istilah murid di dalam thariqoh adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir dari seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid-wirid tertentu dari aliran thariqohnya. Atau dengan kata lain, orang yang telah berbaiat kepada seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid thariqoh. Dalam thariqoh Tijaniyyah sebutan untuk para murid adalah “ikhwan.”
Di dalam dunia thariqoh hubungan seorang murid dengan guru mursyidnya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, karena hubungan tersebut tidak hanya sebatas kehidupan dunia ini, tetapi akan terus berlanjut sampai di akhirat kelak. Bahkan dikalangan ahli thariqoh ada keyakinan, bahwa seorang mursyid mempunyai peranan yang sangat penting didalam menyelamatkan muridnya besok di kehidupan akhirat. Oleh karena itu, seorang yang ingin menjadi murid thariqoh, hendaknya tidak sembarangan memilih guru mursyid. Bahkan sangat dianjurkan bagi seorang yang akan berbaiat kepada seorang mursyid thariqoh, untuk terlebih dahulu beristikharah tentang pilihannya tersebut. Karena seorang murid itu harus bisa mahabbah yang sungguh- sungguh dengan guru mursyidnya.
Untuk menjaga hubungan yang begitu penting antara seorang murid dan guru mursyidnya, maka seorang murid harus memiliki kriteria-kriteria dan adab-adab serta tata krama seperti yang disebutkan oleh Syaikh Ahmad Al-Khomisykhanawiy dalam kitab Jami’ul Ushul fil Aulia’, yaitu sebagai berikut;
1. Setelah yakin dan mantap dengan seorang syaikh (mursyid), dia segera mendatanginya seraya berkata: ”Aku datang ke hadapan tuan agar dapat ma’rifat (mengenal ) Allah Swt. ”setelah diterima oleh sang mursyid, hendaknya ia berkhidmah dengan penuh kecondongan dan penuh kecintaan agar dapat memperoleh penerimaan di hatinya dengan sempurna.
2. Tidak membebani orang lain untuk menyampaikan salam kepada mursyidnya, karena hal seperti itu tidak sopan.
3. Tidak berwudlu di tempat yang bisa dilihat oleh mursyidnya, tidak meludah dan membuang ingus di majlisnya dan tidak melakukan shalat sunnah di hadapannya.
4. Bersegera melakukan apa yang telah diperintahkan oleh mursyidnya dengan tanpa keengganan, tanpa menyepelekan dan tidak berhenti sebelum urusannyan selesai.
5. Tidak menebak-nebak di dalam hatinya terhadap perbuatan- perbuatan mursyidnya. Selama mampu dia boleh menta’wilkannya, namun jika tidak dia harus mengakui ketidak fahamannya.
6. Mau mengungkapkan kepada mursidnya apa–apa yang timbul di hatinya berupa kebaikan maupun keburukan, sehingga dia dapat mengobatinya. Karena mursyid itu ibarat dokter, apabila dia melihat ahwal (keadaan) muridnya dia akan segera memperbaikinya dan menghilangkan penyakitnya.
7. Ash-Shidqu (bersungguh–sungguh) didalam pencarian ma’rifat-nya, sehingga segala ujian dan cobaan tidak mempengaruhinya dan segala celaan serta gangguan tidak akan menghentikannya. Dan hendaknya kecintaan yang jujur kepada mursyidnya melebihi cintanyan terhadap diri, harta, dan anaknya, seraya berkeyakinan bahwa maksudnya dengan Allah Swt tidak akan kesampaian tanpa wasilah (perantara) mursyidnya.
8. Tidak mengikuti segala apa yang biasa diperbuat oleh mursyidnya, kecuali diperintahkan olehnya. Berbeda dengan perkataannya, yang mesti semuanya diikuti. Karena seorang mursyid itu terkadang melakukan sesuatu sesuai dengan tuntutan tempat dan keadaannya, yang bisa jadi hal itu bagi si murid adalah racun yang mematikan.
