali nama-nama popular yang berasal dari Minangkabau di antaranya ialah; Syeikh Ismail bin Abdullah Minangkabau, Syeikh Ahmad Khathib bin Abdul Latif Minangkabau, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli Candung, Syeikh Jamil Jaho, Dr. Syeikh Haji Jalaluddin, Syeikh Jamil Jambek, Dr. Abdul Malik Amrullah, Kiayi Haji Sirajuddin Abbas, Prof. Dr. Hamka dan ramai lagi.

Sumber : ulama-nusantara-baru.blogspot.com

Sufisme di Minangkabau

Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat diwarnai oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah Syathariyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah telah menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin. Di samping Ulakan sendiri, sentra-sentra tarikat ini kemudian muncul di beberapa wilayah pedalaman Minangkabau. Diantaranya yang utama adalah Kapeh-Kapeh, Pamansiangan, Koto Tuo Cangking, Koto Tuo Empat Koto dan lain-lain (Sanusi Lathief, 1988).

Perkembangan tarikat Syatariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ini menarik untuk dicermati, karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan yang melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri ; suatu perkembangan yang sangat berbeda dengan daerah pesisir barat, dari mana tarikat ini pada awalnya dikembangkan. Para tokoh sufi pedalaman lebih banyak melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya. Keterlibatan mereka inilah yang telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan Islam di Minangkabau, bahkan dari sinilah juga, kemudian dalam perkembangannya, telah melahirkan ide-ide pemurnian dan pembaharuan.

Perkembangan ini memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syathariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis baru keislaman. Sintesis baru itu sangat mungkin merupakan akibat pertemuan Syathariah dengan tradisi keislaman --yang sebenarnya-- telah menjadi basis kultural masyarakat di daerah ini, antara lain pertemuannya dengan tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat yang disebut terakhir ini juga telah memperoleh pijakan yang kuat di beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding Syathariyah sendiri .


Perkembangan Islam melalui kegiatan sentra-sentra tarikat ini, telah meninggalkan jejaknya melalui naskah-naskah dengan topik-topik yang meliputi hampir semua aspek keislaman. Salah satu kenyataan yang dapat terlihat dari perkembangan sentra-sentra tarikat, baik Syathariyah, maupun Naqsyabandiyah di Minangkabau, ialah praktek pengamalan tashauf dengan menekankan pentingnya syari’ah (Azra, 1995;288) dan tidak terdapat indikasi bahwa ajaran tarikat di wilayah ini mengarah pada pantheisme sebagaimana yang terdapat di Aceh pada abad ke 17. Oleh karena itu pemikiran keagamaan yang ditinggalkan oleh kedua aliran tashauf ini tidak hanya berisikan ajaran tashauf semata, akan tetapi meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu keislaman, bahkan upaya pencarian solusi kemasyarakatan dan urusan dunia lainnya memperoleh tempat dalam kajian-kajian mereka, seperti yang dikembangkan oleh Jalaluddin murid Tuanku nan Tuo di wilayah Agam (cf. Dobbin, 1992; 151-152).

Keluasan cakupan implementasi ajaran tashauf di Minangkabau sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tashauf dalam mentranformasikan inti ajaran tashauf terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Meskipun perkembangan Islam di sini, dalam perjalanannya, di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20, namun hal ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Dari sisi konflik keagamaan yang terjadi itu, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan polemik pemikiran keagamaan yang tertuang dalam berbagai naskah keagamaan yang tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.

Islam di Minangkabau sebelum masuknya Aliran Tashauf

Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa aliran tashauf dalam bentuk tarikat paling awal masuk ke Minangkabau adalah pada paruh pertama abad ke 17, yaitu tarikat Naqsyabandiyah kemudian menyusul tarikat Syatariyah pada paruh kedua abad ke 17. Tarikat yang disebut terakhir dibawa oleh Syekh Burhanuddin ke Ulakan, pesisir barat Sumatera Barat, tepatnya pada tahun 1070 H./1659 M. Pada waktu ini, sebenarnya, Islam sudah dikenal secara umum di Minangkabau dan sudah menjadi anutan masyarakat, meski praktek pengamalan ajaran Islam tidak merata di seluruh nagari dan masih saja terdapat praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dari beberapa fakta yang ditemukan, diketahui bahwa setidaknya pada awal abad ke-13 Islam sudah masuk di Minangkabau timur yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab yang lalu lalang di sekitar selat Malaka dan menyusuri sungai-sungai di dataran pesisir timur Sumatera. Salah seorang muballigh Islam yang berperan dalam proses konversi Islam tahap awal ini adalah Syekh Burhanuddin Kuntu. Diperkirakan dari wilayah timur inilah Islam pertama kali diperkenalkan ke wilayah pusat Minangkabau .

Bagaimana perkembangan Islam di Minangkabau pada abad-abad sesudah abad ke-13, tidak banyak bukti-bukti tertulis primer yang dapat digunakan, selain dari beberapa sumber sekunder yang mengemukakan beberapa fakta yang dapat dijadikan dasar untuk melihat gambaran perkembangan Islam pada akhir abad ke-13, terutama di wilayah jalur perdagangan . Meskipun tidak ditemukan penjelasan yang lebih rinci tentang kegiatan islamisasi sejak waktu ini hingga masuknya aliran sufi pada abad ke-17, namun diketahui beberapa bentuk kegiatan penyebaran Islam yang dilakukan oleh mubaligh Minangkabau ke luar wilayah Minangkabau sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rajo Bagindo, seorang bangsawan Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Midanao dan Sulu, Pilipina selatan , dan Syekh Ahmad yang mengembangkan Islam di Negeri Sembilan pada tahun 1467 . Baru pada awal abad ke-17 (1605) diketahui pula tentang tiga orang penyebar Islam di Sulawesi Selatan yang dikenal dengan Abdul Makmur Chatib Tunggal (Datuk Ribandang), Khatib Sulaiman (Datuk Patimang), dan Khatib Bungsu (Datuk Ri Tiro).

Persebaran Aliran Sufi di Minangkabau

Setidaknya ada tiga aliran tashauf yang berkembang di Minangkabau, yaitu Syathariyah, Naqsyabandiyah dan Samaniyah. Diantara ketiga aliran ini maka aliran Syathariyah adalah yang paling mudah ditelusuri sejarahnya di Minangkabau. Dalam banyak sumber disebutkan bahwa thariqat ini pertama kali dibawa ke Minangkabau oleh Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman pada tahun 1659 setelah ia mempelajarinya dari Syekh Abdur Rauf Singkil, murid Syekh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan banyak dikunjungi oleh murid-murid yang datang dari berbagai daerah di Minangkabau untuk belajar, dan setelah menamatkan pelajaran, mereka kembali ke daerahnya masing-masing untuk meneruskan pengajaran yang diberikan Syekh Burhanuddin. Salah seorang murid Syekh Burhanuddin yang paling dikenal dalam pengembangan ajaran Syathariah di wilayah pedalaman Minangkabau ialah Tuanku Nan Tuo di Mansiang dan kemudian dilanjutkan oleh anaknya Tuanku Mansiang.



Tarikat Naqsyabandiah, diperkirakan sudah lebih dulu masuk ke Minangkabau dibanding dengan Syathariyah, namun jaringan pengembangannya tidak banyak diberitakan. BJO Schrieke (1973) menyebut tentang Syekh Ismail Simabur sebagai syekh Naqsyabandiyah pertama di Minangkabau. Menurutnya, Syekh Ismail menyebarkan tarikat ini kira-kira pertengahan abad ke 19. Schrieke juga menerangkan tentang beberapa nama ulama yang melanjutkan penyebaran tarikat ini, diantaranya Syekh Jalaluddin Faqih Shagir, Cangking (w. 1870) dan Syekh Abdul Wahab Kumpulan (w.1915). Akan tetapi berbeda dengan Schrieke, Christine Dobbin (1992) mengemukakan bahwa tarikat Naqsyabandiyah masuk ke Minangkabau pada paruh pertama abad 17 yang dibawa oleh seorang cendikiawan dari Pasai Sumatera timur laut, dan tinggal beberapa waktu di Agam dan 50 Kota .

Sependapat dengan Dobbin, Azyumardi Azra (1995) dengan merujuk Ph. S. Van Ronkel, juga mengemukakan bahwa yang membawa tarikat ini adalah Jamaluddin, seorang Minangkabau yang belajar di Pasai sebelum ia melanjutkan ke Bayt Al-Faqih, Aden, Haramayn, Mesir dan India, kemudian pulang ke Minangkabau pada paruh pertama abad ke-17 M. dan aktif menyebarkan tarikat Naqsyabandiyah di kampung halamannya ini . Selanjutnya disebutkan juga bahwa Jamaluddin adalah penulis teks fiqh Naqsyabandiyah yang berjudul Lubab Al-Hidayah yang didasarkan atas ajaran Ahmad Ibn ‘Alan Al-Shiddiqi Al-Naqsyabandi.

Dari dua sumber terakhir, diperkirakan bahwa tokoh pembawa tarikat Naqsyabandiyah adalah Jamaluddin, meskipun Dobbin tidak secara eksplisit mengemukakan nama itu, bahkan menduga bahwa tokoh ini berasal dari Aceh. Berdasarkan kedua sumber ini dapat disimpulkan bahwa Tarikat Naqsyabandiyah telah berkembang dengan baik di wilayah pedalaman Minangkabau sebelum ajaran tarikat Syathariyah masuk ke wilayah ini. Hingga akhir abad ke-18 tarikat Naqsyabandiyah memperoleh tempat yang subur di wilayah pedalaman Minangkabau, karena beberapa ajarannya yang dapat diterapkan oleh masyarakat awam, apalagi guru-guru tarikat yang membaur dengan kegiatan sehari-hari masyarakat. Dobbin menjelaskan bahwa banyak guru-guru tarikat ini yang menjalani kehidupan sebagai petani biasa . Suatu perbedaan yang sangat besar dengan tradisi guru-guru Syatariyah di wilayah pesisir. Pusat-pusat tarikat Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18 di wilayah pedalaman terletak di desa-desa pertanian yang subur, seperti Taram di Lima Puluh Kota, Cangking di Agam, dan Talawi di Tanah Datar
Sedangkan tarikat Samaniyyah tidak didapatkan data yang lebih pasti tentang kedatangannya di Sumatera Barat, namun dari beberapa keterangan dari masyarakat Pasaman, tarikat ini dibawa oleh Syekh Muhammad Said Padang Bubus yang sebelumnya belajar tarikat ini di Sumatera utara. Kemudian diketahui bahwa pada akhir abad ke 19 di desa Kumango Batu Sangkar berdiri suatu perguruan tarikat Samaniyyah yang dipimpin oleh Syekh Abdurrahman al-Khalidy (w.1931). Ia mempelajari tarikat ini dari Syekh Muhammad Amin Ridhwan, murid Syekh Muhammad Samman Al-Qadiry di Madinah. Diantara murid-murid tarikat ini di Minangkabau adalah : Syekh Muda Abdul Qadim Balubus 50 Kota dan Syekh Ahmad Barulak, Tanah Datar .

