Pages

Thursday, July 30, 2009

Orang thoreqoh itu ora oleh opo-opo, tapi gampang oleh opo-opo


“Orang thoreqoh itu ora oleh opo-opo, tapi gampang oleh opo-opo”,
(Orang thoreqoh itu tidak dapat apa-apa tetapi mudah memperoleh apa-apa)

Kalau dijelaskan apa yang ada di balik dawuh tersebut pasti akan sangat luas dan dalam maknanya, perlu satu sesi pengajian khusus membahas tentang hal itu oleh mereka yang bisa menggapai kedalaman hakikatnya. Hanya saja kalau aku sih gak isok koyok ngono – tidak bisa seperti itu, tidak dapat menggapai makna yang luas dan dalam itu, melainkan hanya sekedarnya saja yang tentunya sesuai kapasitas pemahamanku.

Ora oleh opo-opo [tidak dapat apa-apa]

Memang, berthoreqoh itu dapatnya apa sih ? Gak dapat apa-apa ! Lha wong berthoreqoh itu cuman diajari dzikir, tiap hari harus wiridan sesuai yang diijazahkan, itu pun gak boleh berharap apa pun juga karena niatnya hanya boleh lillahi ta’ala, hanya karena Allah saja. Repot kan jadinya, gak bisa menjadikan wiridan kita sebagai sebuah proposal yang bisa diajukan ke gusti Allah untuk mendapatkan persetujuan proyek-proyek keduniaan kita, misalnya wirid biar rejeki lancar, wirid biar dapat jodoh, wirid biar kebal peluru, biar ditakuti jin, biar berwibawa, biar sembuh atau biar-biar yang lain. Thoreqoh itu untuk akhirat, karena amaliyah kita sama sekali tidak boleh ditukar dengan dunia. Shalat ya shalat dalam rangka melaksanakan kewajiban kehambaan kita, bukannya untuk kelancaran rejeki dan sebagainya. Shodaqoh ya shodaqoh dalam rangka melaksanakan kewajiban kehambaan kita, bukannya untuk larisnya dagangan atau melimpahnya pendapatan. Puasa ya puasa dalam rangka melaksanakan kewajiban kehambaan kita, bukannya untuk mencari jodoh, mendapatkan kesembuhan atau yang lainnya. Kalau ada fadilah/pahala/ganjaran di balik amaliyah yang kita lakukan, itu adalah sesuatu yang sudah dijamin oleh Allah dan pasti diberikan oleh Allah meskipun tidak kita hitung-hitung. Sedangkan yang dituntut Allah kepada diri kita adalah pelaksanaan amaliyah itu sendiri. Jadi yang penting adalah melaksanakan apa yang dituntut Allah kepada kita titik. Jadi sekali lagi, memang ora oleh opo-opo !!!

“Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin oleh Allah dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu, adalah bukti rabunnya mata batinmu”. (al-Hikam, Ibnu ‘Athâillâh As-Sakandarî)

Tetapi ora oleh opo-opo itu malah alhamdulillah, malah harus kita syukuri, mengapa ? Ya karena ibarat orang menabung, berthoreqoh itu merupakan metode menabung kita untuk kehidupan akhirat yang hasilnya akan kita petik dengan sempurna dan paripurna kelak di akhirat yang tentu saja dengan keridhoan Allah. Lha kalau tabungan itu kita nikmati sekarang, kapan penuhnya, baru diisi sudah diambil, ya pasti habis. Kalau sudah habis, di akhirat dapat apa ? NOL besar tentunya. Karena itu sekali lagi alhamdulillah kalau kita itu ora oleh opo-opo.

Q.S. Hud [11:15] : “man kaana yuriidu lhayaata ddunyaa waziinatahaa nuwaffi ilayhim a'maalahum fiihaa wahum fiihaa laa yubkhasuun” (Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan)

Q.S. Hud [11:16] : “ulaa-ikalladziina laysa lahum fii l-aakhirati illaa nnaaru wahabitha maa shana'uu fiihaa wabaathilun maa kaanuu ya'maluun” (Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan)

Sementara cuma itu yang bisa kupahami dari dawuh : ora oleh opo-opo.