9. Mengamalkan semua apa yang telah di-talqin-kan oleh mursyidnya, berupa dzikir, tawajuh dan muraqabah. Dan meninggalkan semua wirid dari yang lainnya sekalipun ma’tsur. Karena firasat seorang mursyid menetapkan tertentunya hal itu, merupakan nur dari Allah Swt.
10. Merasa bahwa dirinya lebih hina dari semua makhluk, dan tidak melihat bahwa dirinya memiliki hak atas orang lain serta berusaha keluar dari tanggungan hak–hak pihak lain dengan menunaikan kewajibannya. Dan memutus dari segala ketergantungannya dari selain al-maqshud (Allah Swt).
11. Tidak mengkhianati mursyidnya dalam urusan apapun. Menghormati dan mengagungkannya sedemikian rupa serta memakmurkan hatinya dengan dzikir yang telah ditalqin-kan padanya.
12. Menjadikan segala keinginannya baik di dunia maupun di akhirat tidak lain adalah Dzat Yang Maha Tunggal, Allah Swt. Sebab jika tidak demikian berarti dia hanya mengejar kesempurnaan dirinya sendiri.
13. Tidak membantah pembicaraan mursyidnya, sekalipun menurut dirinya benar. Bahkan hendaknya berkeyakinan bahwa salahnya mursyid itu lebih kuat (benar) dari pada apa yang benar menurut dirinya. Dan tidak memberi isyarah (keterangan ) jika tidak ditanya.
14. Tunduk dan pasrah terhadap perintah mursyidnya dan orang- orang yang mendahuluinya berkhidmah, yakni para khalifah (orang–orang kepercayaan mursyid) dari para muridnya, sekalipun secara lahiriyyah amal ibadah mereka lebih sedikit di banding dengan ibadahnya.
15. Tidak mengadukan hajatnya selain pada mursyidnya. Jika dalam keadaan darurat sementara mursyid tidak ada, maka hendaklah menyampaikan pada orang saleh yang dapat dipercaya, dermawan dan takwa.
16. Tidak suka marah kepada siapapun, karena marah itu dapat menghilangkan nur (cahaya) dzikir. Dan meninggalkan perdebatan serta perbantahan dengan para penuntut ilmu, karena perdebatan itu menyebabkan ghaflah (kelalaian). Jika muncul pada dirinya rasa marah kepada seseorang hendaknya segera minta maaf kepadanya. Dan hendaknya tidak memandang remah pada siapapun juga.
Sedangkan adab seorang murid secara khusus kepada mursyidnya antara lain sebagai berikut:
1. Keyakinan seorang murid hendaknya hanya kepada seorang mursyidnya saja. Artinya, ia yakin bahwa segala apa yang diinginkan dan dimaksudkan tidak akan berhasil kecuali dengan wasilah mursyidnya.
2. Tunduk, pasrah dan ridla dengan segala tindakan mursyidnya. Dan berkhidmah kepadanya dengan harta dan badannya, karena jauharul mahabbah (mutiara kecintaan) tidak akan nampak kecuali dengan cara ini, dan kejujuran serta keikhlasan tidak akan diketahui kecuali dengan ukuran timbangan ini.
3. Mengalahkan ikhtiar dirinya dengan ikhtiar mursyidnya dalam segala urusan, yang bersifat kulliyah (menyeluruh) atau juz-iyah (bagian- bagian), yang berupa ibadah atau kebiasaan.
4. Meninggalkan jauh-jauh apa yang tidak di senangi mursyidnya dan membenci apa yang di bencinya.
5. Tidak mencoba–coba mengungkapkan makna peristiwa-peristiwa dan mimpi-mimpi, tapi menyerahkan kepada mursyidnya. Dan setelah mengungkapkan hal tersebut kepadanya, dia tunggu jawabannya tanpa tergesa-gesa menuntutnya. Dan kalau ditanya segera menjawabnya.