Sufisme dan Aktifitas Sosial dan Ekonomi

Di wilayah pedalaman Minangkabau sekitar tahun 1784, tepatnya Koto Tuo sebuah desa kecil di wilayah Agam, hidup seorang ulama yang sangat disegani karena keluasan ilmu agama yang dimilikinya. Dia adalah Tuanku Nan Tuo (1723-1830). Ia mengajarkan berbagai bidang ilmu agama, mulai dari fiqh, tafsir, hadits, mantiq, ma’ani, ilmu alat (nahu dan saraf), dan lain-lain, di sebuah surau yang didirikannya di Koto Tuo Ampek Angkek Canduang. Banyak murid-murid yang datang untuk belajar ke surau Tuanku Nan Tuo ini, sehingga ilmunya menyebar ke berbagai nagari yang ada di luhak Agam dan Lima Puluh Kota.

Selain kedalaman penguasaan ilmu, ia juga dikenal sebagai seorang yang zuhud dan senang berzikir. Karena itu, oleh Steijn Parve digambarkan sebagai seorang yang disamping mengajarkan ilmu hakikat yaitu ilmu tauhid, sering tenggelam dalam renungan menuju Tuhan, seakan-akan melepaskan diri dari hiruk pikuk duniawi . Kesaksian Jalaluddin Faqih Shaghir (salah seorang murid Tuanku Nan Tuo) yang ia tulis sendiri dalam naskah yang berjudul Hikayat Syekh Jalaluddin (selanjutnya disebut : naskah HSJ), hampir dapat memastikan bahwa apa yang dikemukakan oleh Steijn Parve itu agak berlebihan. Naskah HSJ menjelaskan tentang Tuanku Nan Tuo sebagai berikut : “.... maka terlebih sangatlah masyhur Tuanku Nan Tuo, ulama yang pengasih lagi penyayang, tempat pernaungan segala anak dagang, ikutan segala sidang imam Syari’ah Ahlussunnah dan Ahlul Jama’ah... dst” Dalam naskah HSJ lebih banyak diceritakan tentang aktifitas dakwah yang dijalankan oleh Tuanku Nan Tuo di samping kegiatan pengajiannya di surau, juga turun langsung ke desa-desa di luar Koto Tuo, ketimbang dia sebagai seorang ahli zikir yang tidak mempedulikan hal-hal duniawi yang terjadi diseputar dirinya. Bahkan disebutkan bahwa Tuanku Nan Tuo juga menekuni aktifitas perdagangan sebagai layaknya masyarakat kebanyakan.

Pertumbuhan perdagangan produksi pertanian yang cepat pada akhir abad ke 18 di wilayah pedalaman, agaknya telah mendorong Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya melibatkan diri dalam soal-soal perdagangan, terutama menyangkut pendalaman materi ajaran yang berhubungan dengan hukum Islam yang mengatur pelaksanaan perdagangan. Beberapa kondisi telah menuntut Tuanku nan Tuo untuk mengambil jalan ini, diantaranya adalah karena pesatnya permintaan komoditi kopi, sementara tidak diiringi dengan adanya aturan-aturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menjalin kerjasama perdagangan. Kondisi seperti ini lebih diperparah lagi oleh munculnya berbagai bentuk kejahatan di kalangan masyarakat, seperti perampasan barang dagangan. Pasar-pasar yang sudah aktif untuk kegiatan transaksi perdagangan, sering diwarnai dengan kegiatan judi, sabung ayam, dan bahkan tidak terkecuali penjualan candu dan tuak. Di samping itu berbagai sengketa dagang juga tidak terelakkan. Banyak para pedagang mengalami kesulitan apabila bersengketa dengan pedagang dari desa tetangga, terutama menyangkut hutang piutang. Para penghulu di desa-desa pasar biasanya menyelesaikan persengketaan berdasarkan hukum adat. Keputusan yang dihasilkan oleh kerapatan adat sering tidak menyelasaikan masalah, karena kurang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa dan karena ketentuan adat yang sangat terbuka untuk ditafsirkan secara berbeda-beda. Dalam kaitan ini, posisi surau adalah sangat strategis untuk menyelesaikan sengketa-sengketa antar nagari, karena surau lebih merupakan lembaga “supra nagari” yang mampu menembus batas-batas wilayah hukum adat yang diberlakukan di masing-masing nagari itu sendiri.

Dalam keadaan masyarakat seperti ini, keberadaan surau, terutama di wilayah pedalaman, semakin diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul di kalangan masyarakat, terutama para pedagang dan petani produsen, apalagi beberapa surau telah ikut mengambil peran dalam kegiatan perdagangan dan penghasil komoditi dagang ini. Ajaran Islam menyediakan beberapa aturan yang jelas menyangkut perdagangan dan cara-cara menyelesaikan masalah ini secara rasional. Syari’at Islam mengajarkan bagaimana seseorang dapat meningkatkan keuntungan perdagangan secara halal, namun tetap memperhatikan hak-hak perseorangan dalam hubungannya dengan harta kekayaan. Meluasnya masalah yang ditemui oleh masyarakat dalam hal perdagangan, mengimplikasikan perlunya pengaturan yang lebih rasional dalam hal sistem perdagangan yang dijalankan, sementara itu, surau dianggap lebih dapat memberikan tawaran solusi atas masalah-masalah itu melalui kaidah-kaidah agama yang jelas dan rasional.

Sebagai daerah penghasil utama komoditi kopi, Agam sekaligus juga menjadi pusat pengajaran Fiqh (hukum Islam). Beberapa surau melakukan pendalaman fiqh terutama pada aspek perdagangan. Keadaan ini lebih dipicu oleh banyaknya persoalan-persoalan kemasyarakatan dan perdagangan yang dimintai penyelesaiannya secara syar’i di surau-surau yang ada. Kedekatan masyarakat dengan surau-surau ini pada gilirannya telah memberi jalan bagi hukum Islam di wilayah ini, sehingga dapat berdampingan dengan adat masyarakat setempat.

Tingkat kemakmuran masyarakat akibat kegiatan perdagangan telah pula menarik jumlah lebih banyak murid-murid untuk mendalami pengetahuan agama di surau-surau yang ada. Untuk mengimbangi keadaan ini, beberapa suraupun melibatkan diri dengan kegiatan perdagangan dan bahkan tidak jarang suatu surau ikut menghasilkan komoditi pertanian yang mereka usahakan dengan murid-muridnya di sekitar surau itu. Pada akhir abad ke 18 surau-surau di Agam dan Lima Puluh Kota telah mengambil keuntungan dari perubahan perdagangan ini. Murid-murid surau diwajibkan memperkenalkan pembaharuan norma-norma kehidupan yang berdasarkan hukum Islam kepada masyarakat, terutama yang menyangkut dengan masalah perdagangan. Oleh karena itu semenjak 1784, hukum Islam menjadi suatu bidang kajian yang penting pada beberapa surau di Ampek Angkek, sebagaimana diungkapkan dalam naskah HSJ : “....maka sebab itu banyaklah orang berhimpun-himpun kepada tempat itu mengambil ilmu menghafazkan kitab fiqh itu, karena ilmu yang terlebih dikasihi pada masa itu ialah ilmu fiqh...dst” .

Sejak saat itu surau-surau menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Gerakan kembali ke syari’at menjadi prioritas utama untuk disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat. Tuanku nan Tuo dan murid-murid surau Koto Tuo telah mengambil peran dalam menyerukan perubahan sikap dan membimbing masyarakat dalam kehidupan sebagai muslim yang baik . Ia mengirim murid-muridnya berdakwah di desa-desa sekitarnya. Semua usaha yang dijalankan oleh Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya ini, nampak cukup berhasil, sehingga menjelang tahun 1790 daerah Ampek Angkek di luhak Agam mengalami kemajuan yang pesat dalam lapangan ini, terutama dalam menertibkan prilaku ekonomi masyarakat, sehingga ia dikenal sebagai pelindung para pedagang

Dari uraian di atas jelaslah bahwa setidaknya pada akhir abad ke-18, agama Islam memainkan peranan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Peran mana, pada dasarnya sulit dipahami sebagai sebuah gerakan sufisme yang, lazimnya, hanya larut dalam renungan mencari Tuhan dan menghindarkan diri dari persoalan-persoalan duniawi. Apa yang dikemukakan itu, terutama lebih terlihat di wilayah pedalaman Minangkabau, daripada aktifitas sufi di wilayah pesisir barat. Hal ini mungkin dapat diasumsikan menjadi rangka sebuah perspektif, di mana, wilayah ini --beberapa waktu kemudian-- memunculkan berbagai gagasan pembaharuan keagamaan dan kemasyarakatan. Salah satu alasan yang dapat ditunjukkan untuk itu adalah dinamika dan dialektika agama dan kemasyarakatan yang mampu dibangun oleh tokoh-tokoh agama pada waktu ini.

Namun demikian sebelum kita sampai pada kesimpulan itu, agaknya perlu dilihat faktor-faktor apa yang telah membentuk kondisi dialektis dan dinamis seperti itu, apakah dapat dihubungkan dengan ajaran tashauf yang berkembang secara umum di wilayah ini ?, ataukah merupakan sebuah keadaan yang dibentuk oleh faktor-faktor eksternal yang mencirikan lingkungan lokalitas di mana ajaran itu dikembangkan hingga melahirkan diamika yang spesifik?. Hal ini akan menjadi bahasan pada sub berikutnya.