Gampang oleh opo-opo [mudah mendapatkan apa-apa]

Ora oleh opo-opo tapi kok gampang oleh opo-opo ? Nah menurutku sih, itu merupakan efek samping bagi pengamal thoreqoh dari riyadohnya dalam menjalani thoreqoh. Metode utama dalam berthoreqoh itu kan dzikir. Nah dzikir inilah bila dilaksanakan secara ajeg atau istiqomah akan membawa efek perubahan yang luar biasa bagi pelakunya. Yuk kita lihat....

Tazkiyah

Dzikir thoreqoh atas lisensi dari seorang mursyid yang kamil mukammil, yang utama berfungsi untuk mentazkiyah jiwa kita, mensucikan hati kita sehingga sifat-sifat tercela dalam hati kita sedikit demi sedikit akan mulai tereliminasi dan digantikan dengan sifat-sifat yang mulia. Kalau seseorang sudah mencapai hal seperti itu artinya dia akan benar-benar menjadi khalifah atas dirinya sendiri, akan menjadi khalifah atas hatinya sendiri dan akan menjadi khalifah atas hawa nafsunya sendiri dalam arti dia yang memimpin hatinya untuk terus menerus berdzikir dan memimpin hawa nafsunya agar terkendali dan tidak berkolaborasi dengan pikiran untuk mensabotase hati agar tidak menuruti hasrat ruhnya.

Dengan jiwa yang tersucikan, dengan hati yang sudah berhias akhlaq mulia, maka di mana pun juga serta kapan pun juga insya Allah yang keluar dari diri seseorang hanyalah madu atau dengan kata lain selalu memberikan kemanfaat yang dalam arti yang minimal adalah seseorang tidak akan merugikan apapun dan siapa pun walau pun itu dirinya sendiri. Inilah ketaqwaan.

Dalam bahasa umum, ketaqwaan dapat diartikan sebagai kesadaran atau awareness. Ketaqwaan inilah yang merupakan kunci pengendalian diri. Pengendalian diri dalam menjaga hubungan baik kita secara vertikal dalam arti menjaga kehambaan kita dihadapan Allah, menyadari bahwa sebagi hamba berarti harus ikhlas dalam melakukan apa pun yang dikehendaki Tuhan kita baik dalam aspek syariat maupun hakikatnya yang pada akhirnya akan membuahkan sesuatu yang “manis” dalam hubungan horizontal yaitu hubungan dengan sesama makhluk secara keseluruhan.

Semakin baik pengendalian diri seseorang, berarti semakin baik pula kualitas jati diri seseorang, berarti juga semakin baik ketaqwaan seseorang itu. Dapat juga dibalik bahwa semakin bertaqwa berarti semakin berkualitas jati diri seseorang yang berarti juga semakin baik pengendalian dirinya.

Q.S. Ath Thalaq [651:2-3] : “...waman yattaqillaaha yaj'al lahu makhrajaa wayarzuqhu min haytsu laa yahtasibu...” (Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.)

Nah, untuk menuju ke arah ketaqwaan itu hambatan terbesar adalah dari hawa nafsu yaitu dorongan-dorongan/hasrat dari dalam diri untuk kepentingan diri yang secara ekstrem bisa dikatakan segala sesuatu apa pun itu yang tidak ditujukan untuk Allah.

Q.S. Al Mu’minuun [23:71] : “walawi ittaba'a lhaqqu ahwaa-ahum lafasadati ssamaawaatu wal-ardhu waman fiihinna bal ataynaahum bidzikrihim fahum 'an dzikrihim mu'ridhuun” (Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.)