6. Memelankan suara ketika berada di majlis sang musyid, karena mengeraskan suara di majlis orang–orang besar termasuk suul adab (perilaku yang buruk). Dan tidak berpanjang lebar ketika berbicara, memberikan jawaban atau bertanya kepadanya. Karena hal tersebut akan dapat menghilangkan rasa segan terhadap mursyidnya, yang menjadikan bisa ter-hijab (terhalang) dari kebenaran.
7. Mengetahui waktu–waktu untuk berbicara dengan mursyidnya, sehingga tidak berbicara dengannya kecuali pada waktu-waktu luangnya dengan sopan, tunduk dan khusuk tanpa melebihi batas kebutuhannya, sambil memperhatikan dengan sungguh-sungguh jawaban–jawaban yang diberikannya.
8. Menyembunyikan semua yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt kepadanya melalui mursyidnya, yang berupa keadaan dan peristiwa–peristiwa tertentu ataupun karomah-karomah dan anugerah lainnya.
9. Tidak menukil keterangan–keterangan mursyidnya untuk disampaikan kepada orang lain, kecuali sebatas apa yang dapat mereka fahami dan mereka pikirkan.
isamping adab seorang murid kepada guru mursyidnya, ada hal lain yang juga harus diperhatikan oleh seorang murid, yakni adab terhadap dirinya sendiri yang antara lain sebagai berikut:
1. Selalu merasa bahwa dirinya dilihat oleh Allah Swt dalam segala keadaan, sehingga dapat tersibukkan oleh lafadz Allah… Allah…, sekalipun sedang melakukan pekerjaan (duniawi).
2. Mencari teman bergaul yang baik dan tidak bergaul dengan orang yang buruk perilakunya.
3. Tidak tamak mengharapkan sesuatu yang ada pada orang lain.
4. Tidak berlebihan di dalam hal makan dan berpakaian.
5. Tidak tidur dalam keadaan junub (berhadats besar).
6. Hendaknya suka melanggengkan wudlu’ (senantiasa dalam keadaan suci).
7. Menyedikitkan tidur, terlebih dalam waktu sahur (1/3 malam terakhir).
8. Tidak suka mujadalah (berdebat) dalam masalah ilmu, karena hal itu bisa menjadikan ghaflah (lalai) kepada Allah dan menjadikan buta/gelap hati.
9. Suka duduk–duduk bersama saudaranya (sejama’ah thariqah) ketika hatinya sedang gundah dan membicarakan adab berthariqoh.
10. Tidak suka tertawa terbahak-bahak.
11. Tidak suka membahas perilaku seseorang dan tidak suka bertengkar.
12. Merasa takut terhadap siksa Allah dan senantiasa memohon ampunan-Nya. Dan jangan pernah merasa bahwa amal dan dzikirnya sudah bagus.
Sumber : Jamiayyah Ahlit Thariqah Al-Muktabarah An- Nahidiah
Assalamu'alaikum Wr Wb.
ReplyDeleteAlahamdulillah semoga Allah merahmati kita semua.
Terima kasih atas artikel2 yang dimuat, kami nilai sangat bagus sekali untuk membantu menuntun dalam perjalanan para penempuh.
Bolehkah artikel2 ini saya print untuk kami pelajari tanpa sedikitpun ada maksud untuk tujuan komersil. atas jawabanya kami haturkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum.
Roesman. Pati/jateng
Wassalamualaikum
ReplyDeleteSemua artikel ini saya kumpulkan untuk kita saling berbagi ilmu, terutama untuk saudara2 para penempuh. silahkan diambil sekiranya bermanfaat, dan jangan sungkan2 untuk mengkoreksi jika ada kesalahan.
semoga Allah terus memberikan kita jalan dan hidayah ilmu.
Jazakallahu khoiron katsiron..
Wassalam