Dinamika Sufisme di Pedalaman : Ke Arah Pembaharuan Awal

Perkembangan yang menarik dari kaum sufi Minangkabau adalah pada saat munculnya suatu fenomena baru pada perkembangannya di akhir abad ke-18, terutama di wilayah pedalaman Minangkabau. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya bibit-bibit pembaharuan tahap awal dalam bentuk gerakan kembali ke syari’at yang dicanangkan oleh Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek bersama murid-muridnya yang berbasis di surau Koto Tuo sendiri. Salah seorang muridnya yang setia adalah Jalaluddin Faqih Shaghir yang riwayatnya digunakan dalam tulisan ini. Untuk melihat perkembangan secara lebih jelas, agaknya perlu diketahui siapa sebenarnya Tuanku Nan Tuo, demikian juga latar belakang pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang dimilikinya.

Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo pernah belajar dengan salah seorang murid Syekh Burhanuddin Ulakan yang bernama Tuanku Nan Tuo di Mansiang. Kedalaman ilmu yang dimilikinya di berbagai bidang ilmu juga didapatkan dari beberapa Tuanku di luhak Agam, Lima Puluh Kota, dan Tanah Datar. Ia dikenal dengan kealiman dan penguasaannya terhadap ilmu-ilmu syari’at dan ilmu hakikat. Dalam naskah HSJ tidak dijelaskan dengan pasti bahwa Tuanku Nan Tuo adalah pelanjut ajaran Syathariyah sebagaimana dianggap oleh beberapa penulis , akan tetapi bahwa salah seorang gurunya adalah Tuanku Nan Tuo di Mansiang yang pernah belajar dengan Syekh Burhanudin Ulakan . Naskah HSJ juga mengemukakan bahwa disamping ia pernah belajar dengan Tuanku Nan Tuo di Mansiang, ia juga mempelajari bermacam-macam ilmu dengan beberapa Tuanku-Tuanku yang lain seperti Tuanku di Kamang yang ahli ilmu alat, Tuanku Sumanik (hadits, tafsir dan ilmu faraidh), Tuanku Koto Gadang (ilmu mantiq dan ma’ani) dan Tuanku Paninjauan. Dijelaskan pula bahwa ilmu mantiq dan ma’ani yang diajarkan oleh Tuanku Nan Kecil Koto Gadang berasal dari Tuanku Tampang di Rao yang mempelajarinya dari Mekkah dan Madinah, sedangkan ilmu hadits, tafsir dan ilmu faraidh dibawa oleh Tuanku Sumanik dari negeri Aceh. Jalaluddin mengemukakan : “..maka berhimpunlah ilmu mantiq dan ma’ani, hadits dan tafsir dan beberapa kitab yang besar-besar dan sekalian yang menghasilkan ilmu syari’at dan hakikat kepada Syekh kita Tuanku Nan Tuo dalam negeri Koto Tuo semuanya….” .

Dengan demikian diketahui bahwa di antara guru-guru Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek, sebagaimana disebutkan itu, hanya satu orang yang mempunyai pertalian dengan pengembangan tarikat Syathariyah, yaitu Tuanku Nan Tuo di Mansiang, selebihnya adalah guru-guru yang mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan syari’at. Tidak didapatkan keterangan apakah guru-guru itu juga mengajarkan tarikat atau tidak. Kalaupun mereka juga mengajarkan tarikat, maka dipastikan bahwa itu bukanlah tarikat Syathariyah, karena nama-nama Tuanku itu tidak pernah disebut dalam mata rantai pengembangan tarikat Syathariyah di pedalaman Minangkabau. Dengan dasar analisis ini, penulis memiliki dugaan yang kuat bahwa Tuanku Nan Tuo pernah belajar tarikat Syatariyah dari Tuanku Nan Tuo di Mansiang, namun ia tidak benar-benar mengambil peran dalam pengembangannya, dan nampaknya ia lebih cendrung mengajarkan ilmu-ilmu syari’at ketimbang mengajarkan tarikat. Tentang ilmu hakikat yang juga dikuasainya sebagaimana diceritakan oleh muridnya Jalaluddin di dalam naskah HSJ, hanya dapat memastikan bahwa Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek ini adalah seorang penganut sufisme dan tidak didapatkan satupun keterangan tentang pengembangan tarikat Syathariyyah di surau Tuanku Nan Tuo dan di kalangan murid-muridnya.

Dalam beberapa sumber diketahui bahwa pada akhir abad ke-18, setidaknya terdapat dua aliran Tashauf di Minangkabau yang sangat berpengaruh, yaitu aliran Ulakan dan aliran Cangking Ampek Angkek. Cangking adalah sebuah desa di nagari Candung Koto Laweh, Ampek Angkek, di mana Jalaluddin, murid utama Tuanku Nan Tuo membuka surau dan mengembangkan ilmu-ilmu agama dalam rangka meluaskan misi pengajaran Tuanku Nan Tuo sendiri. Kedua aliran ini terlibat dalam pertentangan karena perbedaan pemahaman dalam soal-soal yang menyangkut syari’ah dan implementasi ajaran tarikat itu sendiri. Meskipun untuk beberapa sumber primer, tidak dikemukakan secara eksplisit , namun beberapa sumber sekunder menyebutkan bahwa pertentangan ini sebenarnya adalah pertentangan antara penganut Syathariyah yang dikembangkan di Ulakan dengan tarikat Naqsyabandiyah yang dikembangkan oleh Jalaluddin di Cangking Ampek Angkek . Persoalan yang diperdebatkan tentulah persoalan yang menyangkut perbedaan paham antara kedua aliran ini, terutama tentang martabat yang tujuh sebagai ajaran tujuh tahap pancaran dari Yang Ada, sebagai yang dianut oleh pengikut Syathariyah yang oleh pengikut Jalaluddin dianggap sebagai bid’ah. Pertentangan ini kemudian merembet ke persoalan ‘ubudiyah seperti penentuan awal puasa, arah kiblat dan sebagainya .

Selain itu, ajaran inti kedua aliran tarikat itu sama-sama didasarkan pada wajibul wujud (kewajiban ‘Ada’), dan hanya berbeda dalam memandang yang ‘Ada’ itu. Perbedaan pandangan itulah yang kemudian menyebabkan aliran-aliran tarikat mengembangkan cara masing-masing dalam pencapaian (muraqabah) terhadap ‘Ada’ itu, yang antara lain dengan cara melakukan latihan rohani dengan berzikir hingga mencapai tingkat fana’. Untuk mencapai taraf ini, kedua aliran melakukan cara (tarikat) dan penerapan yang berbeda. Aliran tarikat Syathariyyah yang dikembangkan di Ulakan memandang bahwa seluruh isi alam ini pada hakekatnya tidaklah ada, yang pasti ada hanyalah Allah Ta’ala. Ini disebut dengan wihdatul wujud (kesatuan Ada). Upaya pencapaian seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada yang Ada itu dengan melakukan zikir sambil memejamkan mata dan menentukan jumlah sebutan nama Allah dengan buah tasbih . Sementara itu dalam pandangan Naqsyabandiyah eksistensi alam ini adalah kesaksian atas adanya Allah Ta’ala atau disebut dengan wihdatus syuhud (kesatuan kesaksian) . Penganut tarikat ini diajarkan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara melakukan suluk (bersunyi diri) selama beberapa hari yang diisi dengan latihan-latihan rohani dan zikir qalbi (berzikir dalam hati).

Menurut Hamka (1967), pertentangan kedua paham ini sebenarnya lebih disebabkan oleh perbedaan dalam implementasi ajaran Islam terhadap tatanan kehidupan masyarakat yang secara historis berbeda latar belakang kultural dan politik serta perbedaan faktor ekternal yang mempengaruhi. Posisi Ulakan sebagai daerah rantau pesisir Minangkabau, dianggap oleh kalangan ulama pedalaman sebagai masih sangat kuat dipengaruhi oleh Aceh. Sementara Ulama di pedalaman (Agam dan sekitarnya) dikatakan sangat dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Islam di wilayah pedalaman Minangkabau menurut mereka belum dapat diperbaiki oleh kalangan ulama .

Suatu hal yang dapat dicatatkan dari perkembangan ajaran tarikat di Sumatera Barat hingga akhir abad ke-18 ialah, bahwa hampir semua ulama-ulama di sini adalah penganut tarikat. Meskipun untuk beberapa kasus, sulit mengidentifkasi aliran apa yang dianut oleh ulama-ulama itu, karena pada umumnya, ulama-ulama Minangkabau --terutama di pedalaman-- tidak langsung terjun membuka pengajian tarikat dan memimpin kegiatan pembimbingan tarikat bagi para penganut tarikat di wilayahnya. Ulama-ulama pedalaman lebih banyak menyibukkan diri dengan pengajaran yang berkaitan dengan ajaran syar’iyyah dan penerapannya dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat . Aktifitas Tuanku Nan Tuo, salah seorang ulama yang sangat dikenal di wilayah Agam pada dekade ini misalnya, tidak satupun sumber menyebutkan bahwa ia juga seorang khalifah (pembimbing kegiatan ritual) tarikat tertentu . Bahkan sangat mungkin, inilah yang menyebabkan kenapa Tuanku Nan Tuo tidak pernah disebut dengan gelar Syekh . Ia lebih dikenal sebagai seorang yang ‘alim dan memiliki pengetahuan yang tinggi dalam berbagai disiplin keilmuan Islam, terutama fiqh. Di samping sebagai ulama yang mempunyai murid-murid yang banyak, ia sering mengunjungi daerah-daerah tertentu di sekitar Agam dan Lima Puluh Kota untuk menjalankan misi syari’ahnya. Selain itu, Tuanku Nan Tuo, juga dikenal sebagai seorang pedagang yang ulet , ia memperoleh cukup kekayaan dari aktifitas perdagangan itu. Hampir semua ulama di desa-desa pertanian di wilayah pedalaman, memiliki professi ganda seperti halnya Tuanku Nan Tuo itu. Mereka, disamping mengajarkan agama, juga larut dalam segala aktifitas ekonomi masyarakatnya, seperti perdagangan, pertanian dan sebagainya.