Sengkolo

Dari beberapa tradisi atau budaya yang ada, biasanya mengenal (meskipun namanya berbeda tetapi yang dimaksud sama) apa yang dinamakan dengan sengkolo/karma/ciong/sial dalam kehidupan seseorang dan untuk menetralisir hal tersebut biasanya dilakukan dengan sebuah ritual seperti ruwatan/cisuak/inisiasi. Padahal semua yang dimaksud itu sebenarnya adalah kecil, karena yang sejatinya sengkolo besar dalam diri kita ini adalah hawa nafsu. Kalau hawa nafsu teratasi, dapat dikelola dengan baik, insya Allah kehidupan seseorang pun akan menjadi baik pula.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Rasululllah SAW pernah bersabda kepada pasukan perangnya yang baru pulang dari Perang Badar yang teramat berat.”kalian baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad akbar”. Para sahabat terperanjat, bertanya-tanya dalam hati, apakah ada jihad yang lebih akbar dibanding peperangan yang baru saja mereka selesaikan. Rasullah menjawab,”perang akbar adalah perang mengalahkan diri sendiri, jihad alan nafs.

Sengkolo/karma/ciong/sial menurut tradisi atau budaya yang ada salah satunya bisa disebabkan karena seseorang banyak berbuat dosa di masa lalunya. Tentu saja dosa ini meskipun enak tetapi hakikinya sangat tidak baik bagi seseorang yang menjalaninya, bisa jadi penyakit baik secara fisik maupun secara phsikis Kalau seseorang banyak berbuat dosa di masa lalu, hawa nafsunya biasanya akan memberati langkahnya menuju pintu taubat, baik karena merasa tidak pantas mendekat kepada tuhannya atau pun karena diam-diam dia sangat menikmati dosa yang dilakukannya, sehingga akhirnya ya berbuat dosa lagi, terus begitu berulang-ulang. Di sisi lain, ruhnya berontak ingin kembali mendekat kepada tuhannya dan yang pasti akan terjadi gejolak yang luar biasa dalam hatinya, keresahan, kegelisahan, kegersangan yang bahkan mungkin sampai dalam taraf yang mengerikan. Kalau sudah seperti itu, apa pun yang dilakukan pasti akan terasa tidak pas. Walaupun secara kasat mata, dalam strata sosial kemasyarakatan seseorang itu tergolong sukses, tetapi biasanya tidak ada kebarokahan dalam hidupnya, kesuksesan yang didapat tidak bisa dinikmatinya.

Dengan keistiqomahan dzikir yang dilakukan, insya Allah murid thoriqoh tidak akan mengalami hal seperti itu. Kalau pun toh dia pernah berbuat dosa di masa lalu, ya sudah, taubat saja lalu lupakan dosa itu, sehingga tidak ada beban yang menghambat langkahnya di masa depan. Melupakan dosa sesudah bertaubat, berarti sudah tidak ingat lagi enaknya berbuat dosa yang pernah dilakukan, karena bisa jadi kalau dosa itu tidak dilupakan biasanya akan ada dorongan untuk mengulang dosa itu lagi. Jadi orang thoreqoh itu biar mudah memperoleh kebarokahan hidup, tidak usah menjalani ritual ruwatan dan kawan-kawannya itu, wis cukup wiridan wae, noto ati lan ndidik hawa nafsunya biar taat sama Allah. Insya Allah, efek sampingnya berupa berbagai kemudahan dan kebarokahan yang membentang luas di hadapan sana. Gampang oleh opo-opo.

Trauma Masa Lalu

Adakalanya, seseorang dalam perjalanan hidupnya pernah mengalami suatu trauma di masa lalunya. Biasanya trauma itu berkaitan dengan suatu perlakuan atau suatu pengkondisian atau suatu keadaan yang direspon secara negatif oleh kesadaran seseorang yang pada akhirnya mengakibatkan timbulnya rasa marah, benci, dendam atau rasa bersalah, malu atau pun rasa takut yang kesemuanya itu di atas ambang batas normal sehingga sangat membebani batinnya dalam kesehariannya. Tidak bisa los, energinya habis tersedot oleh rekaman-rekaman trauma masa lalunya itu, sehingga apa pun yang dilakukan biasanya terasa berat sekali penuh dengan hambatan.

Nah, orang thoriqoh, insya Allah tidak akan bermasalah walupun mungkin sebenarnya dia juga mengalami trauma masa lalu, sebab dengan dzikir thoriqoh yang istiqomah salah satu efek sampingnya adalah membersihkan pikiran dari ingatan-ingatan kontra produktif yang tersimpan di otaknya. Kesadarannya akan mengatakan bahwa segala yang sudah terjadi di masa lalu adalah memang sudah kehendak tuhan yang harus dilaluinya dalam rangka mendidik dirinya menjadi lebih kuat. Dengan dzikir thoriqoh yang istiqomah, insya Allah efek sampingnya akan meluruhkan segala rasa benci, dendam dan marah menjadi maaf dan cinta, penyesalan menjadi harapan, serta ketakutan menjadi keberanian karena Allah. Kalau diri ini sudah terbebas dari trauma masa lalu yang membelenggu kesadaran, seluruh energi kehidupan akan bisa fokus untuk menapaki kekinian, menjalani saat ini dan merencanakan masa nanti. Yang jelas akan lebih mudah. Gampang oleh opo-opo.

Ilmu Sejati

Seseorang yang sudah bisa mengendalikan dirinya sendiri, yang sudah bisa menjadi khalifah atas diri, hati dan hawa nafsunya sendiri, berarti dia sudah menemukan ilmu sejati yaitu ilmu untuk memilih yang hakiki saja dan meninggalkan yang hanya sekedar main-main atau senda gurau belaka. Semua yang diucapkan, semua yang ditindakkan, semua yang diinginkan didasari oleh suatu pilihan bahwa memang itu perlu diucapkan, itu perlu ditindakkan dan itu perlu dimiliki, bukan sekedar demi gaya hidup, bukan sekedar ikut-ikutan saja, bukan sekedar demi popularitas dan bukan sekedar demi sebuah kebanggaan saja.

Sebab pada jaman ini industri telah mendikte pasar sedemikian hebatnya. Produk apa pun yang dilempar ke pasar akan dikondisikan sebagai sebuah gaya hidup yang wajib dimiliki dan diikuti, demi pencapaian penjualan yang laris manis, demi keuntungan yang fantastis bagi para produsennya yang seakan-akan mereka yang tidak memiliki, mereka yang tidak mengikuti bagaikan golongan yang tidak ada artinya dan tidak ada nilainya. HARE GENE…… menjadi slogan wajib sebuah gaya hidup apa pun itu. Di mal-mal, di jalan-jalan, di dunia maya, di media cetak dan di media audio-visual penuh dengan bombardir pesona sihir iklan tentang sebuah gaya hidup. Bagai para penyihir Fir’aun yang melemparkan talinya menjadi ular-ular kecil semu yang akhirnya dimakan semua oleh ular sejati dari tongkat Musa, seperti itulah mestinya, yang semu harus dilawan dengan yang sejati agar terhindar dari sekedar permainan atau senda gurau belaka yang tentunya sia-sia.

Q.S. AL AN’AAM [6:32] : ”wamaa lhayaatu ddunyaa illaa la'ibun walahwun waladdaaru l-aakhirati khayrun lilladziina yattaquuna afalaa ta'qiluun” (Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?)

Orang thoreqoh yang sudah bisa mengkhalifahi dirinya sendiri insya Allah akan gampang memperoleh apa pun yang diinginkan, karena apa pun yang diinginkan itu adalah memang benar-benar dibutuhkan sehinga kalau keinginan itu terwujud akan membuahkan kebahagiaan yang akan berujung pada melimpahnya rasa syukur. Melimpahnya rasa syukur inilah yang berfungsi sebagai wadah kesiapan untuk menerima anugerah Allah yang lebih besar lagi.

Q.S. IBRAHIM [14:7] : “wa-idz ta-adzdzana rabbukum la-in syakartum la-aziidannakum wala-in kafartum inna 'adzaabii lasyadiid” (Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih")