Dari fakta yang dikemukakan itu, agaknya menjadi jelas, bahwa pengembangan tarikat Syathariyyah di wilayah pedalaman mendapat “pengalaman baru” dibanding perkembangannya di wilayah pesisir. Pengalaman itu, tentunya, tidak dapat dilihat hanya karena adanya perbedaan geografis, akan tetapi juga oleh pengayaan substansi ajaran akibat pertemuannya dengan latar belakang pengalaman spritual masyarakat pedalaman sendiri yang berbeda dengan ajaran tarikat Syathariyah. Berdasarkan kronologis masuknya aliran tarikat, sebagaimana telah diuraikan terdahulu, maka di wilayah ini sangat mungkin aliran tarikat Naqsyabandiyah telah berkembang lebih dahulu dan penyebarannya sudah merata, terutama di Agam dan Lima Puluh Kota. Tidak mustahil, bahwa pertemuan Syathariyah dengan Naqsyabadiyahlah yang melahirkan suatu sintesis baru dalam lapangan sufisme, sehingga implementasi ajaran sufisme itu lebih responsif terhadap persoalan masyarakat di pedalaman ini. Oleh karenanya, beberapa sumber sering dibingungkan apakah Tuanku Nan Tuo penganut Syathariyah atau Naqsyabandiyah, demikian juga dengan muridnya Jalaluddin di surau Cangking Ampek Angkek . Meskipun tidak dijumpai sumber-sumber yang dapat memberi penjelasan tentang kepada siapa Tuanku Nan Tuo belajar tarikat Naqsyabadiyah, namun dengan fakta yang disebutkan terdahulu, agaknya apa yang diasumsikan oleh Azymardi Azra adalah benar, bahwa pembaharuan agama yang dijalankan oleh Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya pada akhir abad ke-18 adalah representasi dari kombinasi ajaran-ajaran tarikat yang berkembang di wilayah ini pada waktu itu, dan karena itu pula ia mendapat tantangan tidak hanya dari kaum adat, tetapi bahkan juga dari pengikut aliran tashauf sendiri .
Selain itu, pertemuan “sufisme” dengan latar belakang kultural masyarakat pedalaman yang lebih “dekat” dengan pusat adat itu sendiri, tentu juga telah ikut membentuk nuansa yang berbeda terhadap dinamika sufisme itu sendiri. Pengalaman Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya dalam memasyarakatkan Syari’at, telah menempatkan ulama di sini pada posisi yang berhadapan dengan “gengsi” golongan elit tradisional adat secara frontal. Ketidak sabaran sebagian muridnya yang agresiflah yang kemudian merubah paradigma pembaruan Tuanku Nan Tuo yang “bijak” menjadi paradigma yang lebih radikal, bahkan keluar dari prototipe gerakan sufisme sendiri.

Kesimpulan :

a. Perkembangan aliran tarikat Syathariyah dari pesisir barat ke wilayah pedalaman Minangkabau telah melahirkan suatu sintesis baru akibat pertemuannya dengan aliran tarikat Naqsyabandiah yang telah lebih dahulu mendasari budaya masyarakat setempat. Sintesis ini dapat dilihat pada akhir abad ke-18, di mana surau-surau di wilayah Agam memainkan peranan dalam melahirkan gagasan-gagasan kemasyarakatan yang berdasarkan syar’iyyah.

b. Latar belakang kultural masyarakat di wilayah pedalaman yang lebih dekat dengan pusat adat Minangkabau telah menempatkan golongan agama berseberangan dengan golongan adat. Ini pada gilirannya telah melahirkan dinamika tersendiri yang memperkaya substansi ajaran sufistik pedalaman dan sekaligus menjadi fenomena kesejarahan yang dialektis dan berimplikasi pada gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau.

© Irhash A. Shamad
Makalah, disampaikan pada Seminar “Multaqa Tsaqafy”, Jabatan Pengajian Arab dan Tamadun Islam, Fakulti Pengajian Islam (FPI), University Kebangsaan Malaysia (UKM). Bangi, Malaysia 25 Oktober 2007.

Sumber : http://www.irhashshamad.co.cc

Sufi di Tanah Batak

Tasawuf sebagai sebuah fenomena penghayatan agama Islam diperkirakan mulai masuk secara sistematis ke Tanah Batak sejak abad ke-10 M. Walau begitu, eksistensi masyarakat Islam di Tanah Batak telah dimulai sejak dua atau tiga abad sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya makam mahligai bertarikh abad ke-8 M di Barus yang menguatkan keberadaan komunitas Muslim yang mapan di wilayah tersebut.

Beberapa utusan dagang telah melakukan kunjungan ke Barus, Tanah Batak dalam masa Rasulullah SAW, termasuk beberapa personal sahabat dan tabi’in yang melaut. Komunitas-komunitas muslim mulai eksis dan berasimilasi dengan penduduk Batak di masa pemerintahan Khulafa al-Rasyidin (663-661 M). Hubungan dagang semakin mengalami kemapanan dan kemajuan di masa pemerintahan Dinasti Umayyah (661-750 M). Pada era ini diyakini orang-orang Batak Islam masih menganut agama yang benar-benar dipraktekkan oleh para sahabat dan tabiin.
Di Tanah Batak, tidak banyak informasi yang didapat mengenai siapa tokoh yang paling berperan dalam mengembangkan tasawuf atau sufisme secara sistematis. Namun beberapa tokoh Batak yang diperkirakan ikut serta dalam mensosialisasikannnya adalah Syeikh Rukunuddin yang makamnya berada di kompleks makam mahligai, Barus-arah barat dari Danau Toba, bertarikh abad ke-8 M dan Tongku Malim Lemleman di abad ke-10 di Portibi, sebuah kerajaan kuno Batak di arah selatan Danau Toba. Sumbangsih mereka dalam sufisme tidak dapat dirinci secara detail karena belum ada riset mengenai biografi kedua tokoh tersebut. Semua informasi hanya didapat dari memori kolektif masyarakat dalam bentuk legenda dan beberapa bukti arkeologi dalam bentuk makam

Namun satu hal yang perlu dicatat di sini adalah adanya faktor ketidaksengajaan dalam penyebarannya di Tanah Batak. Pertama dibawa oleh para kaum pedagang, musafir dan pengelana ilmu dan yang kedua tasawuf mengalami pengembangan dan perkembangbiakan akibat krisis politik di Baghdad. Maju mundurnya pengamalan tasawuf di Tanah Batak juga sangat dipengaruhi oleh iklim politik regional saat itu. Islam sebagai sebuah ajaran mengalami tekanan dari kalangan Buddha yang diback-up oleh Cina di masa pemerintahan Dinasti Tang (730 M). Orang-orang Cina merasa terancam karena kerajaan-kerajaan Nusantara mulai menguasai jalur perdagangan dan memeluk agama Islam seperti Sri Maharaja Sri Indra Warman, Raja Sriwijaya di Jambi pada tahun 718 M dan Raja Kalingga di Jepara yang bernama Raja Jaya Sinna di zaman yang sama.

Orang-orang Batak Islam mulai bergelut dengan masalah sendiri untuk mengembangkan Islam dengan metode mereka sendiri. Mereka berusaha melawan keterisolasian akibat krisis politik internasional saat itu.

Saat orang-orang Mesir dari Dinasti Fathimiyah (978-1168 M) mulai mengirim bantuan dan dukungan militer terhadap kesultanan-kesultanan pribumi di Sumatera barulah perkembangan ilmu pengetahuan di Tanah Batak mulai bernafas kembali. Pasukan angkatan laut dan marinir Mesir ini menguasai kembali jalur-jalur perdagangan ke Sumatera yang mencakup Gujarat sehingga para musafir dan haji-haji dari Tanah Batak dapat melakukan kunjungan-kunjungan ke pusat-pusat ilmu pengetahuan di Timur Tengah.

Pengaruh dari masuknya orang-orang Mesir ke Sumatera, yang juga mencakup Tanah Batak ini, adalah masuknya beberapa tarekat yang sama sekali baru dikenal di Sumatera. Salah satunya adalah Tarekat Badawiyah yang tidak diketahui pasti apakah tarekat ini mendapat anggota atau tidak.

Saat krisis politik melanda Mesir dengan tumbangnya Dinasti Fathimiyah di tangan Dinasti Ayyubiah dengan pendiri Sultan Salahuddin pada tahun 1168 M, faham tasawuf diperkirakan semakin menancap dalam sistem adat, politik dan sosial pribumi di Sumatera. Orang-orang Mesir di Sumatera semakin leluasa untuk mengembangkan ajaran ini dan sekaligus mendirikan Kesultanan-kesultanan baru yang madiri dari kepemimpinan Mesir seperti Kesultanan Perlak pada tahun 1168 M. Para saudagar, musafir dan ilmuwan mesir ini dengan leluasa menguasai semua pusat-pusat perdagangan di Sumatera yang berakibat kepada makin banyaknya pribumi Sumatera mengenal ajaran tarekat mereka.

Pada tahun 1191 M, komunitas Muslim di Kampung Minangkabau, Jambi mulai mengalami tekanan politik dari Tentara Darmasyara yang Buddha. Mereka, dengan pimpinan Panglima Zulfiqar Al-Kamil, mantan panglima Dinasti Fathimiyah di Sumatera menyelamatkan para muslim dan mengungsikannya ke Kampar. Di zaman inilah, 1191 M, dikenal seorang ulama sufi terkenal yang bernama Syeikh Burhanuddin Ulakan yang murid-muridnya menyebar ke segala penjuru Nusantara dan menguasai peta pendidikan dan organisasi tasawuf di Sumatera. Pengaruhnya diyakini mendapat pengikut yang sangat antusias di kalangan masyarakat Batak di Tanah Batak.

Syeikh Burhanuddin Ulakan yang diperkirakan meninggal tahun 610 H ini secara turun temurun menjadi imam para sufi di Sumatera sampai kepada generasi Syeikh Burhanuddin Ulakan Pariaman yang wafat pada tahun 1691 M. Orang-orang Batak yang paling dipengaruhi oleh paham mereka ini adalah orang-orang Batak di pesisir Barat (Natal, Singkuang, Barus, Singkil dan Sibolga) dan Timur Sumatera, orang Mandailing dan Toba. Khusus di daerah Toba, istilah yang paling lazim yang diambil dan diadopsi menjadi kata Batak adalah kata malim dan parmalim yang telah lama digunakan oleh para pengikut Syeikh ini.

Walaupun begitu, di tanah Batak pada zaman ini, tidak dikenal ada sebuah aliran yang yang sangat dominan. Diperkirakan hal itu terjadi karena perubahan konstelasi politik yang sangat konstan. Belum lagi sebuah faham tertanam kuat, sebuah aliran lain yang berwarna syafii mulai berkembang di Tanah Batak saat Dinasti Mamluk berkuasa di Mesir pada tahun 1252 M. Hal itu diperparah dengan masuknya bentuk-bentuk lain dari pusat-pusat peradaban dan politik Islam seperti Persia, Maroko, Gujarat dan Cina.