Fatwa hati

Orang thoriqoh itu kalau sudah ajeg / istiqomah dalam amaliyahnya, biasanya hatinya akan semakin bersinar, karena sifat-sifat yang tercela mulai tergantikan dengan sifat-sifat yang mulia. Dengan hati yang terang dalam bimbingan seorang mursyid kamil mukammil, insya Allah hatinya bisa menjadi penuntun baginya. Kalau secara umum orang menyebutnya sebagai intuisi, tetapi bagi saya ada satu kekhususan yaitu intuisi orang thoriqoh itu adalah intuisi yang terbimbing. Kenapa kok terbimbing ? Di sinilah kembali lagi pentingnya dzikir thoreqoh, dzikir yang terbimbing yang mempunyai otoritas pengajaran dari kanjeng Nabi Muhammad SAW. Istiqomah dalam dzikir thoriqoh berarti juga kita menjalankan riyadoh/tirakat/disiplin ruhani dalam olah rasa, sehingga insya Allah semakin hari kita akan semakin peka dalam membedakan mana sih yang merupakan hasrat nafsu, mana juga yang hasrat ruh, mana yang merupakan produk akal pikiran, mana yang merupakan hembusan syaithon yang membuat was-was hati kita dan mana pula yang merupakan kata hati kita. Hasrat ruh biasanya mengajak kita terus mendekat pada Allah tanpa tendensi apa pun. Karakter nafsu, munculnya biasanya spontan, spontan marah, spontan sedih, spontan gembira dan spontan-spontan yang lain yang memposisikan diri kita harus menang, harus enak, harus benar dan harus-harus yang lain yang paling menguntungkan hawa nafsu kita. Akal pikiran karakternya selalu disertai munculnya pertimbangan-pertimbangan bagaimana-jika atau jika-maka (logika berpikir), kalau begini maka bagaimana, sesuai referensi (baik pengalaman atau pun keilmuan) yang tersimpan di memori kita. Bila pertimbangan akal-pikiran sudah memutuskan tetapi masih ada keraguan dan pertimbangan yang lebih panjang lagi, maka itulah karakter hembusan syaithon dalam hati kita. Nah paling enak mestinya ya mengikuti kata hati yang terdalam, yang munculnya begitu saja dengan nuansa hati yang biasa-biasa saja dalam arti ketika muncul hal itu hati kita sedang tenang, tidak ada keraguan di dalamnya, tidak ada rasa apa pun baik sebelum kemunculannya maupun sesudah kemunculannya. Pokoknya biasa saja gitu loch.... Hidup ini selalu dan tidak akan pernah lepas dari pilihan-pilihan yang harus kita putuskan, bahkan terkadang kita dihadapkan pada situasi dimana kita harus segera mengambil keputusan dalam hitungan sepersekian detik.

Fatwa hati inilah yang sebenarnya merupakan tuntunan bagi kita dalam bertindak atau pun dalam mengambil suatu keputusan dalam berbagai kemungkinan yang ada. Kalau bisa seperti itu, insya Allah akan banyak kemudahan yang akan kita dapatkan, karena keputusan yang kita ambil dari berbagai pilihan atau kemungkinan yang ada adalah yang terbaik bagi kita yang insya Allah hasilnya pun akan baik. Gampang oleh opo-opo.

Istafti qalbak, al-birr mâ ithma’anna ilayhi al-nafs wa athma’anna ilayhi al-qalb wa al-ismu mâ hâka fi al-nafs wa taraddad fi al-shudûr. [H.R. Ahmad dan al-Dârimî] Mintalah fatwa pada hatimu, kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah.

Do’a

Orang thoriqoh itu sebenarnya punya andalan yaitu doa. Kalau dalam semua amaliyah diniatkan dan ditujukan hanya untuk Allah, maka kalau ada hajat apa pun itu letaknya adalah di doa.

Syekh Abu al-Abbas al-Mursi menyampaikan bahwa sebenarnya manusia itu selalu membutuhkan Allah baik di dunia maupun di akhirat sebagai hakikat kehambaannya tanpa melalui sebab-sebab tertentu. Hanya saja kebanyakan manusia baru merasa butuh Allah jika sudah ada sebab-sebab tertentu dan ketika sebab itu hilang maka akan hilang juga rasa butuhnya kepada Allah. Padahal salah satu kunci dikabulkannya suatu doa adalah selalu merasa butuh.

[Q.S. 27:62] Siapa yang mengabulkan doa orang yang dalam keadaan membutuhkan ?