Paska hegemoni mazhab syiah dan sunni yang syafii, bersamaam pula muncul tokoh-tokoh Batak yang mempunyai faham yang berbeda seperti Abdul Rauf Fansuri dari Fansur Barus, Tanah Batak, yang disinyalir membawa ajaran Ibadiyah dan Abdulrauf Sungkily dari Singkel yang syafi’i.

Hamzah Fansuri yang kemudian dikenal sebagai pentolan wahdatul ujud di Tanah Batak mendapat banyak kritikan dari ulama-ulama Aceh seperti Nuruddin al-Raniry. Akibat dari pertentangan ini semua adalah bahwa ajaran Islam yang di dalamnya sufisme mengalami kemandekan yang berakibat kepada melambatnya pengajaran Islam kepada para kaum animisme di perbukitan yang terisolir. Komunitas-komunitas yang animis dan terisolir itu akhirnya hanya mendapat informasi mengenai sufisme dari mulut-ke mulut melalui para pedagang Batak yang mengitari setiap huta untuk berdagang.

Sufisme kemudian hanya dikenal sepenggal-penggal dan mengalami sinkretisasi di dalam adat dan budaya Batak. Pengaruh sufisme tersebut masih tercermin dalam ritual-ritual dan tabas-tabas yang berfungsi sebagai kekuatan-kekuatan magis yang sangat diminati masyarakat Batak saat itu.

Sufisme, tidak hanya di Tanah Batak tapi di seluruh dunia kemudian mengalami evolusi yang kemudian bersentuhan dengan politik praktis. Munculnya Dinasti Murabithun (1056-1147 M), Muwahhidun (1130-1269 M) di Spanyol dan Dinasti Safawiyah (1501-1732 M) di Persia merupakan realitas kehidupan sosial politik kaum sufi yang lebih nyata dalam membina, memelihara dan mengayomi masyarakat dan ummat.

Perkembangan selanjutnya di abad ke-15 M sampai 18 M, di Sumatera bermunculan tarekat baru yang semuanya bermula dari hubungan dagang yang intens antara pribumi dengan dunia luar. Di antaranta Bektasyiah dari Turki, Khalwatiyah dari Persia, Sanusiyah dari Libya, Syattariah dari India dan Tijaniyah dari Afrika.

Kalau dikatakan bahwa di tanah Batak, walau dimasuki oleh beberapa faham tarekat tasawuf, tidak ada tarekat yang dominan, namun sebuah tarekat yang mempunyai akar yang sangat kuat sampai sekarang adalah tarekat Syattariyah. Tarekat ini bahkan menancap kuat dan sampai abad ke-21 beberapa komunitas muslim Batak masih mempraktekkannya dengan atau tanpa tahu bahwa hal tersebut merupakan bagian dari ajaran syattariyah.

Pusat-pusat pengembangan syattariah adalah Barus, Sibolga, Singkuang dan Natal. Di tempat-tempat inilah ajaran tersebut mengalami pribumiisasi sebelum akhirnya menyebar ke pelosok dan pedalaman Tanah Batak yang terisolir oleh tangan-tangan para paronan. Daerah Natal, di Tapanuli Selatan, dengan eksistensi ulama-ulama lokalnya bahkan melahirkan ‘mazhab’ baru dalam sufi yang kemudian di kenal dengan mazhab Natal yang berkembang di abad ke-18. Para ulama-ulama lokal di Tanah Batak kemudian mendirikan pusat-pusat pendidikan yang baru di berbagai wilayah Tanah Batak yang benar-benar diawaki oleh orang Batak seperti yang ada di Huta Pungkut.

Masuknya Belanda dengan penjajahannya membawa kemelaratan dan kemunduran peradaban di Tanah Batak. Sufisme di Tanah Batak yang terwujud dalam organisasi-organisasi peribadatan suluk maupun dalam bentuk sinkretisme seperti parmalim, parhudamdam dan parsitekka yang dikenal dengan istilah mereka pitu hali malim pitu hali solam yang berarti tujuh kali suci dan tujuh kali keramat (Malim dari kata Muallim dan Solam dari kata Islam), sebuah istilah yang ditujukan kepada orang-orang Batak yang suci dan dianggap keramat, bangkit dan berada di garis depan dalam menentang para penjajah tersebut.

Belanda dengan politik devide et impera dan eksploitasi tanpa prikemanusiaan menerapkan beberapa ordonansi yang berakibat kepada primitivisasi orang-orang Batak. Perbudakan digalakkan dengan ordonansi tahun 1808 dan disamarkan oleh pemerintah penjajah Belanda pada tahun 1856 dengan istilah kerja paksa. Antara tahun 1830-1870-an, penjajah memberlakukan pajak tanaman dan pencabutan hak atas tanah petani yang tak sanggup membayar pajaknya. Semua orang menjadi budak.

Kemudian pada tahun 1882, tiap-tiap kepala pribumi dikenakan pajak satu Gulden, apabila ia tidak sanggup bekerja di perkebunan-perkebunan para penjajah. Selain mengeksploitasi penduduk secara ekonomi, pihak penjajah juga menghancurkan sistem dan tatanan sosial orang-orang Batak. Orang Batak semakin melarat sementara Amsterdam dan Rotterdam semakin makmur.

Pada tahun 1849 Asisten Residen Mandailing Ankola, tangan penjajah di daerah, berusaha membasmi orang-orang Batak yang Islam, sesuai dengan misi Devide et Impera dengan menerapkan gagasan untuk memisahkan orang-orang Batak yang sudah Islam dengan mengkristenkan orang-orang Batak pelebegu. A.P. Godon yang sudah pensiun sejak tahun 1857 menyatakan dalam suatu diskusi: "Dalam laporan umum tahun 1849 selaku Asisten Residen Mandailing Angkola, saya menyatakan bahwa guru agama Kristen pada saat itu masih bisa bekerja dengan dengan baik. Saya sarankan agar antara suku Melayu-Batak Islam dan Batak harus dipisahkan dengan jelas. Metode yang paling baik adalah menyeru orang-orang Batak pelebegu agar masuk Kristen." (Lihat O.J.H. Graaf van Limburg Stirum, hal. 126).

Penculikan dan pengusiran terhadap para tokoh masyarakat dan pengajar serta haji-haji orang Batak juga diterapkan melalui Beslit Rahasia Gubernur Jenderal No. 1,3 Juni 1889. Orang-orang marga Hutagalung dan Sitompul di Silindung merupakan kelompok masyarakat Batak Islam yang paling banyak diusir dari tanah leluhur mereka, di samping kelompok marga lain di beberapa wilayah Batak, karena mereka banyak yang sudah haji (lihat: Beslit Rahasia Gubernur Jenderal No. 1,3 Juni 1889).

Organisasi-organisasi suluk dan tasawuf Batak semakin meningkatkan perlawanan mereka terhadap penindasan para penjajah ini. Namun sayang kekuatan mereka tidak sebanding dengan hegemoni penjajah Belanda yang justru didukung oleh para pribumi Nusantara yang menjadi tentara bayaran. Para sultan-sultan Batak di Barus, Sibolga, Sorkam dan Singkil dikebiri dan hak-hak mereka sebagai sultan dihapuskan secara paksa.

Dua orang residen penjajah di Tapanuli bernama Westenberg dan Barth merupakan sedikit contoh tokoh yang benar-benar mempraktekkan pembasmian orang-orang Batak yang Islam, bahkan Westenberg, secara politik, memberi contoh memecat kepala desa yang masuk Islam. Pemerintah penjajahan Belanda menyetujui hal itu karena sesuai dengan jiwa beslit rahasia 1889 tersebut. (M. C. Jongeling, Het Zendingconsulaat in Nederlands Indie, 1906-1942, (Arnheim, 1966) Hal. 112). Namun dukungan penjajah seperti ini tidak mampu menghentikan kekuatan pribumi yang anti-penjajahan.

Pada tahun 1903, Kepala Kampung Janji Angkola, Aman Jahara Sitompul, yang telah menjadi Kepala Kampung selama 23 tahun, masuk Islam berkat anaknya Syeikh H. Ibrahim Sitompul. Akibatnya Aman Jahara Sitompul diberhentikan sebagai Kepala Kampung atas dasar beslit rahasia 1889.

Syeikh H Ibrahim melakukan perlawanan dan melakukan aksi politik dengan menayakannya kepada Dr. Hazeu, Adviseur voor Islandsche zaken. Alih-alih mendapat tanggapan, laporannya baru resmi diterima enam tahun kemudian, yaitu pada tahun 1909. Dr. Hazeu berusaha melakukan himbauan kepada kekuatan penjajah yang ditolak mentah-mentah oleh Residen Westenberg dengan penegasan sekali lagi bahwa pegawainya telah melaksanakan kebijakan yang digariskan pada tahun 1889.

Sikap Residen Westenberg kemudian dipertegas oleh rezim penjajah dengan pernyataan Frijling, Penasehat Urusan Luar Jawa, untuk menerapkan kebijakan rahasia tersebut apa adanya.

Di lain pihak pada tahun 1903, Janji Angkola Pabea Sitompul, saudara Syeikh Ibrahim Sitompul, berusaha keras untuk mengembalikan kehormatan ayahnya. Namun kali ini tanggapan keras datang dari pihak penjajah. Dia terbentur tembok dengan adanya surat keputusan dari pimpinan tertinggi penjajah di Indonesia yakni keputusan Gubernur Jenderal Penjajah tanggal 5 Juni 1919 yang tidak mengabulkan pengaduan tersebut. (Lihat; "Christelijke Zending en Islam in Indonesia", dalam Koleksi GAJ. Hazeu, No. 42, KITLV, Leiden. Bandingkan dengan Lance Castles, The Political Life of Sumatran Residency: Tapanuli 1915-1940, disertasi, Yale University, 1972, Hal. 91-93.

Sementara itu, pada bulan Maret 1919, di Janji Angkola diadakan pemilihan kepala kampung baru. Sekalipun jumlah warga Batak yang beragama Kristen sebanyak 400 orang, sedang warga Batak yang muslim hanya 60 orang, namun ternyata Syeikh Ibrahim Sitompul yang menang dalam pemilihan tersebut. Tapi Kontrolir Silindung Heringa menyarankan agar residen mengangkat Aristarous, bukan Syeikh Ibrahim Sitompul.

Residen Vorstman sadar dengan instruksi rahasia 1889, kemudian mengadakan pemilihan ulang, dengan harapan pihak Batak Islam akan tersudut. Namun ternyata Syeikh Ibrahim Sitompul tetap keluar sebagai pemenang, dengan suara 218 lawan 204. Residen Vorstman tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kekuatan anti-penjajahan kali ini berhasil unjuk gigi.

Dalam pada itu hubungan perdagangan antara daerah Singkel dan Dairi juga diputus dengan alasan Devide et Impera. Dengan demikian orang-orang Batak di tanah Batak pusat akan terisolir dan mudah untuk ditaklukkan.

Asisten Residen Bataklanden dan Residen Tapanuli kemudian melakukan langkah dengan memisahkan orang-orang Batak di Singkel dengan Dairi. Hubungan lalu lintas antara Singkel dan Dairi pun diputus. Raja Batu-batu, seorang Raja Batak Singkel, yang kebetulan seorang muslim dilarang untuk mendatangi rakyatnya di Dairi. (Surat Residen Tapanuli Westenberg ke Gubernur Jenderal tanggal 9 Oktober 1909, dalam Koleksi G.A.J Hazeu). Bahkan sejak tahun 1910 para pedagang Batak Singkel dilarang tinggal di daerah Batak, maksudnya Keresidenan Tapanuli, lebih dari 24 jam. (Nota Lulofs 11 Juli 1915, dalam Lance Castle, Hal 94)

Usaha penjajah Belanda untuk mengkotak-kotakkan orang Batak dalam agama dan teritori agar mudah dijajah juga dilakukan di Silindung. Pada tahun 1915, Lulofs memberikan instruksi sektarian kepada bawahannya agar dibuat batas baru di sebelah utara Janji Angkola, dan politik anti-Islam hanya boleh dilaksanakan di sebelah utara desa tersebut. Dalam suratnya kepada Direktur Pendidikan dan Agama tanggal 16 Mei 1916, Lulofs menjelaskan bahwa dengan adanya garis pemisah, maka bisa diadakan tindakan tegas dalam daerah tertutup. Misalnya dengan menggunakan Ordonansi Guru 1905 untuk menghindari pendidikan Islam di daerah tersebut. Ordonansi Guru ini memungkinkan penjajah dapat memburu, mengusir dan mengasingkan guru-guru Batak Islam yang termasuk para haji-haji dari kalangan Batak.

Namun, pihak zending menentang instruksi- yang dinilai terlalu menguntungkan Islam- ini. Dan menyatakan keheranannya mengapa sikap seorang pegawai demikian simpati kepada Islam. Karena menurut mereka di daerah ini terdapat 15.000 orang Kristen, 3000 orang Batak Islam dan masih banyak animis yang akan diserahkan kepada nabi palsu. (Lihat surat Lulofs kepada Direktur BB tanggal 16 Mei 1916).

Terhadap pemisahan daerah Islam-Kristen semacam ini Hazeu tidak setuju, karena dia tidak membenarkan terjadinya pengusiran seseorang dari daerah tertutup. Dalam suratnya kepada Direktur Pendidikan dan Agama tanggal 29 Desember 1916, Hazeu menyatakan, "Saya memperingatkan dengan keras bahwa Ordonansi Guru tidak boleh digunakan untuk tujuan mengusir haji sebagaimana dibenarkan oleh tuan Lulofs" (Koleksi G.A.J.). Namun, pengusiran dan pemburuan tersebut tetap saja terjadi di tanah Batak

Dalam rangka menghalangi gerak pedagang Batak Islam yang sejak abad 15 telah eksis dan menjadi tulang punggung perekonomian tanah Batak, khususnya dari marga Hutagalung, Hasibuan, Pasaribu dan Marpaung serta marga-marga lainnya, Asisten Residen Fraser mengusulkan dibentuknya koperasi antar sesama orang Batak yang tidak menentang kehadiran penjajah saat itu, di samping menganjurkan agar peternakan babi digalakkan di sana. Saran semacam ini pernah dikemukakan pula oleh seorang tokoh Lembaga Bijbel pertengahan abad lalu, yang ditujukan kepada propagandis Kristen di tanah Batak.

Dia adalah H.N. vander Tuuk yang pada tahun 1851 sampai tahun 1857 menetap di tanah Batak sebagai petugas dari Lembaga Bijbel. Ia memberikan beberapa saran, bagaimana seharusnya petugas Kristen bersikap di tanah Batak, yaitu:

1. Harus disebut Guru, bukan pendeta atau paderi; karena istilah pendeta kurang disukai, baik orang Eropa maupun orang Batak.
2. Harus kawin dengan wanita Eropa, karena pembicaraan antara wanita lebih intim dan seorang wanita lebih berpengaruh daripada pendeta biasa.
3. Harus mendapat gaji yang baik, lebih tinggi dari gaji pegawai pemerintah.
4. Harus berpakaian seperti biasa, tidak memakai jas hitam pendeta.
5. Harus bisa menerima gaji dengan mudah, tanpa dipotong dua setengah persen.
6. Langsung masuk daerah Batak, tidak perlu lama-lama menunggu di Padang agar cepat bisa berbahasa Batak.
7. Harus tinggal jauh dari orang Eropa, karena mereka pada umumnya tidak akrab dengan pribumi.
8. Dalam taraf permulaan hanya omong-omong, secepat mungkin mengajar agar bisa cepat belajar bahasa pribumi. Hanya mengajar kalau diminta oleh mereka.
9. Bersama murid-murid sekolah, harus membaca cerita Batak, baru kemudian membacakan Bijbel.
10. Harus bergaul akrab dengan orang Batak, tapi jangan meminjam uang.
11. Hendaknya tidak menerima hadiah, karena dia harus memberikan hadiah.
12. Hendaknya tidak menghina orang Islam, tapi harus menunjukkan orang kafir sama baiknya dengan orang Islam.
13. Andaikata mengetahui ilmu teknik, harus mengajarkan ilmu tersebut hanya kepada orang bukan Islam.
14. Sebagai peternak harus memelihara babi.
15. Andaikata mempunyai anak, harus hati-hati agar mereka tidak menghina pribumi.
16. Dalam pelaksanaan vaksinasi hendaknya jauh dari pengawasan pegawai, Karena semua pegawai yang beragama Islam, biasa mengucapkan: "Jangan makan babi lagi" setelah memberikan suatu suntikan.
17. Hendaknya tidak menggunakan pemadat sebagai pembantu atau murid.
18. Andaikata memiliki toko, dia tidak hanya akan mendapatkan banyak uang, tapi juga pengaruh yang cukup besar.
Sumber Lihat: R. Nieuwenhuys, H.N. van Der Tuuk: De, Pen in Gal Gedoopt, (Amsterdam, 1962) hal: 81-84.

Pada tahun 1919, pihak zending mengeluarkan brosur dalam dialek Angkola berjudul Ulang Hamu Lilu (jangan sesat), untuk memperkenalkan Islam secara negatif kepada orang Kristen Batak, berdasarkan buku-buku Gottfried Simons yang biasa menentang Islam.

Gottfried Simons adalah seorang zendeling Jerman yang pernah bertugas di Sumatera dari tahun 1896 sampai tahun 1907, dikirim oleh RMG (Rheinische Mission Gesellschaft). Karyanya antara lain;

1. Islam und Christentum im kampf um die Eroberung der animimistischen Heidenwelt, beobachtungen aus der Mohammedaner-Mission in Biederlandisch-Indiesn, (Berlin 1910); (Islam dan Kristen dalam Perjuangan di dunia Animis; Tinjauan zending terhadap orang Islam di Hindia Belanda).
2. Unter den Muhammedanern Sumatras, (Berlin, 1926).
3. Reformbewegungen in Islam (Artikel)

Akibat brosur tersebut yang menurut Hazeu penuh dengan kebohongan dan kepalsuan tersebut, timbullah kehebohan, sehingga untuk mengatasinya brosur tersebut segera disita oleh kontrolir dari rumah zendeling Jerman, Ameler, di Bungabondar.

Asisten Residen bermaksud memanggil pihak zending ke pengadilan, tapi Jaksa Agung di Batavia melarangnya. Kemudian pusat Zending di Tarutung meminta agar brosur yang disita itu dikembalikan secara resmi.

Pada tanggal 12 Juli 1919 brosur tersebut akan dikembalikan dan pihak zending mengumumkan hal itu sebelumnya, meskipun sudah diminta untuk merahasiakannya. Akibatnya timbul kehebohan sehingga zendeling Ameler meminta agar kontrolir tidak jadi datang, karena sudah memancing perhatian pelbagai organisasi beribadatan suluk di Tanah Batak.

Brosur seharga f.0,15 per buah itu bisa laku f.2,-, (Lance Castle, Hal 110-112). Selama ini harapan demikian tinggi untuk bisa mengikis pengaruh Islam dari tanah Batak dengan jalan mempercepat kristenisasi.

Harapan semacam ini didasarkan atas kepercayaan berlebihan tentang superioritas Kristen atas Islam dan dugaan bahwa agama Islam yang sinkretis di negeri ini (seperti parmalim dan agama kepercayaan Batak lainnya yang mirip dengan Islam sedikit atau banyak) akan mudah dikristenkan. Banyak orang Belanda terutama pada abad ke-19 yang berpengharapan demikian (Lihat A. Retif, "Aspect Religiux de l'Indonesie", dalam Etudes, 1945, hal 371-381; Harry J. Benda, "The Crescent and the Rising Sun", op cit., hal. 19).

Dalam perjuangan kemerdekaan dan pergumulan antara orang Batak dengan penjajah Belanda di tanah Batak ini nampaklah kesan bahwa di satu pihak agama Islam berkembang dengan segala kesederhanaannya, sedang di pihak lain agama Kristen dengan segala kelebihannya ditunjang oleh para pejabat dan pegawai kolonial pada umumnya. (Aqib Suminto; Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES).

Cepat berkembangnya Kristen di daerah ini jelas bukan semata-mata karena "gereja-gereja di sana memiliki semangat missioner yang besar" seperti pendapat Dr. F. Ukur yang menyatakan bahwa satu ciri gereja-gereja di Sumatera adalah memiliki semangat missioner yang besar, sehingga dapat berkembang cepat dalam waktu yang relatif singkat. Lihat: Walter Lempp, Benih Yang Tumbuh, XII (Jakarta, 1976), hal. 110.