"Laa haula walaa quwwata illaa illaahil'aliyyil'adzhim." (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung). Berarti kita itu NOL, tidak punya daya dan kekuatan bagai sesosok jazad tak bernyawa. Siapa bisa menjamin besok pagi ketika bangun tidur, kita masih bisa menggerakkan tubuh kita ? Siapa bisa menjamin satu jam ke depan kita masih segar bugar ? Siapa bisa menjamin nanti masih tergerak hati kita untuk sholat ? Kalau toh kita bisa beraktivitas dalam keseharian karena kondisi tubuh kita yang sehat, dari mana sebenarnya kesehatan itu berasal ? Kalau toh kita berargumen bahwa tubuh kita sehat karena kita menerapkan pola hidup sehat dengan pola konsumsi makanan yang sehat, istirahat dan olah raga yang teratur, maka dari mana niatan atau kesadaran untuk berpola hidup sehat itu muncul. Beranikah kita mengklaim bahwa niatan atau kesadaran itu muncul karena kehendak atau kekuatan kita sendiri ? Atau ketika kita ringan dalam menjalankan ibadah kita, beranikah kita untuk juga mengklaim itu atas kekuatan kita sendiri atau lebih jauh beranikah kita memastikan di akhir hidup kita nanti dalam keadaan khusnul khotimah ?

Sungguh, dalam setiap detik kehidupan kita tidak pernah lepas dari pengaturan Allah, karena sebenarnya kita itu faqir di hadapan Allah, sehingga kita semua sangat-sangat tergantung pada Allah, sangat-sangat butuh kepada Allah. Di dalam setiap gerak dan langkah kita, di dalam setiap tarikan dan hembusan napas kita, di dalam setiap detak jantung kita, di dalam setiap dzikir dan pikir kita, Allah-lah yang sejatinya menggerakkan dan memberi kita kekuatan.

Dengan kesadaran bahwa diri kita ini selalu butuh Allah, kita faqir di hadapan Allah, kita hambanya Allah, maka kita laksanakan salah satu yang dituntut Allah kepada kita yaitu berdoa. Doa yang bagaimana ?

Doa yang yakin.

Yakin terhadap apa ?

Yakin terhadap ijabah/pengkabulan Allah.

Kalau pasti dikabulkan, terus ?

Ya... bersyukur
Tapi, kapan dan dimana pengkabulan itu terjadi ?
Ya... terserah Allah pada waktu dan tempat yang dikehendakiNya.
Berarti harus sabar menunggu pengkabulan doa itu terwujud dalam realitas fisik ?
Ya.
Kalau wujudnya doa dalam realitas fisik lama atau tidak seperti yang kita harapkan ?
Ya... harus ridho.

Q.S. al-Mu’min [40]:60 : Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina."

“Tak seorang pun pendoa, melainkan ia berada di antara salah satu dari tiga kelompok ini : kadang ia dipercepat sesuai dengan permintaannya, atau ditunda (pengkabulannya) demi pahalanya, atau ia dihindarkan dari keburukan yang menimpanya” (Hadits Riwayat Imam Ahmad dan Al-Hakim)

“Janganlah membuatmu putus asa dalam mengulang doa-doa, ketika Allah menunda ijabah doa itu“ (al-Hikam, Ibnu ‘Athâillâh As-Sakandarî)

“Allahlah yang menjamin ijabah doa itu menurut pilihan-Nya padamu, bukan menurut pilihan seleramu, kelak pada waktu yang dikehendaki-Nya, bukan menurut waktu yang engkau kehendaki.” (al-Hikam, Ibnu ‘Athâillâh As-Sakandarî)

Q.S. al-Baqoroh [2]:216 : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”

Nah, orang thoriqoh itu selama selalu merasa butuh Allah, mau berdoa, diiringi dengan rasa yakin, sabar, syukur dan ridho, insya Allah itulah tanda-tanda makbulnya doa yang dipanjatkan. Gampang oleh opo-opo.

Enak tho ? Manteb tho ? Ya... sementara itu dulu. Wallahu’alam.

- Sufinews Group-

No comments:

Post a Comment