Dalam laporan tahunannya 1906/1907, Konsul Zending mengakui bahwa pemerintah penjajahan Belanda sering mendukung aktivitas Kristen; bahkan kadang-kadang pemerintah meminta kepada zending agar mereka membuka cabangnya di suatu tempat, seperti di Simalungun tahun 1904 dan Pakpaklanden tahun 1906, dua daerah yang sudah banyak menganut agama Islam selain animisme. Lihat Laporan ke-25 Algemeene Nederlandse Zendingsconferentie, 1911, Hal. 80, tentang "De prediking des zendelings aan de Mohammedanen" atau lihat M.C.Jongeling, op cit., hal 110).

Agaknya memang perluasan kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala simbiosis yag paling menunjang. Lihat: H. Kraemer, "De Zending en Nederlands Indie", dalam H. Baudet, & I.J. Brugmans, op.cit., hal 294.

Karena itu zending Kristen dianggap sebagai faktor penting dalam proses penjajahan, walaupun tujuan zending hanya rohani. Semua yang menguntungkan pihak Batak yang Islam di Hindia Belanda berarti merugikan bagi kekuasaan moril pemerintahan penjajah Hindia Belanda. Lihat, Alb. C. Kruyt, "De Inlandsche Staat en de Zending", dalam Indisch Genootschap, 23 Oktober 1906, hal 98).

Simbiosis ini nampak jelas di tanah Batak. Seorang haji Batak asal Pangaribuan dilaporkan datang ke Huta Lumban. Ketika enam orang Batak pelebegu berkomunikasi dengannya dan menyatakan keinginannya masuk Islam dan zending Muller tidak berhasil memurtadkannya kembali, Residen Tapanuli memanggil keenam orang tersebut, tetapi mereka tetap tidak mau keluar dari Islam meskipun diancam akan dibuang. Lihat Buku Harian zendeling Muller di Toba, Juni 1916. Catatan buku harian tersebut dikutip oleh Residen Tapanuli dalam suratnya kepada pimpinan tertinggi penjajah Gubernur Jenderal tanggal 22 Juli 1916 No. 246 (Koleksi G.A.J Hazeu, op cit)

Dilaporkan pula, adanya lima orang Batak Islam, yang menerima kesaksian syahadat para Batak pelebegu, yang dihukum. Dikatakan, berdasarkan beslit rahasia 3 Juni 1889 tersebut hal ini memang tidak bisa dibenarkan. Sebuah beslit yang berusaha menghilangkan Islam sebagai elemen anti-penjajahan dari tanah Batak.

Mereka dituduh telah menyebarkan agama Islam dan dihukum dengan hukuman satu bulan, karena tidak menaati peraturan pemerintahan penjajah Hindia Belanda. Lihat: Surat asisten Residen Bataklanden Fraser ke Residen Tapanuli, 16 Juli 1916. Gubernur Jenderal lebih keras dengan memerintahkan penghentian apa yang disebutnya propagandis Islam tersebut.

Para petani Batak di Sipakpaki Sibolga ada yang dikenakan kerja paksa sebulan, karena menerima syahadat Islamnya beberapa orang di Huta Husor. Penduduk Huta Husor bernama Hurlang dikenai hukuman tiga bulan, karena menyediakan rumahnya untuk acara tersebut. Lihat, Laporan penelitian anggota Desan Penasehat Hindia Belanda tahun 1917. (Lihat Lance Castle, op cit., hal 101).

Dalam menghadapi masalah sosial yang timbul, sikap para pejabat penjajah Belanda nampak jelas memihak zending. Residen Tapanuli mengakui bahwa sikap netral di bidang agama akan berakibat gagal totalnya zending di daerah ini. Sebaliknya kemengangan kristen pasti terwujud, bila dibantu sepenuhnya oleh pemerintah Hindia Belanda. (Lihat: Surat Residen Tapanuli kepada Gubernur Jenderal Van Heutsz tanggal 31 Maret 1909. Ia menyatakan; Kita boleh memilih antara netral seratus persen terhadap agama dengan hasil pasti menurut matematika bahwa pekerjaan zending akan gagal total, dan lambat atau cepat seluruh daerah Batak akan masuk Islam. Atau membantu sepenuhnya kepada zending untuk menghindari propaganda Islam di daerah Batak. Dengan demikian kemenangan Kristen di daerah ini pasti terwujud. Andaikata pemerintah bersikap netral, akan berakibat seperti di daerah padang Sidempuan. Walaupun zending di sana cukup rajin di antara penduduk yang waktu itu masih pelebegu namun Islam ternyata menang di Mandailing, Angkola dan sebagian besar Sipirok. Justru pegawai-pegawai kita memegang politik nonintervensi (Koleksi G.A.J Hazeu, op. cit,. Hal 102).

Gubernur Jenderal kemudian memerintahkan agar pegawai pemerintah penjajah Belanda, kapanpun dan dimanapun tidak memihak penduduk muslim; sebaliknya secara moril harus membantu dan mendukung zending. Sementara itu, peraturan rahasia itu ditambah lagi dengan satu artikel yang berbunyi; "Orang Kristren (yakni pribumi sebagai objek yang dijajah) tidak harus melakukan kerja paksa pada hari Minggu." Lihat: M.C. Jongeling, op cit., hal 114-115.

Peran Sosial Politik Para Sufi

Para sufi Batak sangat berperan penting dalam membangunan sosial dan adat di Tanah Batak. Pengaruh mereka tidak hanya dapat dilihat dari geneologi parmalim dan tabas-tabas para tabib Batak tapi juga secara pembangunan ekonomi dan ilmu pengatahuan.

Para sufi dan ahli suluk yang memakai tongkat atau tungko yang khas tersebut selalu mengadakan perjalanan dan musafir ritual dari sebuah pusat peribadatan suluk ke yang lain di Tanah Batak. Selama perjalanan yang melewati beberapa huta tersebut mereka berhenti dan mendirikan musholla-musholla kecil yang pada akhirnya banyak dimanfaatkan oleh para paronan untuk berteduh dan bertransaksi antar sesamanya dan oleh para pengelana-pengelana tradisional Batak.

Musholla-musholla tersebut akhirnya menjadi partungkoan dan pusat-pusat perdagangan baru yang ramai dikunjungi oleh penduduk setempat. Para sufi-sufi pengelana tersebut banyak juga berperan dalam membangun infrastruktur di beberapa huta. Untuk memenuhi kebutuhan berwudhu mereka akan mencarikan mata air dan membangunkan pancuran yang permanen yang memudahkan para sufi untuk mandi dan berwudhu. Fasilitas tersebut akhirnya malah lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat saat budaya untuk mandi lama-kelamaan mulai dipraktekkan.

Di Pancur Hauagong di Pakkat, misalnya masih terdapat sebuah batu yang sudah disemen yang fungsinya sebagai tempat persalinan para malim atau sufi dalam perjalanan. Tempat persalinan ini selain untuk tempat ganti pakaian saat mandi juga berfungsi untuk melakukan sholat-sholat sunnah karena ada sebuah garis kotak persegi panjang yang berfungsi untuk batas-batas suci sholat.

Persalinan ini sekarang masih digunakan tapi sudah tidak ada sufi yang mengunjungi termpat ini lagi. Diperkirakan di seluruh huta di Tanah Batak juga terdapat fasilitas serupa yang pada mulanya hanya untuk keperluan para sufi tapi para akhirnya banyak bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.

Paska keroposnya kekuasaan para sultan-sultan di Tanah Batak, seperti kesultanan dinasti Pohan/Pardosi di Barus, kesultanan dari dinasti Pasaribu di Fansur, Sultan Tanjung di Sorkam dan kesultanan Sibolga serta dinasti Raja Batak Sinambela di Bakkara, kehadiran organisasi-organisasi tarekat membawa angin segar bagi rakyat jajahan yang ingin melepaskan diri dari belenggu penjajah.

Peran para sultan dan raja dapat diisi oleh organisasi yang memang sangat menentang kehadiran Belanda tersebut. Pada saat itu pula organisasi suluk dan tarekat tersebut memperoleh momentum dan pengikut yang luar biasa. Kondisi seperti ini memungkinkan terjalinnya ikatan antara kepentingan rakyat jajahan dengan lembaga tarekat; keduanya memberikan muatan yang saling melengkapi.

Namun, Belanda tidak tinggal diam dengan situasi ini. Banyaknya aliran tarekat yang beroperasi di Tanah Batak membuat Belanda sangat mudah untuk melakukan politik pecah belah. Hal itu tampak saat krisis yang menimpa tarekat syattariah yang disebabkan oleh kritik para kaum revivalis ortodoks Makkah pada saat itu, karena praktik-praktiknya yang dianggap banyak menyimpang dari syariat. Perseteruan sesama Islam dapat pula dimanipulasi oleh pihak Belanda dan menjadi perang inter-etnis. Masuknya tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah juga membuat perbendaharaan tarekat di tanah Batak semakin semerawut dan membuat Belanda dapat menguasai dengan mudah daerah jajahannya. Tarekat-tarekat di Tanah Batak menjadi sering terpecah dan tidak saling komunikasi satu sama lain. Antara tarekat syattariah yang sudah mengakar, tarekat made in Batak seperti mazhab Natal dan tarekat parmalim serta yang baru seperti Qadiriyah-Naqshanbandiyah dan lain-lain yang kecil-kecil.

Namun terlepas dari itu semua, hampir semua aliran tarekat tersebut mempunyai tujuan yang sama yakni mengusir penjajahan dan menghadirkan kemerdekaan bagi penduduk yang tersiksa. Lembaga-lembaga tarekat tersebut mengubah fungsi dan perannya dari “sistem sosial organik” ke sistem “religio-politik”, menggantikan peran-peran kesultanan dan raja-raja yang hilang kekuasaannya, sebagai aspirasi rakyat.

Melalui wadah tarekat, mereka membangun kesadaran kolektif atas dasar-dasar “sinkretik”, antara potensi yang dimiliki tarekat dan kebutuhan psikologis dan sosiologis rakyat yang terjajah. Ia telah menjadi katalisator dalam menggerakkan massa, bukan hanya dalam arti psikologis tapi juga dalam pemikiran politik, baik melalui konsep-konsep perlawanan maupun dalam menentukan sasaran-sasaran pencapaian.

Di sini, akhirnya lembaga tarekat bukan lagi dipandang sebagai lembaga yang melangit tapi telah membumi sejalan dengan adanya kebutuhan duniawi para pengikutnya. Hal yang sama juga muncul di daerah-daerah yang terjajah selama ini di belahan dunia.

Di Afrika pada abad yang sama (abad ke-19), muncul gerakan-gerakan sufi yang cukup beragam yang menjawab kolonialisme. Abdul Qadir di Aljazair dari tarekat Qadiriyah, Mahmud Ahmad dari Tarekat Sammani di Sudan Timur, Mahdi di Nilotik Sudan, Sanusiyyah di Libya, Saleh Idrisi di Somalia dan Ahmad al-Hiba di Maroko. Belum lagi di Asia Tengah, kelompok Naqshabandiyah mengguncang Tiongkok, Turkistan dan Yunnan, juga Afghanistan dan India.

Di Tanah Batak muncul tokoh-tokoh lokal yang tidak sempat terdokumentasi di setiap huta-huta yang melakukan perlawanan ke pihak penjajah. Namun di antara yang besar dan sempat diingat oleh penduduk adalah, Syeikh Sulayman al-Kholidy Hutapungkut, Syeikh Basyir atau Tuan Basyir yang sangat terkenal di masyarakat Toba, Syeikh Ibrahim Sitompul, Abdul Fatah Pagaran Sigatal dari Natal, Syeikh Baleo Natal dan lain-lain dari tarekat-terekat yang sejalan dengan aliran di dunia. Beberapa tarekat buatan Batak sendiri, yang bersifat sinkretis, tokohnya adalah Guru Somalaing dari tarekat Parmalim dan beberap tokoh dari pecahan tarekat ini seperti ‘Tarekat Borkat Allah’ Parhudamdam dan Parsitekka serta lain sebagainya.
Hampir bisa dikatakan bahwa imperialisme Eropa pada abad ke-19 selalu berhadapan dengan lembaga-lembaga Islam yang satu ini. Kenyataan-kenyataan historis seperti ini membuktikan bahwa kehidupan dunia sufi tidak selalu bergumul dengan kepasifan, kejumudan dan asketisme. Sayyed Hossein Nasr mengatakan, “Sufi is an active participant in a spiritula path and is intellectual in the real meaning of this word. Contemplation is sufism, the highest form activity, and in fact sufis has always integrated the active and contemplative lives. That is why many sufi have been teachers and scholars, artists and scientist, and even statesment and soldiers…”

Dalam membangun ideologi perjuangan, lembaga tarekat memanfaatkan ideologi-ideologi perjuangan setempat yang sebelumnya telah memiliki akar-akar yang telah berkembang di kalangan jajahan, yang biasa mereka gunakan untuk menentang kolonialisme, seperti nativisme, millaniarisme dan ratu adil.

Nativisme dan millaniarisme dapat dikukuhkan dalam doktrin wilayah harapan (the theater center, wilayah al-sufiyah), ratu adil yang banyak dianut di nusantara menempati konsep mahdiisme dalam tradisi tarekat.

Timbul tenggelamnya ideologi-ideologi gerakan tersebut biasanya berbarengan dengan tindakan kolonial yang makin massif dan ekspansif. Sehingga secara psikologis dan sosiologis, kehadiran dan kemunculannya merupakan suatu bentuk respon penolakan atau protes sosial dari kalangan rakyat jajahan. Pertumbuhan mahdiisme di kalangan Parmalim bahkan mengasosiasikannya dengan sosok Sisingamangaraja.

Akar-akar nativisme dan milleniarisme berasal dari pengalaman sejarah masyarakat yang sebelumnya merasakan kebebasan, kemerdekaan keharmonisan ketika berada di tengah-tengah penguasa pribumi (kerajaan atau kesultanan) Namun ketika kolonial berkuasa, keadaan dan kondisi kehidupan mereka secara total terbalik.

Kesadaran etnik yang bertalian dengan sistem politik tradisional-yang defenisi-defenisi kebangsaannya berasal dari tradisi lokal, identitas religius dan tekanan politik kolonial ini-telah memancing kemarahan dan memberikan lahan subur bagi berbagai pemikiran untuk membangun wilayah otonom bagi prasyarat identitas pribumi atau yang dikenal dengan istilah nasionalisme.

Seluruh ideologi gerakan yang dijelaskan di atas, secara esensial dan formal memperoleh justifikasi dari doktrin perlawanan terhadap si bottar mata penjajah yang dalam praktiknya dilengkapi dengan kekuatan-kekuatan magico-mysticism atau tabas-tabas dalam hamalimon.

Tradisi magis yang banyak dikembangkan lembaga sufi ini, secara antropologis dan psikologis, telah mengukuhkan para anggota gerakan, dan menumbuhkan perasaan bahwa gerakannya bersatu dengan kekuatan spiritual.

Mistik Karismatik

Bila kita bertanya kepada orang-orang Batak sekarang mengenai pemahaman mereka terhadap kaum parsolam atau malim atau kaum sufi, maka didapatlah bahwa banyak legenda atau cerita suhut-suhutan mengenai kegaiban para sosok orang-orang Batak suci tersebut.

Kisah mengenai Tuan Basyir misalnya bahkan disinggung dalam buku Pustaha Tumbaga Holing. Dikatakan dia dapat tetap berada di Tanah Batak namun setiap jum’at akan pergi ke Mekkah untuk menunaikan sholat jumat. Begitu keramatnya sosok sang sufi sehingga banyak orang yang menaruh hormat kepadanya.

Belum lagi tabas-tabas, azimat, kemampuan bathin yang katanya membuat mereka kebal dan dapat mengatasi siatusi dengan cepat. Kondisi yang istimewa tersebut membuat para sufi mendapat tempat yang istimewa di kalangan masyarakat Batak seperti halnya para datu dan lain sebagainya yang parbetengan. Bandingkan misalnya ini dengan kisah Sisingamangaraja XII, dengan ilmu hikmatnya, yang katanya dapat menghilang dari kepungan belanda setelah melafalkan zikir lailahaillallah dan hu..hu..hu… secara wirid.

Seorang tokoh di Pakkat yang datang secara berkala dari Manduamas dikabarkan dapat terbang dari Pakkat ke Barus lebih cepat dari mobil. Tokoh ini bernama Guru Jeto, seorang ulama yang sangat dihormati di kawasan tersebut.

Masih banyak lagi cerita mistis dan misteri di balik para sufi tersebut. Kemampuan magico-mystisism ini merupakan keistimewaan yang membuat banyak rakyat memihak para sufi dan malim dalam melawan kekuatan penjajah.

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya dan al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal memperkirakan bahwa dunia mistis yang menggunakan kekuatan ruhani ini muncul dari orang-orang suci yang selalu mengolah kekuatan spiritualnya. Dunia sufi yang lekat dengan kontemplasi spiritual telah banyak menunjukkan hal ini. Memang, hanya orang-orang suci yang bisa memperoleh kekuatan ruhani semacam ini; mereka disebut ashhab al-ruhaniyah. Fenomena keterikatan tarekat dengan dunia magico-mystisism adalah suatu fenomena yang biasa.

Dari kontemplasi spiritual, sufi-sufi besar menggali sabda-sabda ilahi-melalui riyadhah dan kasf-telah melahirkan beberapa rumusan kekuatan ruhaniyah (mistis) dari firman-firman Tuhan.

Para ulama hikmah menjelaskan, kekuatan magico-mysticism terbagi dua: magico mysticism dalam bentuk doa yang selalu diwiridkan dan dalam tradisi animisme disebut sebagai mantra, ada juga yang ditulis pada benda-benda khusus. Kedua bentuk ini sangat dominan dalam dua tarekat dan sampai sekarang masih diwarisi orang-orang yang memiliki keistimewaan dan kekebalan dalam masyarakat Batak.

Mantra atau wirid ini sering disebut dengan istilah hizb. Di antaranya adalah hizb al-khairat, hizb rifai’yah, syadziliyah, hizb al-bahr dan lain sebagainya. Kembali ke situasi pada abad ke-20 mengapa magico-mysticism begitu dominan dalam menguatkan gerakan perlawanan terhadap kaum kolonialis, tentunya bukan hanya karena otoritas mistik ini lahir dari sufi-sufi besar, tetapi juga karena kepentingan-kepentingan psikologis masyarakat tradisional yang menyandarkan perlindungan pada kekuatan supernatural untuk menghadapi musuh yang sangat berat.

Tinjaun psikologis Michael Adas nampaknya bisa membantu menafsirkan hal tersebut, dia mengatakan:

“Jimat-jimat yang digunakan oleh para pendukung kegiatan dalam studi ini dirancang untuk menetralkan keunggulan teknologi dan organisasi musuh Eropa mereka. Melalui jimat-jimat ini, para pemimpin kenabian (syeikh-syeikh tarekat) berusaha untuk memindahkan perlindungan magis kepada para pendukung mereka untuk meyakinkan mereka akan kekebalan dalam peperangan yang akan terjadi.”

Dapat dibayangkan bagaimana masyarakat tradisional berhadapan dengan mesin-mesin pembunuh kolonial Belanda yang berteknologi tinggi, sementara mereka tidak memiliki atau belum memahami sama sekali. Tentunya hanya kekuatan mental dan luapan emosional yang selalu diibakar oleh para pemimpin anti-penjajahan yang bisa mengatasi keberanian untuk mengadakan revolusi fisik yang menuntut banyak pengorbanan ini. Di sinilah Islam mengajarkan bahwa keyakinan adalah induk segala tindakan.

Teori militer yang rasional menyatakan bahwa antara dua kekuatan yang sangat tidak seimbang, tidak memungkinkan bagi para pendukung revolusi berada di belakangnya. Tetapi di tangan para malim dan sufi Batak dan juga personalitas Sisingamangaraja XII, gagasan untuk mengusir penindas si bottar mata dan magico mysticism telah menjadi pucuk senjata yang paling ampuh dalam menentang Belanda.

Upacara-upacara ritual yang sering diadakan oleh para syeikh tarekat dan raja-raja Batak, pemimpin anti-penjajahan menjelang penyerangan terhadap Belanda bukan hanya bermaksud untuk mengkoordinir pengikut dalam gerakan, tetapi juga bermaksud untuk mengukur kekuatan magis pengikut yang terlatih. Ritus magis ini secara formulatif verbal-yang di dalamnya diadakan sumpah magis dan pembagian azimat-azimat-telah menimbulkan efek psikologis yang mengerikan bagi penjajah.

Sumber: humbahas